MENGARIFI AKAL IMITASI
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mulanya diciptakan untuk mengatasi keterbatasan fisik manusia. Mesin-mesin sederhana seperti roda hingga mesin uap diciptakan untuk mempercepat pekerjaan berat. Namun kemudian, fokus pengembangan iptek bergeser untuk mengatasi keterbatasan otak atau kognitif. Kalkulator dan komputer menjadi contoh inovasi yang membantu manusia menyelesaikan perhitungan kompleks dan memproses data dengan kecepatan tinggi. Kini, muncul jaringan saraf tiruan yang menjadi dasar pengembangan kecerdasan buatan.
Artificial intelligence atau akal imitasi atau AI generatif telah berada di fase yang mengagumkan. Ia belajar cepat, membaca pola data, meniru manusia, menghasilkan teks, memproduksi gambar, hingga membuat keputusan penting. AI telah mengubah cara manusia belajar, bekerja, berpikir, beribadah, dan cara hidup. Kecerdasan buatan, yang awalnya hanya diciptakan untuk menjalankan tugas-tugas mekanis, kini berkembang menjadi entitas yang mampu belajar, menganalisis, bahkan menciptakan sesuatu yang menyerupai karya manusia.
Dengan model seperti ChatGPT, DALL-E, dan AlphaFold; AI menunjukkan kemampuan yang melampaui harapan awal penciptanya. Di sektor kesehatan, AI digunakan untuk menganalisis data pasien dan mempercepat diagnosa. Ia mampu menganalisis ribuan citra medis dalam hitungan detik. Dalam pendidikan, ia membantu menciptakan kurikulum yang dipersonalisasi, atau menjadi guru pengganti. Di ranah seni, AI membuka peluang eksplorasi kreativitas. AI dapat juga digunakan untuk membantu sektor pertanian hingga transportasi.
AI bekerja berdasarkan algoritma yang dilatih untuk mengenali pola dari data yang dimasukkan. Chatbox mempelajari miliaran kata dan frasa untuk menghasilkan teks yang terasa seolah manusiawi. Ia tidak memahami artinya, melainkan hanya meniru hubungan statistik antarkata yang pernah dipelajarinya. AI di bidang seni menciptakan gambar berdasarkan deskripsi teks dengan belajar dari karya seni sebelumnya, tanpa memahami konsep estetika atau emosi di baliknya.
Akal Imitasi tampak seolah benar-benar berpikir. Padahal, apa yang dilakukan AI hanyalah simulasi proses berpikir manusia, bukan pemahaman sesungguhnya. Keunggulan AI dalam meniru akal manusia terletak pada kecepatannya dalam memproses data dan menghasilkan output. AI hanya menghasilkan keluaran sesuai dengan inputnya. Suatu saat, AI akan kehabisan input data produksi manusia.
Selengkapnya dapat membeli Majalah Suara Muhammadiyah digital di sini Majalah SM Digital Edisi 03/2025