Etika Terhadap Pemimpin
Oleh: Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni PUTM Yogyakarta & Sekretaris Majelis Tarjih & Tajdid PDM Pati Jawa Tengah
Kata pemimpin yang populer di lingkup kehidupan masyarakat dan berbangsa, bisa diartikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendapat kekuasaan secara sah untuk mengatur masyarakat, organisasi hingga negara. Dalam Islam, pemimpin lebih familiar dengan sebutan ulil amri atau imam, dimana penulis tidak akan berpanjang kalam membahasnya, namun lebih spesifik pada sisi etika kita sebagai anggota atau rakyat terhadap pemimpin kita, baik etika dalam ketaatan hingga dalam memberi nasehat atau kritik. Coba kita simak hadits yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal :
حَدَّثَنَا ابْنُ لُهِيعَةَ عَنِ الْحَارِثِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَمْسٌ مَنْ فَعَلَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ كَانَ ضَامِنًا عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ أَوْ خَرَجَ غَازِيًا أَوْ دَخَلَ عَلَى إِمَامِهِ يُرِيدُ تَعْزِيرَهُ وَتَوْقِيرَهُ أَوْ قَعَدَ فِي بَيْتِهِ فَسَلِمَ النَّاسُ مِنْهُ وَسَلِمَ مِنَ النَّاسِ (رواه احمد)
“Telah menceritakan kepada kami Ibn Luhai’ah dari al-Harits dari Ali bin Rabah dari Abdullah bin Amr dari Muadz bin Jabal, Rasulullah Saw bersabda : Lima perkara, siapa yang melakukan salah satunya, maka Allah akan memberinya jaminan; orang yang menjenguk orang sakit, atau keluar untuk mengantar jenazah, atau keluar untuk berperang, atau mendatangi pemimpin untuk memuliakannya, atau duduk di rumahnya sehingga manusia selamat dari keburukannya dan ia pun selamat” (HR. Ahmad)
Hadits ini terekam dalam Musnad Ahmad no. 1342 dan Mu’jam Al-Kabir-nya Ath-Thabrani no. 15877, dimana kritikus hadits Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 3253 menilainya shahih. Salah satu poin dalam hadits di atas adalah penggalan matan dakhala ‘ala imamihi yuridu ta’ziruhu, mendatangi pemimpin untuk memuliakannya, yaitu untuk watawa shaubil- haqqi watawa shaubis-sabr, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Oleh karenanya, jumhur ulama menyarankan untuk menasehati pemimpin dengan cara yang anggun dan santun, sebagaimana riwayat dari Suraih bin Ubaid :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ شُرَيْحِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ لِهِشَامِ بْنِ حَكِيمٍ: أَلَمْ تَسْمَعْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ (رواه الطبراني)
“Telah menceritakan kepada kami Amr bin Utsman, Baqiyyah menuturkan kepada kami, ia berkata, Shafwan bin ‘Amr dari Syuraih bin ‘Ubaid, ia berkata: Iyadh bin Ghanam pun berkata kepada Hisyam bin Hakim: “Tidakkah engkau pernah mendengar sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu” (HR. At-Thabrani)
Hadits ini terekam dalam Musnad Asyamiyyin Ath-Thabrani no. 977 dan As-Sunnah-nya Ibnu Abi ‘Ashim no. 1096 dengan derajat hasan, dimana menjadi semacam visualiasi teknis etika menasehati pemimpin, dengan tidak secara terang-terangan, tetapi dengan silaturahmi agar tidak saling menyakiti dan menyinggung. Tentu hal ini akan sulit kita temui di zaman yang serba terbuka ini, dimana orang tidak lagi memperhatikan hal-hal yang beredar di khalayak umum hingga yang sifatnya rahasia. Pun menasehati pemimpin secara langsung adalah bagian dari mengamalkan hadits hasan riwayat Abu Dawud (no. 4344), “Jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran yang disampaikan di depan penguasa yang zalim” (Afdhalu al-jihadi kalimatu haqqin ‘inda as-sulthani ja’irin). Tentu saja perlu dilandasi dengan niat untuk memberi nasehat kebaikan tanpa ada unsur mengambil keuntungan pribadi (muhadanah atau menjilat). Berikut beberapa hadits yang menjelaskan tentang posisi dan relasi pemimpin di mata anggotanya : Pertama, pemimpin yang ditaati adalah pemimpin yang sah. Taat kepada pemimpin adalah hal mutlak tanpa ada keraguan, hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ (رواه احمد)
“Dari Anas, dari Nabi SAW bersabda : Dengarlah dan taat, meskipun penguasa (pemimpin) kalian adalah seorang budak Habsyi (Ethiopia), yang kepalanya seperti kismis (anggur kering)” (HR. Ahmad)
Hadits ini terekam dalam Musnad Ahmad no. 1212 dan Shahih al-Bukhari Bab Imam al-Abdi no. 693. Namun, pemimpin yang kita taati, sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah dalam Minhaju as-Sunnah An-Nabawiyyah harus memenuhi kriteria sah di depan hukum, bukan pemimpin yang kontroversial secara pemberian amanah.
Kedua, menjaga nama baik dan kehormatan (muru’ah) pemimpin, menghindari dengki dan permusuhan pribadi (ghill) sebagaimana hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه ابن ماجه)
“Dari Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud dari Ayahnya, Nabi SAW bersabda “Semoga Allah memberikan nudhrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa ilmu agama kepada orang yang lebih paham darinya. Ada tiga hal yang jika terdapat dalam diri seseorang, maka dia akan terbebas dari al-ghill (menghendaki kejelekan untuk orang lain atau permusuhan yang tersembunyi), yaitu: (1) seseorang beramal ikhlas karena Allah; (2) menginginkan kebaikan (dengan memberikan nasihat) kepada para pemimpin kaum muslimin; dan (3) komitmen dengan jamaah kaum muslimin, karena doa mereka itu meliputi dari belakang mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Maksud lafal “tuhithu min wara’ihim” adalah ketika seorang pemimpin telah diangkat sebagai penguasa oleh yang berhak mengangkatnya, maka kewajiban taat mengikat orang-orang muslim yang berada di bawah otoritas kekuasaannya. Hadits ini terekam dalam Sunan Ibn Majah no. 230; Musnad Ahmad no. 1335; dan Sunan at-Tirmidzi no. 2658. Imam Al-Barbahari dalam Syarhus-Sunnah berkomentar tentang hadits ini: “Jika kamu melihat seseorang yang mendoakan jelek kepada penguasa, maka dia mengikuti hawa nafsunya. Jika kamu melihat seseorang yang mendoakan kebaikan pada penguasa, maka dia di atas sunnah-petunjuk Nabi.”
Ketiga, menasehati pemimpin bukan berarti kita tidak suka dengan pemimpin tersebut atau membangkang, melainkan bentuk ketaatan yang dibuktikan dengan kepedulian dan kasih sayang terhadap kebijakan pemimpin dan konsekuensi atas terpilihnya pemimpin tersebut. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah ra.:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ كَانَ لَهُ فَضْلُ مَاءٍ بِالطَّرِيقِ فَمَنَعَهُ مِنْ ابْنِ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, Abdul Wahid bin Ziyad dari al-A’Masy dari Aba Shalih dari Abu Hurairah ra. dimana Rasulullah Saw. bersabda: "Tiga jenis orang yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih, yaitu: seorang yang memiliki kelebihan air di jalan lalu dia tidak memberikannya kepada musafir; seorang yang membaiat imam (penguasa, pemimpin atau pemerintah) dan dia tidak membaiatnya kecuali karena kepentingan-kepentingan duniawi. Kalau dia diberikan dunia, kalau dia diberikan dunia dia ridha kepadanya dan bila tidak dia marah… “ (HR. Al-Bukhari)