Jejak Awal Masuknya Islam di Kalimantan

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
2441
Sungai Sekayam Foto Istimewa

Sungai Sekayam Foto Istimewa

Jejak Awal Masuknya Islam di Kalimantan

Oleh: Azhar Rasyid, Penilik Sejarah Islam

Dewasa ini, Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Bila berbicara tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia—dan Dunia Melayu secara umum—, para ahli umumnya fokus kepada tiga aspek penting. Pertama, kapan Islam masuk ke Indonesia (abad ke-7 atau abad ke-13). Kedua, asal para pembawa Islam ke Indonesia (orang Arab, India atau Cina). Dan ketiga, di bagian Indonesia yang mana Islam menanamkan pengaruh awalnya. Ada berbagai macam teori, yang dibangun berdasarkan beraneka sumber sejarah dan artefak, yang telah dikemukakan oleh para ahli sejarah. Meski para ahli masih memiliki perbedaan pandangan dalam hal kapan Islam masuk ke Dunia Melayu dan siapa pembawanya, mereka setidaknya bersepakat bahwa ada beberapa titik yang menjadi tempat awal kehadiran Islam, yakni di Aceh, Malaka, dan pantai utara Jawa.

Sebenarnya, selain di Sumatra, Semenanjung Malaya dan Jawa, ada bagian lain dari Dunia Melayu yang sudah mengalami proses Islamisasi sejak lama, yakni Pulau Kalimantan atau Borneo. Tema Islamisasi di Kalimantan ini jarang tereksplor, barangkali karena prosesnya yang lebih belakangan dibandingkan dengan yang dialami Aceh, Malaka dan pantai utara Jawa. Penjelajah dan penulis Portugis terkemuka dari abad ke-15/16, Tome Pires (1465-1540), dalam karya terpentingnya, Suma Oriental, telah menyebut-nyebut soal Islam di Kalimantam. Buku ini ditulis pada tahun 1512-1515 dan berisi tentang petualangan dan pencapaian para pedagang Portugis dalam menjelajah dunia. 

Dari tulisan Pires diketahui bahwa Islam masuk ke Kalimantan sebagai konsekuensi dari jaringan perdagangan lintaswilayah kala itu, termasuk yang melibatkan Kalimantan dan Malaka, di mana Islam sudah mulai memberi pengaruh sejak awal abad ke-15. Para pedagang Kalimantan membawa produk alamnya ke Malaka, dan kemudian pulang dengan membawa barang impor yang tidak bisa didapatkan di Kalimantan. Dari proses perdagangan inilah ada kemungkinan bahwa para pedagang Muslim dari Malaka, baik yang berasal dari Malaka sendiri maupun dari kawasan lainnya di Dunia Islam, datang ke Kalimantan, awalnya untuk berdagang, lalu dilanjutkan dengan aktivitas penyebaran agama Islam. Di sisi lain, ada pula para pendakwah yang berasal dari Jawa dan menyebarkan Islam di berbagai tempat di Kalimantan. 

Samuel Bryan Scott, dalam studinya, ‘Mohammedanism in Borneo: Notes for a Study of the Local Modifications of Islam and the Extent of Its Influence on the Native Tribes’, yang dimuat di Journal of the American Oriental Society (1913), mengemukakan bahwa yang membawa agama Islam sampai ke Borneo adalah ‘a great economic force’ (suatu kekuatan ekonomi yang luar biasa). Jaringan perdagangan intra-Asia telah terbentuk jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Orang Eropa, yang terutama sekali tertarik dengan rempah-rempah di Nusantara, menambah luas jaringan itu. Dari jaringan yang kompleks ini, yang juga melibatkan kaum Muslim dari luar Nusantara, Islam tersebar ke Kalimantan.

Para penduduk pribumi awal yang menganut agama Islam adalah orang-orang Melayu Kalimantan, terutama mereka yang tinggal di pinggir pantai, tempat yang pertama-tama disentuh oleh pengaruh asing. Selain orang Melayu, tepian pantai ini juga didiami oleh mereka yang berasal dari Bugis, Jawa, Sumatra, Malaya dan Sulawesi. Di bagian lain Kalimantan, para pemukim dari Jawa menetap di sejumlah tempat seperti Paser, Kutai, Banjarmasin, Sambas, Mempawah dan Landak. Mereka sudah berada di sana sekitar tahun 1360. 

Butuh 135 tahun kemudian sampai Islam mulai masuk di antara para pemukim Jawa ini. Scott menyebut bahwa pengaruh Islam tiba di komunitas Jawa di tempat-tempat tersebut antara tahun 1495-1770. Di sisi utara Kalimantan, tepatnya di wilayah yang kini menjadi Brunei Darussalam, Islam telah dianut oleh penduduknya pada sekitar abad 15 atau awal abad 16.  

Mengingat hutannya yang masih sangat lebat, pedalaman Kalimantan masih merupakan area yang terisolasi dari pengauruh luar. Transportasi sungai memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam ke wilayah pedalaman kalimantan, termasuk yang terpenting di sini, Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Kalimantan bahkan di Indonesia. Scott bahkan menyebut bahwa Islam membutuhkan waktu hampir seratus tahun untuk bisa menyebarluaskan pengaruhnya sejauh 300 kilometer dari pesisir ke pedalaman Kalimantan melalui jalur sungai.

Dalam bukunya, Tome Pires membagi kepercayaan penduduk di Kalimantan ke dalam dua jenis. Pertama, adalah kaum pagan, atau mereka yang masih menganut kepercayaan turun-temurun. Kedua, kaum ‘Moor’, yang mengacu kepada kaum Muslim. Istilah ‘Moor’ untuk orang Islam adalah istilah yang lazim dipakai oleh kalangan Eropa Kristen, khususnya orang Spanyol dan Portugis, kala itu. Profesi kaum Moor itu, menurut Pires, adalah sebagai pedagang dan mereka memiliki tempat terhormat di tengah masyarakat. Bahkan, di salah satu wilayah di Kalimantan, seorang rajanya telah menganut agama Islam. Ini memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu yang dinarasikan Pires, Islam bukan lagi agama asing, melainkan telah berakar secara lokal dan bahkan telah memiliki legitimasi secara politik.

Seiring dengan kedatangan Islam di Kalimantan, sejumlah kerajaan Islam pun berdiri di pulau besar ini. Di utara, Kerajaan Brunei, yang awalnya merupakan wilayah bawahan Majapahit yang berpusat di Jawa, menyatakan kemerdekaannya pada  tahun 1368. Pada tahun yang sama, Raja Brunei, Awang Alak Betatar, menyatakan diri masuk Islam, dan dari saat itu ia dikenal sebagai raja Islam pertama di Brunei. Nama barunya ialah Sultan Muhammad Shah. Di bagian timur Kalimantan, proses Islamisasi dimulai dari raja Kutai pada akhir abad ke-16. Pembawa Islam ke Kutai adalah dua pendakwah asal Sulawesi Selatan, Tuan ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. 

Di era yang agak belakangan, tepatnya pada akhir abad ke-18, lahir pula sebuah kerajaan Islam lain, Kerajaan Pontianak. Sultan pertamanya adalah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang berdiam di Keraton Kadariah, yang bangunannya masih bisa disaksikan hingga kini. Sang sultan merupakan keturunan dari seorang Arab, Al Habib Husein, yang sebelum ke Kalimantan giat menyebarkan agama Islam di Jawa. Sang sultan juga mendirikan sebuah masjid, Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, pada tahun 1771. 

Syarif Abdurrahman Alkadrie sendiri dikenal sebagai pendiri Kota Pontianak, yang sekarang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Barat. Keraton Kadariah dan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman adalah dua bangunan, sekaligus dua institusi penting dan paling awal yang berdiri di Pontianak, yang mengombinasikan antara aspek relijius dan aspek politik Islam di tanah Kalimantan.

Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2021


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Ibrah Sejarah Maroko - Spanyol Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim, Guru Besar Ilmu Sejarah dan Peradaban I....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Khazanah

 Serangan Mongol (Bagian ke-1)  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univ....

Suara Muhammadiyah

18 December 2023

Khazanah

Masjid Kobe dan Fajar Islam di Jepang Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam Kobe kini dikenal ....

Suara Muhammadiyah

28 September 2024

Khazanah

Al Muwaththa’ dan Identitas Sunni Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas....

Suara Muhammadiyah

16 January 2024

Khazanah

Bani Israil dalam Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Si....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah