Begini Cara Pak Kasman Memahami Perempuan dalam Islam
Oleh Mu’arif
Sebenarnya, Kasman Singodimedjo tidak pernah secara spesifik menulis atau menuangkan butir-butir pemikirannya tentang perempuan ke dalam artikel, buku, ataupun naskah pidato. Meski demikian, terdapat suatu peristiwa penting yang sangat menarik dalam beberapa perdebatan di majelis Konstituante, karena Pak Kasman secara tersirat turut mendudukan posisi perempuan dalam Islam.
Sosok Pak Kasman yang terlibat dalam perdebatan-perdebatan sengit di majelis Konstituante memang merepresentasikan ideologi Partai Masyumi. Dan Partai Masyumi adalah partai berasas Islam dengan tujuan “terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridaan Ilahi” (Lihat “Anggaran Dasar Partai Politik Islam Masyumi” Pasal III Tujuan ).
Pak Kasman menafsirkan rumusan tujuan partai sebagai implementasi dari pesan-pesan dalam Al-Qur’an (Q.S. Yunus [10] : 25, al-Baqarah [2] : 112) yang kemudian dikenal dengan diktum “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur” (Lihat Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, Jakarta: Penerbit Permata, 1968). Dalam konteks ini, pandangan-pandangannya tentang tentang perempuan berpijak pada ajaran Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Diktum partai ini kemudian ia rumuskan sebagai perwujudan “masyarakat sosialis Indonesia” yang dibangun di atas tatanan baru berdasarkan prinsip kebahagiaan, adil, dan makmur di bawah keridhaan Allah SWT.
Pendekatan Pak Kasman
Sebuah pendekatan unik yang dilakukan Pak Kasman ketika mengawali pembahasan yang menyinggung peran dan posisi perempuan dalam Islam. Dalam konteks memahami terbentuknya masyarakat Indonesia, ia memiliki pendekatan strukturalis, yaitu “jalur atas” dan “jalur bawah.” Jalur atas adalah upaya yang dilakukan oleh struktur kekuasaan (pusat) dan jalur bawah adalah andil dari setiap oknum individu untuk terlibat dalam proses pembentukan masyarakat.
Ketika merumuskan dua pendekatan tersebut, Pak Kasman merujuk pada filosofi dan konsepsi hukum Islam yang diadaptasi ke dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yaitu konsep fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Dengan merumuskan filosofi dan konsepsi hukum Islam antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah, Pak Kasman menawarkan paradigma baru ketika membandingkan antara teori kebebasan private/individu—yang menuntut pada hak-hak kemanusiaan—dengan teori kewajiban individual (fardlu ‘ain) dalam Islam yang menuntut pada kewajiban-kewajiban sebagai makhluk.
Dengan corak pemikiran strukturalis, Pak Kasman meletakkan otoritas sumber kedaulatan bukan di “tangan rakyat”, tatapi di “Tangan Tuhan” (baca Kasman Singodimedjo, “Hal Kedaulatan (I)” Suara Muhammadiyah, No. 1 Th. Ke-58/1978). Dalam praktik kehidupan Muslim, pola hubungan antara makhluk dan sang pencipta (Tuhan) bersifat struktural: atas dan bawah.
Maka prinsip kebebasan individu—yang akan mengantarkan kepada pengakuan hak-hak individual/private—sebagaimana teori kedaulatan yang berkembang di Barat (antroposentris)—oleh Pak Kasman digeser dengan konsepsi “kewajiban individual” atau fardlu ‘ain. Sedangkan konsepsi fardlu kifayah—dalam pandangan Pak Kasman—adalah urusan berkaitan dengan kewajiban yang dijalankan dalam masyarakat dan negara.
Dengan peta konseptual di atas, dalam salah satu pidato Pak Kasman di Majelis Konstituante ditegaskan bahwa, “Islam menjamin hak-hak manusia (human right), dengan menitikberatkan penunaian kewajiban-kewajiban asasi” (Lihat “Pidato Mr. Kasman Singodimedjo di Konstituante Republik Indonesia tentang Dasar Negara”).
Ketika menyampaikan pandangan politik kenegaraan berdasarkan ajaran Islam dalam sidang-sidang Konstituante, Pak Kasman memang berkali-kali mendapat kritik atau hujan interupsi dari kelompok (partai) berhaluan komunis, seperti Asmara Hadi dan Nyoto (PKI).
Sedangkan ketika memperjuangkan konsepsi Islam berkaitan dengan kedudukan perempuan, Pak Kasman juga tidak luput dari kritikan yang dilayangkan oleh para aktivis perempuan sosialis (feminis sosialis), seperti Ny. Tresna Soengkawati Garnida dari Partai Rakyat Indonesia Merdeka. Para feminis sosialis mempermasalahkan pandangan politik Partai Masyumi tentang kedudukan perempuan dalam Islam sebagaimana yang direpresentasikan oleh pemikiran-pemikiran Kasman Singodimedjo.
Kedudukan Perempuan dalam Islam
Dalam Sidang Konstituante tanggal 13 November 1957, Kasman menempatkan kedudukan perempuan sangat mulia. Ia berdalih bahwa ajaran Islam dipahami secara keliru oleh para orientalis seraya mengutip hadis Nabi SAW, “Sorga itu adalah pada kaki kaum ibu.” (Lihat “Pidato Kasman Singodimedjo di Konstituante R.I. Hal Dasar Negara Hari Rabu Tanggal 13 Nopember 1957).
Pandangan para orientalis yang keliru memahami kedudukan perempuan dalam agama Islam sejalan dengan pandangan para aktivis feminisme radikal yang direpresentasikan oleh beberapa anggota Konstituante dari beberapa partai berhaluan nasionalis. Mereka khawatir jika ajaran Islam masuk ke dalam sistem konstitusi nasional akan menciptakan ketidakadilan sosial di Indonesia.
Ketidakadilan sosial yang dimulai dari pemahaman bias dalam hal peran antara laki-laki dan perempuan seperti yang dituduhkan oleh kelompok feminis radikal. Dengan berbagai macam dalih, menggunakan argumentasi logis maupun dali-dalil yang dinukil dalam Al-Qur’an, Kasman menegaskan, “Saudara ketua, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda sebagai berikut: “tidak menghinakan wanita kecuali orang yang hina. Dan tidak memulyakan wanita melainkan orang yang mulya.”
Kasman membedakan konsep kedudukan perempuan dalam Islam tidak sama seperti dalam tradisi Jawa atau tradisi yang berlaku di beberapa negara Eropa. Latar belakang lahirnya gerakan feminisme di Eropa memang sangat kontekstual dengan budaya masyarakat Indonesia, khususnya dalam tradisi Jawa, yang memandang kaum perempuan berada dalam posisi subordinat.
“…Di dalam agama Islam, saudara ketua, tidak berlaku pepatah Jawa yang mengatakan: “Wong wadon kuwi suargo nurut, neroko katut!” yang artinya: “Orang perempuan itu mengikuti suaminya, maupun ke neraka sampaipun ke sorga.” Pula bagi wanita Islam tidak berlaku pepatah, “Dat de vrouw zwijge in haar gemeente,” yang berarti: “Orang perempuan itu sepatutnya bungkem tutup mulut di dalam masyarakat,” jelas Kasman.
Walaupun kedudukan perempuan begitu terhormat dalam pandangan Kasman—begitu juga hakekat kedudukan perempuan dalam ajaran Islam—tetapi fakta bahwa laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Kasman memang tidak menyebut istilah faktor gender (jenis kelamin) untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi ia menyebut faktor-faktor sebagai berikut: 1) bakat—yaitu potensi dalam diri manusia, 2) sifat—yaitu karakter, dan 3) pembawaan—yaitu karakter bawaan sejak lahir.
Konsekuensi atas perbedaan bakat, sifat, dan pembawaan antara laki-laki dan perempuan pada fungsi dan tugas yang berbeda. Dengan logika strukturalis, Kasman menempatkan pemahaman kedudukan perempuan dalam masyarakat atas dasar perbedaan bakat, sifat, dan pembawaan memang berbeda dengan laki-laki. Namun, secara teologis, kedudukan manusia—laki-laki maupun perempuan—adalah sama di hadapan Allah SWT. Dengan merujuk pada penafsiran surat Al-Hujurat (49) ayat 13, kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah SWT, sedangkan yang membedakan keduanya hanyalah derajat ketakwaan masing-masing.
Tafsir Kasman atas doktrin Islam yang berkaitan dengan kedudukan perempuan tampaknya hendak mencari posisi yang tepat di antara paham dan aliran Feminisme yang sedang berkembang di tanah air. Dinamika gerakan feminisme pada paroh abad XX di negara-negara Eropa terus menggeliat di antara dua kutub gerakan: radikal dan moderat. Feminis Radikal menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan sepenuhnya di ruang publik.
Gerakan ini tergolong radikal karena mereka menuntut kesetaraan secara mutlak antara laki-laki dan perempuan. Paham ini pun dinilai mengabaikan latar belakang gender dan mengritik “institusi keluarga” yang dianggap sebagai representasi dari struktur dan kultur yang justru meminggirkan peran kaum perempuan. Sementara kelompok Feminis Moderat (Neo-feminisme), selain menuntut kesetaraan dalam partisipasi di ruang publik, paham gerakan ini masih mempertahankan “institusi keluarga” dengan cara meningkatkan kualitas hidup Perempuan (Baca Ny. Sri Mangoensarkoro, “Doea faham dalam gerakan perempoean,” Soeara Aisjijah nomor 9-10/Oct 1940).
Kasman meletakkan penafsirannya terhadap kedudukan perempuan di luar konteks dua gerakan feminisme pada waktu itu. Ia tetap memahami kedudukan perempuan berdasarkan prinsip-prinsip fundamental dalam ajaran Islam bahwa faktor bawaan seperti sifat dan bakat (fitrah perempuan yang tidak bisa diubah: mengandung, melahirkan, menyusui, dan haid/nifas, dan menopause) sehingga berakibat pada konsekuensi-konsekuensi yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan. Dalam forum lain di Mejelis Konstituante, Kasman menegaskan kembali pandangannya.
“Islam menjamin hak-hak asasi manusia (human right), dengan menitikberatkan penunaian kewajiban-kewajiban asasi. Islam memberi penilaian yang sama antara kaum wanita dan kaum priya, dengan tidak mengurangi kenyataan, bahwa perbedaan sifat dan bakat antara kaum wanita dan kaum Priya membawa pula pembahagian tugas dan lapangan pekerjaan bagi masing-masing kaum” (Pidato Mr. Kasman Singodimedjo di Konstituante Republik Indonesia tentang Dasar Negara).
Dengan meletakkan kedudukan perempuan dalam masyarakat atas dasar perbedaan watak, sifat, dan pembawaan, maka hak-hak perempuan akan simetris dengan kewajiban-kewajiban yang ditunaikan. Dalam buku Renungan dari Tahanan, Kasman meletakkan konteks hak-hak perempuan sama dengan hak-hak rakyat atau warga negara pada umumnya, dalam kerangka mewujudkan prinsip keadilan sosial. Definisi keadilan sosial dalam pandangan Kasman adalah, “…suatu suasana di dalam suatu masyarakat di mana para anggota-anggotanya berkemakmuran yang adil dan membahagiakan.”
Dalam memahami filosofi Pancasila, Pak Kasman meletakkan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” sebagai sumber yang menginspirasi seluruh sila. Ia menyebut sila pertama sebagai representasi ajaran pokok dalam Islam, yaitu tauhid. Dengan demikian, ketika memahami konsep keadilan sosial, maka filosofinya adalah “keadilan sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (bersambung)
Mu’arif, Pengkaji Sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah