Menilik Relasi Bung Karno dan Muhammadiyah Bengkulu

Publish

11 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
2344
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menilik Relasi Bung Karno Dan Muhammadiyah Bengkulu

Berdasarkan Arsip Koran Lokal “Penaboer” 1938-1939

Oleh: Hardiansyah

Bung Karno mungkin adalah salah satu tokoh yang kisahnya tak pernah habis dibicarakan, didiskusikan dan diteliti baik oleh ilmuwan, politisi, budayawan maupun sejarawan. Di Bengkulu sendiri, Bung Karno menjadi tokoh yang istimewa apalagi ia meninggalkan jejak berupa hubungan keluarga dengan Fatmawati, seorang gadis Bengkulu yang ia sunting. Jejak Bung Karno di Muhammadiyah Bengkulu pun terpampang nyata melalui arsip, dokumen maupun kesaksian rekan sejawatnya. Namun, warga Muhammadiyah Bengkulu sendiri tidak terlalu menganggap hal itu istimewa bahkan terkesan “mengabaikan” fakta sejarah tersebut. Hubungan yang kurang harmonis antara tokoh – tokoh Muhammadiyah dengan Bung Karno semasa orde lama mungkin menjadi sebab dinginnya respons tersebut. Bung Karno lebih dikenal warga Muhammadiyah Bengkulu sebagai inisiator dipenjarakannya buya Hamka daripada tokoh yang dulu pernah duduk dan mengembangkan “ Madjelis Pengadjaran”.

Seiring sejalannya waktu, dengan semakin banyaknya tulisan – tulisan yang merekonstruksi hubungan Muhammadiyah dan Bung Karno, kajian tentang Bung Karno di Muhammadiyah Bengkulu perlahan – lahan mulai mendapatkan tempat. Apalagi anak – anak muda Muhammadiyah yang tidak mengalami luka sejarah pada masa orde lama dan luput dari indoktrinasi sejarah pada masa orde baru berusaha untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di sisi lain, sumber – sumber penulisan sejarah hidup Bung Karno khususnya sewaktu pembuangan di Bengkulu masih didominasi oleh autobiografi beliau yang ditulis oleh Cindy Adams, Autobiografi bu fatmawati, Autobiografi Haji Abdul Karim Oey, tulisan rekan beliau di taman siswa Bengkulu, M. Ali Chanafiah serta arsip laporan yang bersifat rahasia dari residen Benkoelen tentang tindak tanduk Bung Karno di Muhammadiyah Bengkulu.

Sumber – sumber lainnya yang digunakan biasanya adalah koran – koran nasional seperti “Adil”, “Pedoman Masyarakat”, “Pemandangan” dan lain sebagainya yang menyimpan tulisan – tulisan seputar keislaman Putra Sang Fajar dari pengasingannya di Bengkulu serta tindak-tanduknya. Lalu bagaimana dengan koran lokal yang dimiliki oleh Bengkulu pada masa itu memotret Bung karno?. Agaknya arsip yang satu ini dapat menjadi sumber sejarah baru bagi penulisan kiprah Bung karno selama diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu.

Penaboer Korannya Warga Muhammadiyah

 “Penaboer” adalah koran lokal Muhammadiyah yang memiliki oplah kecil sekitar 500 eksemplar. Leo Suryadinata dan Abdurahman Surjomihardjo dalam tulisannya betjudul “ Pers di Indonesia Ikhtisar Perkembangan Sampai 1945” menyatakan bahwa koran “Penaboer” adalah koran pro – Muhammadiyah. Pendapat ini tepat jika kita melihat komposisi tokoh yang mengendalikan “Penaboer”. Salah satunya adalah Samaoen Bakry, tokoh Pemuda Muhammadiyah dan majelis Konsul setempat. Selain itu, koran ini dicetak pada penerbit (Drukerij) Persatoean, salah satu usaha yang digerakkan oleh Muhammadiyah dimana Abdul Karim Oey (oei Tjing Hien) menjadi pimpinannya. Karim Oey selanjutnya menjadi konsul Muhammadiyah di Bengkulu dari akhir tahun 1938 hingga 1953.

Selain itu, Penaboer lebih banyak menyorot tentang kegiatan – kegiatan Muhammadiyah hingga pelosok daerah seperti Oeloe Kinal, Oedjoeng Tandjoeng maupun Palak Siring. Seperti diketahui Muhammadiyah Bengkulu memiliki sebuah kekhasan sejarah dimana dari awal perkembangannya, Muhammadiyah telah menjalar hingga pelosok pedesaan. Hal ini menjadikan “Penaboer” sebagai sumber sejarah sezaman yang cukup banyak merekam sepak terjang Muhammadiyah di Bengkulu khususnya pada periode 1938-1939.

Maklumat yang memberikan informasi pada kita tentang hubungan Drukerij Persatoean, Penaboer dan Muhammadiyah Bengkulu

Penaboer Edisi Kamis 30 Juni 1938

Sebuah tulisan yang jelas membela Muhammadiyah muncul pada Penaboer edisi selasa, 16 Agustus 1938. Tulisan tersebut dari penulis yang mengatasnamakan dirinya “Masja Allah” redaksi dan diteruskan kepada Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta. Hal ini terkait dengan dua orang propagandis Muhammadiyah dari Kerinci bernama Ismael Arif dan Ahmad Djoehir yang menyebarkan gerakan ini ke Tapan hingga Muko – Muko. Sayangnya gerakan mereka tidak mendapatkan simpati dari pemangku agama dan pemangku adat setempat sehingga Muhammadiyah tidak boleh berdiri di Tapan. “ Masja Allah” dalam akhir tulisannya mengkritik dengan keras sikap para pemangku agama dan adat di Tapan tersebut dengan menuliskan :

“Oleh sebab itoe menoeroet boenji pepatah mengatakan Takoet mati djangan hldoep, begitoepoen sebaliknja, Kalaw takoet Moehammadijah djangan Islam karena Moehammadijah itoe mengadjar Islam”

Koran “Sasaran” dan “penaboer” sendiri pada masa itu dinilai “membakar udara Pergerakan” dengan tulisan – tulisannya yang berani dan terbuka mengkritik pemerintah kolonial dan aparat – aparatnya. Pada edisi selasa 22 November 1938, Penaboer dengan berani mengeluarkan tulisan yang berjudul “ Oedara Mendoeng bagi negri2 yang terdjadjah dan Mendjajah”. Penaboer tanpa tedeng aling – aling menggunakan kata “ Ra’jat Indonesia” dan “Pemerintah Hindia – Belanda” seolah secara tersirat menyatakan bahwa pihak pertama adalah negri yang terjajah dan pihak kedua adalah penjajah. Penaboer menganalisis apa yang terjadi di Eropa dan apa yang terjadi di pasifik seolah bom waktu yang siap meledak. Jika peperangan di pasifik terjadi apa yang harus dilakukan?  Salah satu rekomendasinya adalah dengan mengintensifkan kekuatan – kekuatan politik rakyat Indonesia. Tentu saja usul ini bukanlah usul yang akan disetujui oleh pemerintah kolonial.

Patut pula dipertanyakan apakah redaksi “Penaboer” menuliskan analisis luar negeri ini berdasarkan pada pendapat pribadi ataukah hasil diskusi dengan Bung karno yang saat itu dibuang ke Bengkulu dan intens memperhatikan berita – berita dari luar negeri ? tentunya perlu analisis dan bukti sejarah untuk menjawab pertanyaan ini.

Salah satu Tulisan yang memanaskan suhu politik di Bengkulu dari Penaboer

Bung Karno dan Muhammadiyah : Berita dari Penaboer

Bung Karno adalah orang interniran dan sebagai orang yang dibuang oleh pemerintah kolonial, tentu banyak orang yang berusaha menjaga jarak darinya. Di awal masa pembuangannya, Bung Karno senantiasa diawasi oleh intel polisi (PID) dimana jika ada orang yang ingin bertemu, maka identitasnya akan dicatat. Hanafi, seorang pemuda Tallo harus merelakan pekerjaannya sebagai klerk atau juru tulis di kantor Residen Bengkulu hanya karena menyambangi Bung Karno. Muhammadiyah dan Taman Siswa adalah dua organisasi yang berani menerima Bung Karno secara terbuka lalu kemudian diikuti oleh organisasi lainnya.

Penaboer menyambut gembira kehadiran Bung Karno di Bengkulu dengan memberitakan kedatangannya. Delima (yang mungkin menjadi nama samaran Samaoen Bakry) menuliskan artikel yang berisi tentang kesalahan berita yang disampaikan oleh kantor berita ANETA bahwa Bung Karno tiba di Bengkulu pada tanggal 13 Mei 1938 dengan kapal KPM. Padahal menurut Delima, Bung Karno telah tiba di Bengkulu sejak tanggal 9 mei 1938 melalui Lubuk Linggau dengan menggunakan angkutan bus yang ada pada saat itu. Bisa jadi tanggal tersebut sengaja disebarkan dengan salah agar masyarakat tidak membludak menyambut Bung karno tapi nyatanya hal itu gagal, walaupun berita itu tak sepenuhnya salah karena pada tanggal 13 mei itu keluarga Bung Karno menyusul beliau ke Bengkulu.

Menurut keterangan Delima yang hadir dalam menyambut Bung Karno, warga Muhammadiyah dan Taman Siswa menyambut kedatangannya dengan sukacita. Mereka telah menunggunya di Pengantungan tempat angkutan berhenti. Mereka hanya bertegur sapa sejenak sebelum Bung Karno dibawa ke kantor pos. Sepanjang perjalanan ramai rakyat menyambut kedatangannya sambil melambaikan tangan. Setelah bertemu dengan Residen Bengkulu, ia pun dibawa ke hotel Centruum. Malamnya lebih kurang pukul 07.00 waktu setempat Bung Karno dan ditemani beberapa orang salah satunya adalah sang penulis berjalan – jalan di Pantai Tapak Paderi. Bung Karno menyatakan rasa syukurnya bisa pindah dari Endeh, negeri yang penuh derita baginya. Menurut keterangan Bung karno yang diterima oleh Penulis, di Endeh ia mampu mengislamkan 30 orang kafir. Keterangan ini adalah keterangan penting bagi kita terkait sepak terjang beliau di Endeh dan relasi Islam dan Bung karno yang dinilai menjadi tokoh liberal Islam serta dikecam banyak pihak pada masa setelahnya.

Kedatangan Bung Karno sesuai keterangan saksi mata dalam Penaboer No 12 tahun II 1938

Koran “Penaboer” juga mengetengahkan sebuah berita tentang Bung Karno yang menjadi “headline” edisi hari Selasa nomor 11 tahun II-V 1938 berjudul “Ir Soekarno dan Masjarakat Bengkoeloe”. Dalam berita ini, “Penaboer” memberikan informasi gonjang – ganjing yang terjadi di Bengkulu setelah masyarakat mengetahui bahwa “orang besar” ini akan dibuang ke Bengkulu. Ada yang menilainya positif, namun ada pula yang ingin mendekatinya namun takut karena setiap yang bertemu dengan beliau pasti dicatat oleh polisi. Menyadari kondisi ini, Hoofdbestuur Muhammadiyah mengirimkan surat kepada konsul Muhammadiyah Bengkulu saat itu, haji Yunus Jamaludin, agar menyambut Bung Karno dengan sebaik – baiknya dan melibatkannya di Muhammadiyah setempat. Surat dari HB Muhammadiyah tersebut diiringkan pula dengan tiga lampiran surat. Pertama, surat permohonan Muhammadiyah kepada Gubernur Jendral  agar Bung Karno dipindahkan dari Endeh ke Yogyakarta untuk menjadi Direktur sekolah MULO Muhammadiyah, surat kedua balasan dari Gubernur Jendral terkait dengan permintaan tersebut dan ketiga surat dari Bung karno terhadap HB Muhammadiyah.

Lampiran surat ketiga dimuat dalam Penaboer. Bung Karno menulis surat tersebut dari Endeh tertanggal 23 Maret 1938. Isi surat ini adalah ucapan terima aksih Bung Karno kepada HB Muhammadiyah yang telah memperjuangkan kepindahannya dari Endeh. Dalam surat tersebut terkuak pengakuan Bung karno bahwa kepindahannya ke Bengkulu adalah kompensasi atas permintaan Muhammadiyah yang tidak dapat dikabulkan pemerintah berkaitan dengan pengusulan Bung Karno untuk dipindahkan ke Yogyakarta. Hal ini disampaikan oleh pemerintah kolonial sendiri melalui sebuah “Besluit” kepada Bung Karno. Selain itu Bung Karno menyampaikan bahwa ia siap untuk menyumbangkan tenaganya bagi perkembangan Islam di Bengkulu.

Dari surat yang singkat ini dapat disimpulkan bahwa betapa pedulinya Muhammadiyah terhadap Bung Karno hingga sampai menyurati Gubernur Jenderal agar ia dipindahkan. Permintaan itu seiring dengan desakan Thamrin di Volksraad agar Bung Karno dipindahkan dari Endeh setelah ibu mertuanya meninggal terkena Malaria. Pembuangan di Endeh adalah awal bulan madu antara Islam modernis dan Bung Karno. Selain Muhammadiyah yang berjuang mengusulkan kepindahan Bung karno, kita juga mengenal A. Hassan dari Persatuan Islam (PERSIS) yang berkorespondensi dengannya selama pembuangan di Endeh. Masa ini juga menjadi tanda saling mendekatinya golongan Islam dan golongan Nasionalis. Mas Mansyur, sebagai perwakilan orang muda di Muhammadiyah cukup terbuka dengan ide – ide nasionalisme yang masih dianggap sebagian warga Muhammadiyah sebagai “ashabiyah” yang terlarang. Beliaulah tokoh di balik permintaan Muhammadiyah kepada Gubernur Jenderal sebagaimana yang telah diterangkan di atas. Sedangkan Bung Karno menurut Ridwan Lubis dalam bukunya berjudul “Sukarno dan Modernisme Islam” masa pembuangan ke Endeh dan Bengkulu adalah masa di mana Bung karno mendalami keislaman, walaupun titik fokusnya tetap pada kata “Kemadjoean”.

Karena surat dari HB yang meminta pengurus Muhammadiyah setempat untuk menerima Bung Karno dengan baik, maka Hassan Din segera mengajak anaknya (Fatmawati) dan istrinya ke rumah Bung Karno selepas beliau selesai melakaukan perjalanan dagang. Dalam kunjungan inilah pertama kalinya Bung karno bertemu dengan Fatmawati untuk pertama kalinya.

“Headline” dari “Penaboer” terkait pembuangan Bung Karno di Bengkulu. Redaksi juga mencantumkan surat Bung Karno tertanggal 23 Maret 1938 kepada HB Muhammadiyah. sayangnya surat aslinya hingga saat ini belum berhasil kami lacak

Salah satu kejadian penting teerkait dengan kebijaksanaan Bung Karno menyelesaikan masalah adalah dalam kasus Siring Permoe. Dalam kasus ini, sekolah “Djamiatoel Chair” di sana menampilkan “Toneel” kehidupan nabi Muhammad SAW dalam rangka memperingati Maulud Nabi. Segera saja kasus ini menghebohkan warga Bengkulu dan sekitarnya. Masyarakat Kepahyang mendirikan Comitee Pembela Islam Redjang (Compir) yang mengutuk keras tindakan itu. Berhari – hari kasus ini mendapatkan perhatian yang luar biasa bahkan sempat menjadi berita nasional. Muhammadiyah pun turut serta membicarakannya dimana pada hari Senin malam 23 Mei 1938 diadakan pertemuan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dengan menghadirkan para ulama dan Guru Agama untuk membicarakan kasus Siring Permoe. Hadir dalam pertemuan itu lebih kurang 60 orang dimana Konsul Muhammadiyah Bengkulu dan Bung Karno ikut hadir dalam acara tersebut.

Acara dimulai dengan mendengarkan keterangan dari salah satu saksi yang terlibat dalam pementasan toneel tersebut. Setelah saksi menyampaikan kronologinya, Bung karno mengajukan usul agar kasus Siring Permoe ini ditunda dulu pembahasannya. Sebagai gantinya beliau meminta pada Lajnah Tarjih untuk menyelesaikan akar masalah, apa hukum mentonuilkan kehidupan Nabi?. Usul tersebut diterima dengan baik. Maka para alim ulama itupun bermusyawarahlah hingga larut malam. Hasil dari musyawarah tersebut adalah mentonilkan kehidupan Nabi Haram hukumnya sehingga kasus Siring Permoe ini tak bisa dibenarkan. Kasus yang menghebohkan ini akirnya reda dengan sendirinya setelah mendapat kecaman dari banyak pihak.

Berita Penaboer edisi No 12 tahun II 1938 tentang pertemuan Lajnah tarjih Muhammadiyah dimana Bung Karno pun ikut hadir

Berkaitan dengan sepak terjang Bung Karno dalam Muhammadiyah khususnya pendidikan, Penaboer mengangkat sebuah berita tentang konferensi pendidikan Muhammadiyah yang dihadiri oleh Bung Karno. Bukan hanya sebagai tamu, Bung Karno pada acara itu ditunjuk sebagai ketua komite dalam perancangan Leerplan (silabus) dan organisasi. Beliau sendiri telah bekerja keras beberapa saat sebelum konferensi ini dilaksanakan. Berita serupa juga muncul dalam koran Adil edisi no 48, 4 September 1938. Konferensi ini terselenggara karena “temuan” Bung Karno dari sekolah Muhammadiyah yang belum memiliki silabus seragam untuk semua sekolah di wilayah residensi Bengkulu. Walaupun Muhammadiyah secara kuantitas lebih banyak sekolahnya, namun masih kalah dibandingkan dengan Taman Siswa yang lebih tertib administrasi dan memiliki silabus yang berlaku seragam. Dengan adanya silabus yang seragam maka jika ada murid Muhammadiyah dari Muara Aman pindah ke Bengkulu, maka ia tidak akan tertinggal pelajaran hanya karena materi yang disampaikan di Bengkulu belum pernah ia pelajari di Muara Aman.

Koran “Penaboer” edisi Selasa 30 Agustus 1938 tentang konferensi Muhammadiyah

Kegiatan Bung Karno dalam merenovasi masjid Jamik sebagai salah satu “ikon” Bengkulu juga tidak luput dari perhatian “Penaboer”. Penaboer dalam salah satu terbitannya mengangkat seputar masjid besar masyarakat Bengkulu yang tak terawat dan seolah ditelantarkan. Padahal masjid tersebut salah satu masjid terbesar di kota Bengkulu pada masa itu. Bahkan menurut keterangan “Penaboer” masjid ini hanya difungsikan saat sholat jumat saja. Apakah bung Karno tergerak untuk merenovasi masjid ini terinspirasi dari berita “Penaboer” atau bukan, yang jelas usaha Bung Karno untuk mengajak segenap masyarakat Bengkulu untuk ikut serta memperbaiki masjid tersebut tidak mendapatkan respons yang baik. Masyarakat Bengkulu masih banyak yang menunjukkan sikap pesimis mengingat biaya renovasi masjid tersebut adalah f 25.000, sebuah jumlah yang sangat besar pada masa itu untuk penduduk kota kecil serupa Bengkulu. Walaupun demikian Penaboer mencoba membangkitkan semangat warga Bengkulu untuk merenovasi masjid tersebut dengan mengusulkan pada setiap warga untuk dapat menyumbangkan uangnya. Apalagi arsiteknya adalah Bung Karno yang tentu melakukan kerja tersebut tanpa mengharapkan imbal jasa.

Masalah pendanaan bukanlah masalah satu – satunya karena Bung Karno harus berhadapan dengan golongan tua yang kolot dan tidak ingin perubahan. Besar kemungkinan penolakan dari mereka karena jika direnovasi maka wakaf dan sedekah pendahulu yang ikut membangun masjid tersebut akan hilang. Belum lagi melihat bahwa Bung Karno bukanlah bagian dari golongan tua dan cukup dekat dengan kaum modernis Islam dan kaum kebangsaan, dua golongan yang tidak disukai oleh kaum tua pada masa itu. Walaupun demikian, segala rintangan tersebut dapat diatasi dengan baik. M. Ali Chanafiah, tokoh Taman Siswa Bengkulu memberikan kesaksian bahwa pembangunan masjid tersebut ikut pula melibatkan murid – murid Taman Siswa dan Muhammadiyah jika diperlukan gotong royong untuk pembangunan.

Dua berita tentang Masjid Jamik Bengkulu yang muncul dalam penaboer edisi Rabu 5 April 1939 dan edisi 16 Oktober 1939

Selain Bung Karno, Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno sendiri pun terjun dalam dunia pergerakan kaum wanita. Ia mencoba menghembuskan nafas emansipasi pada masyarakat yang dianggap masih menomor duakan perempuan. Ratna Djoeami juga diundang untuk menjadi pembicara dalam konferensi Aisyiyah setempat dimana namanya disejajarkan oleh ketua Aisyiyah Bengkulu. Kegiatan yang dilaksanakan pada Senin malam 12 Juni 1939 ini menghadirkan Ratna Djoeami dengan memberikan pidato berjudul “Hilang Gelap Timboel Terang” yang ia ambil dari surat – surat R.A Kartini. Selanjutnya, Ratna juga terlibat aktif dalam kepanitiaan peringatan RA. Kartini sebagai ketua dan pidatonya berjudul “Putri Menuju Perubahan” dihadirkan dalam ruang khusus “Penaboer”. Dalam pidatonya, Ratna mengajak kaum putri untuk menimba dan memperdalam pengetahuan di zaman yang mulai berubah dan mulai sedikit berpihak pada perempuan.

Berita tentang Ratna Djoeami menjadi pembicara daam rapat umum Aisyiyah Bengkulu dalam Penaboer edisi Rabu 7 Juni 1939

Penutup

Surat kabar memotret peristiwa sezaman sehingga menjadikannya sebagai sumber sejarah yang penting. Dalam hal ini menurut Sartono Kartodirjo, surat kabar mampu menjadi sumber sejarah dengan “skup”nya yang luas baik berita lokal, nasional maupun internasional. Gotschalk memberikan catatan agar sumber informasi koran harus didampingi dengan kritik sumber yang mumpuni mengingat koran bukan hanya berisi informasi dan fakta namun juga opini, interpretasi dan pikiran – pikiran yang mampu mempengaruhi publik.

Walaupun memiliki tiras yang tidak sebesar koran – koran lainnya, “Penaboer” sukses menjadi satu – satunya koran di Bengkulu yang cukup vokal pada masanya menyuarakan aspirasi masyarakat. Hubungan “Penaboer” dan Muhammadiyah sangat dekat mengingat tokoh- tokoh Muhammadiyah duduk sebagai redaksi “Penaboer” maupun percetakan “Persatoean” dimana koran ini dicetak. Tokoh – tokoh seperti Samaoen Bakri, Oey Tjeng Hien, A. Khahar adalah tokoh – tokoh yang dapat dikatakan cukup radikal dalam pergerakan. Hal ini membuat sebuah kesimpulan bahwa Muhammadiyah secara organisasi mengambil jalan kooperaasi namun berbeda dengan tokoh – tokohnya secara pribadi yang radikal bersikap kepada Pemerintah Hindia Belanda beserta dengan aparat – aparatnya.

Walaupun usia “Penaboer” tidak lama, namun koran ini mampu memotret kehidupan Bung karno khususnya hubungan Bung Karno dengan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebuah sumber sejarah dari arsip koran lokal yang memotret Bung Karno dari jarak yang sangat dekat sebagai seorang interniran dimana sejak awal mula ia dibuang ke Bengkulu, ia telah diterima baik dengan keluarga Muhammadiyah.

Wallahu’alambishawab.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Begini Cara Pak Kasman Memahami Perempuan dalam Islam Oleh Mu’arif Sebenarnya, Kasman Singod....

Suara Muhammadiyah

25 September 2023

Khazanah

Wasiat KH Ahmad Dahlan: Muhammadiyah Harus Taklukkan Dunia! Oleh Mu’arif “Moehammadija....

Suara Muhammadiyah

22 November 2023

Khazanah

Sebelum 1936, Muhammadiyah Telah Berdakwah di Pendowoharjo Pendowoharjo saat ini adalah salah satu ....

Suara Muhammadiyah

16 September 2023

Khazanah

Sejarah Singkat Muhammadiyah Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912....

Suara Muhammadiyah

12 October 2023

Khazanah

Ibrah Sejarah Maroko - Spanyol Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim, Guru Besar Ilmu Sejarah dan Peradaban I....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah