Doa yang Tertunda, Jawaban yang Sempurna

Publish

10 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
30
Sumber Foto: Freepik

Sumber Foto: Freepik

Doa yang Tertunda, Jawaban yang Sempurna

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kita sering bertanya-tanya, "Mengapa ada doa yang tak terwujudkan atau dikabulkan?" Untuk memahaminya, kita harus melihat doa sebagai sebuah komunikasi dua arah yang mendalam antara hamba dan Sang Pencipta. Kita mengajukan permohonan—yaitu keinginan kita—dan pada akhirnya, Tuhanlah yang memegang kebijaksanaan penuh untuk memutuskan apa yang akan Dia kabulkan.

Mustahil bagi Tuhan untuk mengabulkan setiap doa secara serentak, sebab keinginan manusia sering kali saling bertolak belakang. Bayangkan sebuah skenario sederhana: Anda merencanakan piknik dan memanjatkan doa agar langit cerah tanpa setetes hujan. Di saat yang sama, seorang petani yang hidupnya bergantung pada hasil panennya sedang menengadah ke langit, memohon agar hujan segera turun.

Tuhan tidak dapat memenuhi kedua permintaan yang bertolak belakang ini secara langsung. Tentu, Dia bisa saja melakukan intervensi "ajaib"—misalnya, menurunkan hujan tepat di lahan petani, sementara piknik Anda tetap kering. Namun, tindakan seperti itu berarti Dia harus terus-menerus mengubah tatanan kosmos dan hukum alam yang telah Dia ciptakan. Terkadang, kebijaksanaan Tuhan mengharuskan Dia untuk tidak mengabulkan semua permohonan kita sekaligus, terutama saat keinginan kita saling bertentangan. Inilah alasan pertama.

Alasan kedua adalah bahwa terkadang, kita memohon hal-hal yang, meskipun tidak mustahil bagi kekuasaan Tuhan sebagai Tuhan (sebab segala sesuatu mungkin bagi-Nya), bertentangan dengan rencana atau ketentuan alam semesta yang telah Dia tetapkan. Tuhan telah menetapkan sebuah rencana yang tak tergoyahkan, dan Dia tidak akan mengubah ketentuan fundamental-Nya hanya karena satu permohonan kita.

Ambil contoh doa agar kakek yang kita cintai tidak pernah meninggal. Kita semua tahu bahwa pada akhirnya, kakek harus meninggalkan dunia ini. Hal ini adalah bagian dari ketentuan universal Tuhan: bahwa manusia memiliki batas usia. Para ilmuwan bahkan telah memperkirakan batas usia biologis, sekitar 115-116 tahun. Kita bisa saja terus berdoa agar kakek hidup hingga 200 tahun, tetapi kenyataannya, beliau pasti akan berpulang, dan kita semua pun akan mengalaminya.

Oleh karena itu, terkadang doa kita terasa tidak dijawab karena kita memohon hal yang mustahil secara duniawi—hal-hal yang bertentangan dengan batasan dan siklus kehidupan yang telah Tuhan tetapkan bagi umat manusia.

Seringkali, kita terfokus pada apa yang kita inginkan, padahal pandangan kita terbatas. Kita memohon sesuatu karena itulah yang kita ketahui dan yakini baik. Namun, Tuhan, Sang Maha Mengetahui, sering kali menahan permintaan kita hanya untuk menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih unggul dan bermanfaat bagi kita.

Saat kita memanjatkan doa untuk hasrat yang begitu kuat, Tuhan mungkin menjawabnya dengan memberikan anugerah yang berbeda, sebuah berkat yang nilainya melampaui apa yang kita minta. Kita mungkin tidak menyadari bahwa Tuhan sedang berbuat kebaikan kepada kita, bukan dengan menuruti keinginan kita secara harfiah, melainkan dengan memberikan yang terbaik sebagai gantinya. Seandainya kita tahu betapa berharganya hadiah pengganti itu, niscaya kita akan memohonnya sejak awal. Dalam kebaikan-Nya, Tuhan telah menganugerahkannya kepada kita bahkan tanpa kita memintanya.

Alasan lain mengapa doa terasa tak terjawab adalah karena penilaian kita terhadap "baik" dan "buruk" sangatlah dangkal. Kita berdoa untuk sesuatu yang tampak sempurna di mata kita, padahal sebenarnya, hal itu dapat membawa dampak buruk bagi hidup kita.

Al-Qur'an mengingatkan kita dengan tegas: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu" (QS 2: 216). Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di balik tirai takdir. Oleh karena itu, kesimpulan Ilahi menutup ayat itu dengan ketegasan: "Tuhan mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."

Kita dituntut untuk menaruh kepercayaan mutlak pada kebijaksanaan Tuhan. Dia tidak hanya memberikan yang terbaik bagi kita, tetapi sering kali, Dia secara aktif menjauhkan kesulitan dan bencana dari jalan hidup kita. Bayangkanlah: kita sedang sibuk memohonkan hal-hal yang kita sukai saat ini. 

Namun, dalam rencana Tuhan, ada banyak sekali potensi bahaya yang mengintai. Jika kita tahu ada bahaya besar yang akan datang, tentu kita akan segera mengubah doa kita menjadi permohonan perlindungan! Tapi karena kita tidak tahu, kita terus meminta hal-hal yang kita inginkan. Di sinilah letak keajaibannya: Alih-alih memberikan apa yang kita suka, Tuhan menggunakan doa itu untuk menangkis mara bahaya yang seharusnya menimpa kita.

Oleh karena itu, doa kita tidak pernah sia-sia. Ia telah dijawab, tetapi dengan cara yang paling fundamental: menyelamatkan kita dari kehancuran yang tak terlihat. Doa itu efektif dan bekerja, hanya saja di balik layar kesadaran kita.

Doa yang tertunda atau tidak terpenuhi bukanlah kegagalan, melainkan kesempatan untuk pertumbuhan spiritual. Tuhan, dalam kemurahan hati-Nya yang tak terbatas, menggunakan doa sebagai alat untuk mengukir karakter kita. Terkadang, Tuhan menahan apa yang kita minta karena Dia ingin mengajari kita nilai kesabaran. Kita dapat membayangkan diri kita sebagai seorang anak yang merengek meminta mainan mahal. Orang tua yang kaya dan bijak berkata, "Nak, Ibu punya uangnya, dan Ibu bisa membelikannya sekarang. Tapi Ibu ingin kamu belajar menunda kepuasan. Ibu akan memberikannya nanti, atau bahkan sesuatu yang lebih berharga."

Tuhan memperlakukan kita dengan kasih sayang yang jauh melampaui kasih sayang orang tua. Dia tahu bahwa apa yang kita anggap sebagai kebutuhan mendesak mungkin lebih bermanfaat jika diberikan di waktu yang tepat, atau diganti dengan sesuatu yang jauh lebih baik—sesuatu yang pikiran kita yang terbatas belum mampu memahaminya. Penundaan ini adalah bagian dari karunia-Nya.

Ada kalanya Tuhan ingin menguji dan menguatkan kita melalui pelajaran kerelaan (qana’ah). Meskipun wajar untuk berdoa memohon lebih dari apa yang kita miliki, terkadang, hikmah terbesar justru terletak pada belajar merasa cukup dengan rezeki yang ada.

Mengapa demikian? Karena jika semua permohonan materi kita dikabulkan, kita berisiko terlena dalam kenikmatan duniawi dan menjauh dari Tuhan. Ketika kita merasa puas meskipun dengan sumber daya yang minim, hal itu justru memaksa kita untuk lebih bergantung, lebih bersandar, dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Paradoksnya, Tuhan menahan materi demi kebaikan rohani kita. Hubungan yang lebih intim dengan Tuhan yang kita dapatkan karena tidak terpenuhinya permintaan duniawi kita, adalah manfaat sejati yang kita peroleh.

Untuk menutup diskusi ini, mari kita pahami sebuah janji agung dalam tradisi Islam, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, doa kita tidak pernah terabaikan; Tuhan pasti menjawabnya dalam salah satu dari tiga bentuk mulia: diberikan sesuai permintaan (jawaban segera): Tuhan langsung mengabulkan persis apa yang kita mohonkan; dihindarkan dari bahaya (jawaban protektif): Doa kita berfungsi sebagai perisai, menangkis musibah atau bencana yang seharusnya menimpa kita; dan disimpan untuk Akhirat (jawaban tertinggi): Tuhan menahan pemberian di dunia, namun menyimpan pahala doa itu secara utuh sebagai ganjaran besar di kehidupan abadi.

Seringkali, jawaban ketiga inilah yang mengandung kebijaksanaan tertinggi. Alih-alih memberikan hal fana yang kita inginkan saat ini—entah itu harta, kemudahan materi, atau bebas dari kesulitan hidup—Tuhan menggantinya dengan simpanan pahala di akhirat. Inilah keuntungan tertinggi bagi manusia. Ganjaran abadi ini jauh lebih berharga, jauh lebih bermanfaat, dan jauh lebih lestari daripada segala kenyamanan duniawi yang pernah kita minta.

Pada akhirnya, Tuhan adalah Zat yang Maha Dermawan—Dia pasti memberi kita sesuatu, bahkan jika itu bukan replika persis dari permintaan kita. Oleh karena itu, meskipun di mata kita doa kita tampak tak berbalas, kita harus yakin sepenuhnya bahwa Tuhan sedang menjawabnya. Doa kita tidak pernah sia-sia. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Peran Orang Tua Mengajarkan Keselamatan pada Anak Oleh: Abdul Muhyi, Mahasiswa Institut Agama Islam....

Suara Muhammadiyah

14 December 2024

Wawasan

Pentingnya Peran Ulama Menuntun Umaro sebagai Pengayom dan Pemakmur Umat Oleh: Rumini Zulfikar, Pen....

Suara Muhammadiyah

10 December 2024

Wawasan

Berhenti Menipu Calon, Hentikan Politik Uang: Suara Rakyat Bukan Barang Dagangan Oleh: Dr. Ijang Fa....

Suara Muhammadiyah

3 October 2025

Wawasan

Muhammad Barie Irsjad, Memuliakan Pencak Silat dengan Kaidah Methodis Dinamis  Oleh : Yudha Ku....

Suara Muhammadiyah

17 February 2025

Wawasan

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk Agaknya kita yang telah menjalani Ramadhan beberapa hari ini harus menguku....

Suara Muhammadiyah

20 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah