Puasa Ramadhan dan Ketahanan Keluarga

Publish

11 March 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
887
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Puasa dan Ketahanan Keluarga

Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I., Dosen UM Metro

Hari pertama Ramadhan 1445 H ini saya ingin mengajak semua pembaca merenung dan memahami puasa dalam prespektif keluarga. Karena penulis meyakini bahwa puasa bukanlah sekedar sebuah ritual tahunan, tetapi lebih dari itu. Puasa adalah sebuah sistem kehidupan yang diturunkan Allah SWT untuk menjaga kehidupan manusia, baik menjaga agama (hifdzu dien), menjaga jiwa (hifdzu nafsi), menjaga akal (hifdzu aql), menjaga keturunan (hifdzu nasl) dan menjaga harta (hifdzu mal). 

Sistem ini adalah sebuah keharusan untuk ditegakan dan dilakukan oleh manusia, sehingga dalam Islam puasa menjadi salah satu rukun Islam. Artinya dia menjadi sistem hidup yang mutlak, tanpanya akan terjadi kerusakan kehidupan dan dunia ini. Mungkin asumsi ini terlalu berlebihan, akan tetapi penulis sangat meyakini sekali berdasarkan keimanan dan keilmuan, bahwa tanpa puasa maka dunia ini akan hancur.

Puasa Ramadhan hakikatnya adalah sebuah simbol yang hadirkan oleh Allah SWT, yang secara syar'i hendaknya dilakukan berdasarkan nilai-nilai fiqhiyah hukumnya, sehingga menjadi ritual yang penuh pahala. Akan tetapi ada mafhum (makna) yang sangat dalam yang itu adalah hakikat dari pada puasa itu sendiri. Inilah yang kemudian Nabi Muhammad SAW melakukan autokritik dalam hadis: 

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya).

Artinya, puasa tidak boleh hanya menahan lapar dan dahaga saja, akan tetapi hendaknya menaikan level lebih tinggi, pada penegakan nilai-nilai puasa yang sangat luar biasa. 

Tahun kemarin saya membahas puasa dan kepemimpinan,  puasa tahun ini saya ingin merenungi pada konteks bagaimana puasa membangun ketahanan keluarga, sehingga hadir keluarga yang survive, keluarga yang hadir nilai spiritual yang dalam, keluarga yang bahagia dan keluarga yang akan mencapai tujuannya, sakinah mawaddah warahmah. 

Karena penulis menganggap bahwa awal dari kegagalan berumah tangga adalah ketidak mampuan anggota keluarga dalam melakukan puasa dengan sebaik-baiknya. Puasa sebaik-baiknya adalah puasa dalam arti bukan hanya menahan lapar haus, tapi puasa dalam rangka melakukan penanahan diri dari segala hal yang dapat merusak rumah tangga. Ketidak mampuan menahan diri inilah sehingga kehancuran rumah tangga terjadi. 

Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan setidaknya terdapat 13 faktor penyebab perceraian antara lain zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), cacat badan, perselisihan, dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, dan ekonomi.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA (Ditjen Badilag MA) ada 4 faktor terbesar penyebab perceraian di tahun 2021. Seperti, perselisihan dan pertengkaran 36% (176.683 perkara); faktor ekonomi, misal tidak memberi nafkah atau tidak punya pekerjaan, tidak punya penghasilan itu 14% (71.194 perkara); meninggalkan kediaman tempat bersama 7% (34.671 perkara); dan kekerasan dalam rumah tangga 0,6% (3.271); lain-lain sisanya (198.951 perkara). 

Semua permasalahan di atas dapat dilakukan analisis bahwa semua berasal dari kelemahan anggota keluarga dalam menahan diri. Misal KDRT adalah sebuah ketidakmampuan menahan amarah anggota keluarga, sehingga harus melampiaskan kemarahan kepada istri dan anak atau yang lainya. Perzinahan dalam keluarga atau yang sering disebut sebagai perselingkuhan, adalah ketidakmampuan menahan syahwat untuk menyalurkan kepada yang halal, atau ketidak mampuan menjalankan hubungan yang halal, sehingga mengambil jalan pintas. 

Perceraian karena masalah ekonomi, sebenarnya inti masalahnya adalah ketidak mampuan menahan akan kehidupan yang prihatin, ketidak tahanan menahan diri untuk mencari solusi bersama, sehingga harus berujung pada perceraian. 

Daya tahan diri (self endurance) adalah goal dari puasa ramadhan, sehingga manusia benar-benar mampu menahan diri dari segala keburukan, dan fokus pada menjalankan ketaatan, inilah yang disebut ketaqwaan. Sehingga suatu saat jika sistem puasa ini dijalankan dengan baik, maka dunia ini akan menjadi makmur, penuh keberkahan, karena prosentase kebaikan lebih dominan dibanding prosentase keburukan.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Stunting Ideologi Kader Muhammadiyah: Refleksi Tantangan di Era Digital  Oleh: dr. Rifan Eka P....

Suara Muhammadiyah

22 September 2024

Wawasan

Kelompok Salafi  dan Pudarnya Kesalehan Sosial Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi, Demisioner Sekr....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Wawasan

“Ikhtiar Guru Muhammadiyah Wujudkan Pendidikan Unggul Berkemajuan” Tepat pada tanggal 2....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Kita adalah manusia. Kita tinggal di bumi yang sangat berharga bagi kita. Karen....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Wawasan

Menilai Kualitas Ketakwaan Selepas Ramadhan Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang ....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah