Waktu yang Tak Kembali dan Produktivitas yang Bermakna
Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan, Anggota MPI PPM (2015-2022)
Pernahkah kita merasa seharian sibuk, tetapi di malam hari justru muncul perasaan hampa—seolah waktu yang berlalu tidak meninggalkan jejak apa-apa? Kita memang hidup di zaman serba cepat, di mana hampir semua hal bisa diperoleh dalam hitungan detik. Makanan tinggal pesan, belanja cukup klik, bahkan hiburan pun hadir tanpa kita minta. Di tengah derasnya arus digital, manusia modern sering kehilangan kemampuan paling dasar: menikmati proses dan menghargai waktu.
Kita terbiasa memberi “hadiah kecil” pada diri sendiri setelah bekerja keras. Kadang bentuknya sederhana—rebahan sambil scroll TikTok atau Instagram. Awalnya hanya ingin rehat sejenak, tapi tanpa terasa, tiga puluh menit hilang begitu saja. Lucunya, setelah itu bukan rasa segar yang muncul, melainkan penyesalan. Waktu terbuang, pikiran tetap penat. Kita mencari ketenangan di dunia maya, tapi yang datang justru kelelahan baru.
Dalam pandangan Islam, waktu bukan sekadar satuan detik yang lewat di jam dinding. Waktu adalah amanah, karunia yang tidak bisa diulang. Allah berfirman, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran” (QS. Al-‘Ashr: 1–3). Ayat yang sangat singkat, namun mengandung peringatan mendalam: waktu bisa menjadi ladang pahala atau jurang penyesalan, tergantung bagaimana kita mengelolanya.
Produktivitas dalam Islam tidak sekadar berarti bekerja tanpa henti, melainkan bekerja dengan niat yang lurus dan manfaat yang nyata. Menulis sesuatu yang bermanfaat, membantu teman menyelesaikan tugas, membersihkan rumah, atau menuntaskan laporan kerja, semuanya termasuk amal saleh. Ia tidak selalu besar, tetapi konsisten dan bernilai. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dilakukan secara terus-menerus meski kecil” (HR: Bukhori dan Muslim). Artinya, keberkahan bukan pada banyaknya aktivitas, tapi pada ketulusan dan kesinambungannya.
Masalahnya, kita sering tertukar antara kesibukan dan kebermaknaan. Banyak orang sibuk, tapi tidak produktif. Seharian berurusan dengan layar, tetapi tak satu pun karya nyata yang tersisa. Padahal, produktivitas sejati lahir bukan dari banyaknya hal yang kita kerjakan, melainkan dari kebermaknaan apa yang kita lakukan. Satu jam menulis refleksi hidup bisa lebih berharga daripada tiga jam menonton video hiburan tanpa arah.
Di sinilah pentingnya mujahadah—upaya melawan kecenderungan diri untuk mencari kenyamanan instan. Melatih diri untuk sabar dalam proses, menahan diri dari keinginan instan, dan menata waktu agar lebih terarah. Spirit mujahadah inilah yang sering diajarkan oleh para ulama Muhammadiyah: bekerja keras bukan untuk sekadar hasil duniawi, tapi untuk menghadirkan manfaat bagi sesama dan menegakkan nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Kita bisa memulainya dari hal sederhana. Misalnya, mengganti kebiasaan “scroll tanpa arah” dengan membaca satu artikel ilmiah atau menulis catatan harian. Tidak harus lama—cukup tiga puluh menit setiap hari. Lama-lama, kegiatan kecil itu menjadi sumber kebahagiaan yang lebih dalam. Sebab, manusia diciptakan bukan hanya untuk menikmati, tetapi untuk berkarya. Dalam setiap karya yang bermanfaat, ada rasa syukur yang hidup.
Rasulullah SAW adalah teladan dalam produktivitas. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktu, bahkan untuk hal sepele sekalipun. Dalam setiap kesibukan, selalu ada arah dan makna. Beliau mengajarkan keseimbangan: bekerja, beribadah, beristirahat, dan berinteraksi sosial berjalan serasi. Inilah yang sering hilang di kehidupan modern—kita bekerja tanpa arah, atau beristirahat tanpa kedalaman.
Generasi muda Muhammadiyah perlu menumbuhkan kesadaran ini sejak dini. Hidup di era digital memang penuh godaan, tetapi juga banyak peluang. Media sosial bisa menjadi ladang dakwah, tempat berbagi ilmu, dan ruang kreatif yang bermakna—asal digunakan dengan niat baik dan pengendalian diri. Jangan sampai kita menjadi generasi yang pandai menatap layar, tapi gagal menatap kehidupan.
Produktivitas sejati bukan sekadar menghasilkan uang, tapi juga mencipta nilai. Ia memberi kebahagiaan yang lebih tenang, lebih lama, dan tidak bergantung pada “like” atau “view”. Orang yang produktif merasakan kebahagiaan dari dalam, bukan dari validasi luar. Karena setiap hasil kerja, sekecil apa pun, menjadi saksi bahwa ia telah memanfaatkan waktu dengan baik.
Pada akhirnya, hidup bukan soal berapa lama kita hidup, tetapi seberapa banyak makna yang kita tinggalkan. Waktu akan terus berjalan, tanpa peduli apakah kita mengisinya atau tidak. Maka, ketika malam datang dan tangan terasa gatal untuk kembali men-scroll layar, coba berhenti sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: apakah lima belas menit ke depan akan menjadi berkah, atau sekadar hilang tanpa jejak?
Allah menganugerahkan kita waktu yang sama: dua puluh empat jam sehari. Yang membedakan hanyalah bagaimana kita menggunakannya. Maka, jadikan produktivitas sebagai bentuk syukur, dan waktu sebagai amanah yang dijaga. Sebab, dalam setiap kerja yang bermanfaat, sesungguhnya kita sedang memperpanjang kehidupan kita di dunia dan menanam pahala untuk akhirat.