Budaya Instan vs Intelektualitas Profetik

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
94
Logo IMM

Logo IMM

Oleh: Wildan Farih Musthafa *)

Hidup dalam Gelombang Informasi
    Saat ini, kita hidup di era di mana informasi sangat mudah diakses. Kehidupan manusia, pada dasarnya, dipenuhi oleh gelembung-gelembung informasi yang terus mengalir dari berbagai arah. Begitu berharganya informasi, hingga manusia rela mencarinya dengan berbagai cara, bahkan menghabiskan banyak waktu dan tenaga demi meraihnya. Jika menengok jauh ke belakang, sejak zaman pra-Socrates hingga masa Socrates, kebutuhan informasi sudah menjadi bagian penting dalam peradaban. Pada masa itu, mereka menggunakan papan pengumuman untuk menyampaikan informasi kepada publik. Bentuk awal dari apa yang kini dikenal sebagai infografis ini dahulu berisi berbagai informasi penting yang dapat diakses oleh masyarakat. Seiring perkembangan zaman, informasi kemudian dituangkan melalui media cetak, seperti koran, surat kabar, dan majalah.
Memasuki era modern, penyampaian informasi makin berkembang melalui media elektronik. Berita-berita kini dapat disaksikan di televisi atau didengarkan melalui radio. Namun, perkembangan teknologi digital membawa lompatan besar dalam cara mengakses informasi. Pada masa kini, hampir semua informasi dapat diperoleh hanya dengan membuka ponsel. Rutinitas sederhana, seperti bangun tidur pun sering kali diiringi kebiasaan membuka media sosial —Instagram, WhatsApp, Facebook, X (dulu Twitter)— untuk melihat berbagai update terkini. Kebiasaan ini terjadi secara tidak sadar karena memang informasi tersebut dibutuhkan untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Sebagai contoh sederhana, bayangkan ada sebuah rapat penting. Informasi tentang waktu dan tempat rapat sudah diumumkan di grup WhatsApp. Jika tidak membukanya atau tidak mencari tahu, tentu akan kesulitan menyesuaikan jadwal dan akhirnya ketinggalan atau tidak tahu arah. Dari situ, dapat dilihat bahwa informasi memainkan peran vital dalam membantu membuat keputusan dan mengatur kehidupan. Analogi ini secara sederhana menggambarkan betapa pentingnya informasi dalam kehidupan manusia modern. Kemudahan akses informasi bukan lagi sekadar kemewahan, melainkan kebutuhan dasar yang mendukung hampir seluruh aspek kehidupan.
Pada masa lampau, informasi sering kali disampaikan secara implisit melalui narasi dan cerita yang mengandung pesan moral, filosofi, dan nilai-nilai kehidupan. Dongeng, mitos, dan legenda menjadi medium utama dalam mentransmisikan pengetahuan antargenerasi, dengan alur yang menggugah dan mudah diingat. Namun, seiring perkembangan teknologi, pola penyampaian informasi pun berubah. Kini, masyarakat cenderung menginginkan informasi yang disajikan secara langsung, cepat, dan ringkas, tanpa dibalut dalam cerita panjang (Carr, 2010). Platform digital, seperti media sosial, portal berita daring, dan notifikasi singkat, telah menggeser peran narasi tradisional, menghadirkan informasi instan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Meski demikian, penting untuk tetap menghargai kekuatan narasi dalam menyampaikan makna yang lebih dalam, agar tidak kehilangan kedalaman pemahaman di tengah arus informasi yang serba cepat.
Pada dasarnya, perubahan zaman yang dipicu oleh kemajuan di sektor teknologi telah membawa dampak besar yang merembet ke seluruh dimensi kehidupan manusia. Tanpa disadari, perkembangan teknologi turut mengubah pola pikir, perilaku, dan kebiasaan sehari-hari. Seiring teknologi berkembang, kebiasaan-kebiasaan lama perlahan tergantikan oleh cara-cara baru yang lebih efisien dan serba instan. Jika membahas fenomena ini, tentu akan langsung teringat pada Revolusi Industri di Inggris —sebuah titik balik besar dalam sejarah manusia yang menginspirasi Karl Marx menulis Das Kapital. Dalam karya tersebut, Marx membahas secara mendalam bagaimana perubahan teknologi dan industrialisasi menciptakan realitas baru dalam kehidupan sosial, serta memunculkan ide-ide kritis mengenai sistem ekonomi dan relasi kuasa di masyarakat (Marx, 1867). Fenomena serupa sebenarnya masih terasa hingga kini di era digital yang terus mengubah wajah peradaban modern.
Kesampingkan dulu sejenak teori buruh (labour theory) dari Karl Marx, penulis justru lebih tertarik pada aspek realitas imajiner atau “utopia” yang diimpikannya, yaitu tentang kesetaraan. Yang ingin penulis soroti di sini adalah betapa besar pengaruh struktur masyarakat dalam membentuk cara berpikir kolektif. Ironisnya, Karl Marx sendiri menjadi contoh nyata bagaimana struktur sosial di sekitarnya turut membentuk respons dan pemikirannya terhadap fenomena Revolusi Industri. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hidup dalam ruang individual yang sepenuhnya bebas; sebaliknya, telah terjebak dalam sebuah jaring laba-laba sosial yang secara halus, tetapi kuat, membentuk kesadaran masyarakat. Secara struktural, hal ini memengaruhi alam bawah sadar, membentuk pola pikir, kebiasaan, bahkan preferensi masyarakat. Melalui pemahaman ini, penulis mengajak melihat kenyataan bahwa manusia bukanlah aktor bebas yang sepenuhnya otonom dan diagung-agungkan. Kita adalah cerminan dari kebiasaan, nilai, dan struktur yang diwariskan oleh lingkungan sosial sekitar. Untuk memperdalam pemahaman ini, barangkali perlu “jalan-jalan” sebentar ke pemikiran Pierre Bourdieu, khususnya konsep habitus —sebuah gagasan yang secara tajam menampar kesadaran tentang bagaimana realitas sosial benar-benar bekerja.

Di Balik Kemudahan Digital
Tidak terpikirkan sebelumnya bahwa adanya perubahan teknologi akan membawa pada suatu masa di mana hal itu mengubah tingkah laku, bahkan cara berpikir manusia zaman sekarang. Adanya teknologi membawa kemudahan dalam hidup manusia, tetapi tentu saja tidak boleh begitu saja menelan dan menerima mentah-mentah narasi itu. Justru sebagai manusia yang diberkahi akal, mestinya harus dapat melihat sesuatu secara lebih komprehensif. Teknologi memang membawa kemudahan, tetapi bukan berarti tidak membawa hal negatif. Justru dengan perkembangan teknologi, manusia sepenuhnya berubah. Jika sebelumnya seseorang harus bersusah payah untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu, kini hanya perlu beberapa sentuhan, lalu beres. Kemudahan-kemudahan ini justru membawa pada kondisi di mana seseorang merasa puas, dan kemudian kehilangan kehendak untuk bersusah payah.
Apa implikasinya? Kemalasan melakukan sesuatu akan mengakibatkan bagaimana cara menyikapi sesuatu. Contoh paling nyata adalah bagaimana minat baca di Indonesia yang sangat minim. Hal ini memengaruhi tingkat literasi, bahkan hingga skor IQ negara ini dinilai rendah (OECD, 2019; PISA, 2025). Kemudahan dalam bidang teknologi ternyata tidak hanya berdampak pada satu sektor, tetapi meluas. Eskalasinya menjamur di berbagai sektor, hingga bahkan informasi. Kemudahan memperoleh informasi dengan cepat dan efisien, juga informasi yang padat dan ringkas itu, memengaruhi struktur pikiran, cara bertindak, bahkan watak pun terpengaruh oleh kemajuan teknologi. Walaupun dalam pembentukan watak, orang tua dan lingkungan berperan penting, tetapi, jangan lupa, orang tua dan lingkungan juga terpapar teknologi, khususnya kecepatan informasi.
Akhirnya, yang dirasakan saat ini adalah bobroknya IQ bangsa dan skor minat baca yang rendah (OECD, 2019; PISA, 2025) merupakan implikasi dari kemajuan teknologi itu sendiri. Laju informasi yang cepat, ringkas, dan padat membuat struktur berpikir masyarakat menjadi lebih berorientasi pada hubungan transaksional saja: mereka hanya memerlukan informasi yang padat dan berwujud rangkuman, tanpa menghiraukan narasi dan cerita. Selanjutnya, ketika ini sudah menjadi sebuah budaya, yaitu pemahaman yang sifatnya kolektif, akan berakibat pada berbagai sektor. Hal inilah yang menuntun pada kondisi saat ini di mana masyarakat yang menuntut efektifitas, tanpa menghiraukan cerita, dan narasi. Akibat lanjutnya, struktur masyarakat yang demikian membawa pada bentukan watak manusia sekarang yang hanya mau kenikmatan, serba cepat, dan menggairahkan, seperti konten Tik-Tok dan Instagram yang durasinya cepat, tidak lebih dari satu menit.

Habitus Digital
    Pierre Bourdieu, seorang generalis (sosiolog, antropolog, dan filsuf) asal Prancis, menawarkan pemikiran, yaitu habitus yang membantu dalam memahami bagaimana struktur sosial membentuk perilaku manusia, dan bagaimana individu secara aktif mereproduksi atau bahkan mengubah struktur tersebut (Bourdieu, 1977). Secara sederhana, habitus dapat dipahami sebagai sistem kecenderungan atau pola pikir dan perilaku yang terbentuk secara tidak sadar melalui pengalaman hidup sehari-hari (Bourdieu, 1977). Habitus bukanlah sesuatu yang muncul secara alamiah sejak lahir, melainkan dibentuk oleh proses internalisasi struktur sosial, dimulai dari keluarga, pendidikan, lingkungan sosial, hingga media. Inilah mengapa pengaruh teknologi yang sangat kuat saat ini berperan besar dalam membentuk habitus generasi modern. Jika pada masa lalu habitus seseorang terbentuk lewat narasi panjang dalam buku, cerita lisan, atau interaksi sosial yang kaya makna, kini banyak habitus terbentuk dari interaksi digital yang serba instan dan serba ringkas.
Bourdieu menggambarkan habitus sebagai seperangkat kecenderungan, pola pikir, dan skema persepsi yang terbentuk dari pengalaman hidup, sejak dini hingga dewasa (Bourdieu, 1977). Habitus bukan hanya sekadar kebiasaan, melainkan struktur yang membentuk struktur: ia membimbing tindakan tanpa disadari, dan sekaligus direproduksi melalui tindakan-tindakan tersebut. Dalam konteks era digital, perubahan cara manusia mengonsumsi informasi berperan besar dalam membentuk habitus baru. Jika dulu informasi diperoleh lewat proses yang lebih lambat dan reflektif membaca buku, mendengarkan cerita, berdiskusi secara langsung, kini informasi hadir dalam bentuk yang serba cepat, padat, dan instan. Scroll cepat di media sosial, video berdurasi singkat, headline bombastis tanpa isi yang mendalam, adalah contoh bagaimana cara yang sudah terbiasa dalam menerima informasi hari ini (Carr, 2010). Lama-kelamaan, kebiasaan ini menginternalisasi pola pikir tertentu, yakni informasi yang baik adalah yang cepat dicerna, pengetahuan dapat dipahami dalam bentuk potongan kecil, dan membaca panjang dan mendalam dianggap membuang waktu. Inilah proses pembentukan habitus digital masyarakat modern.
Perubahan habitus ini membawa sejumlah implikasi penting. Pertama, penurunan minat baca dan literasi kritis. Masyarakat yang terbiasa dengan informasi instan cenderung kehilangan kesabaran untuk membaca teks panjang. Minat baca menurun bukan semata karena kurangnya akses, tetapi karena struktur berpikir yang telah dibentuk oleh pola konsumsi digital. Bahkan, skor literasi dan IQ suatu bangsa ikut terdampak oleh perubahan ini. Kedua, orientasi transaksional terhadap informasi. Habitus digital mendorong masyarakat untuk memperlakukan informasi secara transaksional: cukup tahu apa yang dibutuhkan saat itu saja, tanpa keinginan mengeksplorasi lebih jauh. Akibatnya, pemahaman menjadi dangkal dan kemampuan berpikir reflektif makin terpinggirkan. Ketiga, watak hedonistik dan instan. Media digital mendorong budaya kenikmatan instan. Konten singkat, visual menarik, dan hiburan cepat lebih disukai daripada proses intelektual yang memerlukan kerja keras. Hal ini membentuk watak masyarakat yang kurang menghargai proses dan lebih mengedepankan hasil instan (Carr, 2010). Seperti yang tergambar dalam fenomena popularitas konten TikTok atau Reels di Instagram. 
Bourdieu juga mengingatkan bahwa manusia hidup dalam jaring-jaring struktur sosial yang membentuk sekaligus membatasi cara berpikir dan bertindak. Bahkan Karl Marx pun tak lepas dari pengaruh konteks sosial zamannya (Bourdieu, 1977). Demikian pula masyarakat hari ini: dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma, kecenderungan menerima informasi tertentu semakin diperkuat oleh filter bubble dan echo chamber (Lanier, 2018). Akibatnya, bukan hanya habitus masyarakat yang berubah, tetapi bahkan juga ruang publik dan kualitas diskursus sosial. Wacana publik kian dangkal, perdebatan kian emosional, dan pemahaman kritis makin terpinggirkan.
Memahami habitus digital bukan berarti harus menolak teknologi. Sebaliknya, pemahaman ini menjadi pangkal kesadaran: masyarakat perlu membangun habitus baru yang lebih seimbang. Kecepatan informasi tetap harus dimanfaatkan, sambil tetap melestarikan proses berpikir reflektif. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu memadukan kecepatan dengan kedalaman, bukan sekadar menjadi konsumen pasif dalam arus informasi global.

Membangun Literasi Kritis di Era Serba Cepat
Derasnya arus disrupsi informasi telah membawa pada zaman di mana kecepatan sering kali lebih dihargai daripada kedalaman, dan kepuasan instan lebih diminati daripada proses reflektif. Teknologi yang memudahkan hidup manusia, secara perlahan, membentuk habitus baru yang lebih pragmatis, konsumtif, dan dangkal dalam hal pemaknaan informasi. Pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus memberi lensa kritis untuk melihat bahwa manusia modern bukanlah entitas yang sepenuhnya bebas dalam berpikir dan bertindak. Sadar atau tidak, masyarakat telah terjebak dalam struktur sosial yang menginternalisasi pola pikir instan, konsumsi informasi transaksional, dan budaya visual yang serba cepat (Lanier, 2018). Dalam situasi seperti ini, upaya membangun kembali habitus kritis menjadi suatu keniscayaan. Pada titik inilah, sebenarnya, peran Muhammadiyah sangat strategis. Sebagai organisasi masyarakat dengan napas gerakan intelektual profetik, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan alternatif kultural di tengah dominasi budaya instan. Melalui tradisi literasi, penguatan nalar kritis, pembudayaan diskusi, serta penguatan nilai-nilai etik dan spiritual, Muhammadiyah dapat menjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang tidak sekadar melek informasi, tetapi melek makna.
Namun, tantangan ini juga memerlukan adaptasi strategi dakwah dan gerakan intelektual. Dalam geliat kebiasaan masyarakat yang kini lebih akrab dengan konten singkat dan media visual, Muhammadiyah perlu mengembangkan model dakwah kreatif yang relevan dengan ekosistem digital saat ini. Sebagai contoh, pembuatan konten dakwah berbasis video singkat, infografis, podcast, dan microblogging dapat menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan pencerahan secara efektif kepada generasi muda. Alih-alih menolak teknologi, Muhammadiyah dapat mengoptimalkannya sebagai alat dakwah profetik yang membangun literasi spiritual, moral, dan sosial yang kuat. Dengan demikian, gerakan intelektual profetik Muhamamadiyah bukan hanya bertahan sebagai wacana, melainkan tampil sebagai habitus baru yang hidup di dunia digital: bergerak lincah, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai keilmuan, kemanusiaan, dan pencerahan.
Sebagaimana Karl Marx membaca fenomena Revolusi Industri dan Bourdieu mengungkap bagaimana struktur sosial membentuk kesadaran manusia (Marx, 1867), Muhammadiyah era kini ditantang untuk membaca dan merespons fenomena disrupsi informasi dengan kacamata profetik. Muhammadiyah harus menjadi ruang di mana kader-kadernya tak sekadar menjadi konsumen pasif teknologi, tetapi subjek aktif yang mampu membangun budaya digital yang tercerahkan, dan membawa pesan dakwah Islam berkemajuan ke dalam medan sosial yang baru.

*) Mahasiswa Antropologi Budaya UGM dan aktivis IMM Ibnu Khaldun UGM.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Nasionalisme Muhammadiyah dan Kemerdekaan Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Universitas Al Azhar Indo....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

Membangun Motivasi Belajar Peserta Didik Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek  Oleh: Lis Atina....

Suara Muhammadiyah

4 December 2023

Wawasan

Oleh: Rusydi Umar, Dosen Universitas Ahmad Dahlan, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022) Nasyiatu....

Suara Muhammadiyah

21 May 2025

Wawasan

Oleh: Suko Wahyudi “Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; pet....

Suara Muhammadiyah

21 May 2025

Wawasan

Oleh: Miqdam Awwali Hashri, SE Kesehatan adalah hal yang paling utama. Orang yang sehat dapat berib....

Suara Muhammadiyah

24 July 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah