Semakin Unggul, UMY Kembali Kukuhkan Dua Guru Besar

Publish

21 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
91
Guru besar UMY Prof. Dr. Sidik Jatmika dan Prof. Dr. Nur Azizah bersama pimpinan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, kepala LLDIKTI V, Ketua BPH UMY, dan Rektor UMY periode 2012-2016, dan 2016-2024

Guru besar UMY Prof. Dr. Sidik Jatmika dan Prof. Dr. Nur Azizah bersama pimpinan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, kepala LLDIKTI V, Ketua BPH UMY, dan Rektor UMY periode 2012-2016, dan 2016-2024

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali mengukuhkan dua Guru Besar pada Senin (21/04) bertempat di Gedung AR Fachruddin B Lantai 5 Kampus Terpadu UMY. Dua Guru Besar tersebut adalah Prof. Dr. Sidik Jatmika, M.Si dalam bidang Ilmu Kepakaran Keamanan Manusia dan Prof. Dr. Nur Azizah, M.Si sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Gender dan Politik.

Pada orasi ilmiahnya, Sidik menyampaikan pandangan bahwa human security diplomacy atau yang biasa dikenal dengan diplomasi keamanan manusia telah menjadi perhatian khusus sejak pasca perang dunia di tahun 1990-an. Di mana keamanan manusia adalah kebijakan global yang peduli pada kaum minoritas sebagai kelompok rentan secara sosial dan politik. 

Hal tersebut pun ditandai dengan kebijakan PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) yang membagi isu keamanan manusia menjadi tujuh, yakni keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan pribadi, keamanan masyarakat, dan keamanan politik. 

“Menguatnya isu keamanan manusia dan diplomasi keamanan manusia pada awal abad ke – 21. Di mana dunia politik diibaratkan rimba raya yang memiliki hukum alam bahwa siapa kuat, dialah yang menang. Penting pula ditekankan bahwa keamanan manusia beserta kerentanan pada kelompok minoritas disebabkan oleh prasangka sosial atau gender,” jelas Sidik. 

Di dalam konteks internasionalisasi, Sidik menekankan Muhammadiyah adalah “New” Islamic Transnational Social Movement. Hal ini ditandai dengan Muhammadiyah telah banyak melakukan misi kemanusiaan internasional seperti di Palestina, Filipina, Pakistan, Rohingnya – Myanmar, dan lain sebagainya. 

“Fakta tersebut menjadikan Muhammadiyah sebagai role – model gerakan Islam yang moderat dan kokoh secara iman. Bahkan Muhammadiyah pernah menerima penghargaan Zayed Award for Human Fraternity tahun 2024. Penghargaan tersebut menilai upaya Muhammadiyah dalam mengatasi tantangan sosial yang kompleks, khususnya dalam menjaga nilai kemanusiaan, toleransi, dan kerukunan,” pungkasnya.  

Dalam kesempatan yang sama, Nur Azizah juga memaparkan orasi ilmiahnya yang mengkritisi dan menyoroti adanya praktik maskulinitas dan feminitas dalam navigasi politik luar negeri. Ia melihat hingga saat ini praktik politik internasional masih sangat didominasi oleh laki – laki, sehingga tidak mengherankan apabila karakter maskulinitas sangat melekat pada teori Hubungan Internasional bahkan pemikiran politik internasional.

“Tindakan agresif Israel terhadap Palestina di bawah Netanyahu menggambarkan dengan gamblang bagaimana hegemoni maskulinitas membentuk pemikiran dan perilaku dalam hubungan internasional. Hal tersebut juga disebabkan karena kuatnya budaya dan hegemoni patriarki pada semua aspek kehidupan manusia,” tambah Nur Azizah. 

Meskipun demikian, politik luar negeri Indonesia di bawah agency Retno Marsudi baru – baru ini mengalami perkembangan dengan menunjukkan orientasi yang mengarah pada penerapan nilai – nilai feminitas. Agency tersebut merujuk pada seseorang yang memiliki kekuatan untuk bertindak, memilih arah, dan menavigasi praktik politik yang ada. Hal ini dibuktikan dengan meningkatkan jumlah pegawai dan diplomat perempuan di lingkungan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI).

Lambat laun dunia pun mulai menerapkan feminitas dalam navigasi politik luar negeri, sehingga tidak ada lagi ketimpangan antara maskulinitas dengan feminitas. Wujud konkrit tersebut ditunjukkan dengan kemunculan Feminist Foreign Policy (FFP).

“Kebijakan luar negeri feminis tidak hanya membahas kedaulatan, keamanan, dan perekonomian negara. Tetapi juga mencakup isi yang berkaitan dengan individu, seperti kekerasan terhadap perempuan dan peminggiran kelompok – kelompok rentan marginal,” jelasnya.

Nur Azizah menyatakan Indonesia tidak secara resmi mengadopsi kebijakan luar negeri feminis. Namun, Retno Marsudi mengintegrasikan prinsip – prinsip kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam diplomasi Indonesia meskipun tanpa label formal “feminis”. (NF)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

SIDOARJO, Suara Muhammadiyah - Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun ....

Suara Muhammadiyah

11 April 2024

Berita

SEMARANG, Suara Muhammadiyah - Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal (Dikdasmen....

Suara Muhammadiyah

31 May 2024

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta menunjukkan komitmen....

Suara Muhammadiyah

3 December 2024

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Dosen prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah (UM) Bandun....

Suara Muhammadiyah

9 January 2024

Berita

TERNATE, Suara Muhammadiyah - Telah sukses diselenggarakan Baitul Arqam dan Pelatihan Instruktu....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah