YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat 'Aisyiyah Henni Wijayanti mengemukakan, fenomena perceraian dalam praktek hukum keluarga Islam bukan hanya sekadar peristiwa putusnya ikatan perkawinan, melainkan membawa konsekuensi hukum yang panjang terutama bagi perempuan dan anak.
“Kita menyaksikan bahwa banyak putusan pengadilan agama yang secara normatif telah adil, namun belum sepenuhnya menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak dalam prakteknya. Dengan kata lain, keadilan sering berhenti pada putusan, akan tetapi belum berlanjut pada pelaksanaan” ujarnya saat Webinar Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak Pasca Putusan Pengadilan, Sabtu (27/12) secara daring.
Jika merujuk pada kompilasi hukum Islam, tersebut bahwa hukum keluarga Islam dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum. Menurut Henny, tidak lain untuk mewujudkan keadilan-kemaslahatan, “dan melindungi pihak yang terentan, terutama perempuan dan anak,” sambungnya.
Dalam konteks pereceraian, KHI telah mengatur secara tegas masa iddah dan mut’ah, nafkah dan pemeliharaan anak, tanggung jawab ayah terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, serta perlindungan terhadap kepentingan terbaik bagi anak.
“Namun realitas menunjukkan bahwa norma hukum yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan realitas sosial. Banyak perempuan pasca-cerai tidak menerima haknya. Dan banyak anak yang menjadi korban akibat kelalaian pemenuhan kewajiban orang tua,” jelasnya.
Di lain sisi, praktik pengadilan agama di Indonesia hakim sudah menetapkan tentang nafkah terhadap anak. Namun, tantangan terbesar tetap pada tahap pasca-putusan, khususnya dalam pelaksanaan dan eksekusi.
“Persoalan nafkah pasca-cerai dan hak anak merupakan masalah yang sangat domininan yang dihadapi perempuan pencari keadilan. Banyak putusan yang menyatakan kewajiban membayar nafkah, namun tidak dipenuhi secara sukarela,” bebernya.
Di sinilah peran ‘Aisyiyah melalui Majelis Hukum dan HAM, mengemas program berupa os Bantuan Hukum (Posbakum). Menurut Henny, program ini hadir sebagai tempat konsultasi hukum, dan menjadi pusat edukasi hukum keluarga Islam yang berkeadilan gender.
“Pendamping perempuan dan anak sejak pra-persidangan dan pasca-putusan. Dan mengawal dan mengawal pemenuhan anafkah dan hak anak termasuk dalam eksekusi,” ujarnya.
Sebagai organisasi perempuan Islam berkemajuan, ‘Aisyiyah meyakini bahwa pemenuhan hak perempuan dan anak pasca-perceraian adalah amanah keadilan dan tanggung jawab moral. “Hal ini bukan semata urusan hukum, tetapi juga urusan kemanusiaan, keadilan sosial, dan masa depan generasi,” urainya.
Di lain sisi, Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah mengetengahkan, sejak kelahirannya, ‘Aisyiyah sangat peduli terhadap isu-isu perempuan dan anak. Termasuk di dalam bingkai hukum.
“Bahkan nilai-nilai yang digunakan seperti halnya di Muhammadiyah, misalnya, bagaimana keluarga itu memuliakan perempuan dan anak,” ulasnya.
Bahkan, laki-laki, tegas Tri, tidak boleh melalukan cerai di luar sidang pengadilan. Juga, pelarangan melakukan nikah sirih.
“Ini rangkaian keputusan Tarjih, termasuk dalam hal ini saya kira ini isu yang sangat penting karena pemenuhan hak perempuan dan anak pasca-putusan pengadilan,” sebutnya, yang hal demikian perlu di sosialisasikan kepada masyarakat luas. “Kebijakan yang sangat progresif dari pemerintah Indonesia,” tandas Koordinator Program INKLUSI ‘Aisyiyah tersebut. (Cris)

