Program Makan Bergizi Gratis: Dalam Sudut Pandang Pengalaman PMT Lokal
Oleh: Drg. Rika Puspita, M.Kes, Kepala Puskesmas di wilayah Kecamatan Samarinda Seberang
Pencanangan program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bagian dari 8 (delapan) program Quick Win `Pemerintahan Presiden Prabowo telah membuka berbagai dimensi persepsi di masyarakat termasuk kekhawatiran dan juga harapan. Media pun saat ini tengah sibuk memberitakan pelaksanaan program MBG di banyak daerah di Indonesia.
MBG menjadi ide segar dalam dinamika sosial masyarakat kita, ketika peran unsur pemerintah dalam upaya pemenuhan gizi ke beberapa kelompok spesifik akan dilakukan secara nyata dan masif.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 83 tahun 2024, terdapat 11 kelompok sasaran yang akan menerima program makan bergizi gratis ini. Program MBG pada tahun 2025 ditargetkan akan mencakup 15-18 juta penerima manfaat dan Lembaga Negara yang akan menjadi tulang punggung utamanya adalah Lembaga Negara yang baru terbentuk tahun 2024 lalu yaitu Badan Gizi Nasional.
Program nasional yang baik ini mengingatkan penulis pada beberapa upaya program pengentasan rawan gizi di masyarakat sebelumnya yang sebenarnya telah dijalankan secara lokal. Seperti program pondok gizi dan beragam bentuk kearifan lokal lainnya dimana ada keterlibatan kader unsur dari masyarakat desa atau kelurahan beserta tenaga kesehatan dan aparat pemerintah dalam pengentasan masalah gizi di wilayah.
Sebagai tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas, pengalaman dalam mengelola Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Lokal Kementerian Kesehatan pada tahun 2024 lalu serta pengalaman dalam membina cluster pondok gizi sebelumnya, meninggalkan beberapa catatan menarik tentang kondisi realita di lapangan.
Tulisan ini juga berasal dari perspektif penulis dalam pengalaman mengelola program PMT Lokal Kemenkes di wilayah kerja Puskesmas yang berlokasi di kota Samarinda.
Walaupun model dan metode pengelolaan tidak persis sama, namun kesamaan esensi tujuan, penekanan pada penggunaan keanekaragaman hayati sumber makanan lokal, dan keharusan adanya keterlibatan lintas stakeholder dari kedua program ini dapat menjadi pembanding di antara keduanya.
Pada tahun 2024, program pemberian makanan bergizi melalui PMT Lokal dari Kementerian Kesehatan RI telah lebih dulu dimulai. Program PMT Lokal ini adalah bagian dari upaya besar reduksi stunting dimana proses pengelolaan serta evaluasinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui Puskesmas se-Indonesia dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) non fisik Kemenkes RI.
Sasaran MBG yang meliputi anak sekolah, anak pra sekolah, menyusul kemudian ibu hamil, ibu menyusui dan balita, akan beririsan dengan program PMT Lokal Kemenkes yang telah lebih dulu menyasar ibu hamil dan balita rawan gizi dimana pendistribusiannya melalui kader Posyandu setempat.
Pengelolaan MBG dengan sasaran yang berskala besar serta waktu penyajian yang terbatas ini akan dapat menimbulkan tantangan-tantangan di lapangan dan memerlukan kesiapan aktor-aktor di lapangan agar tidak meleset dari target yang diharapkan, mulai dari perencanaan detail dari input bahan makanan mentah lokal, kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia pelaksananya, serta bagaimana proses pelaksanaannya agar dapat benar mengikuti standar mutu yang ditetapkan.
Walaupun kabarnya program MBG diserahkan kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai penyedia jasa catering, bukan hal mudah untuk menyiapkan ratusan atau ribuan porsi makanan berat dengan standar gizi tertentu dalam waktu yang terbatas dan dilakukan setiap hari. Disamping itu, program MBG memiliki target waktu untuk sampai ke sasaran penerima manfaat. Hal ini perlu menjadi perhatian karena pengalaman pada saat program PMT Lokal, jika hal ini tidak mendapatkan perhatian serius dalam perencanaannya maka akan menjadi kendala di lapangan.
Menilik Juknis program MBG, untuk anak usia pra-sekolah serta usia sekolah terdapat pembagian waktu pemberian MBG sesuai tingkatan sekolah. Sekolah Dasar (SD) tingkat awal yaitu kelas 1-2 SD , makanan yang diberikan sedianya adalah sebagai bagian dari sarapan pagi yaitu di jam 07.45 pagi waktu setempat, sasaran kelas 3-6 SD akan menerima paket program di jam 9.00 pagi, dan sasaran tingkat Sekolah Menengah Pertama-Sekolah Menengah Atas (SMP-SMA) akan menerima manfaat di pukul 10.00 waktu setempat.
Berkaca dari pengalaman dalam pengelolaan Program PMT Lokal lalu, kendala yang sering terjadi adalah keterlambatan dan ketidak tersediaan bahan makanan mentah lokal sesuai resep menu bergizi yang telah dibuat petugas gizi (nutrisionis) Puskesmas.
Tidak jarang bahan makanan lokal mentah tersebut baru tiba dari penyedia di lokasi dapur masak PMT saat waktu menjelang tengah hari. Hal ini mempengaruhi ketepatan tibanya makanan sampai ke lokasi sasaran sehingga terkadang akhirnya makanan baru diterima jauh lewat dari tengah hari karena tersebarnya lokasi tempat tinggal penerima manfaat. Hal ini disebabkan pula faktor kekurangan SDM yang dihadapi dimana kader masak merangkap sebagai tenaga pengantar, sehingga menambah panjang waktu makanan akan sampai di penerima sasaran ibu hamil dan balita.
Keterlibatan kader masyarakat dan penggunaan dapur PMT Lokal di masing-masing area wilayah Kelurahan menjadi bukti kolaborasi dalam pelaksanaan program dan kondisi ini tentu berbeda-beda di berbagai daerah.
Wilayah kerja Puskesmas tempat penulis bertugas terdiri dari 3 (tiga) Kelurahan dengan radius jarak antara dapur pengolahan dengan lokasi penjemputan bahan makanan dari penyedia bahan makanan lokal mentah di tiap kelurahan bervariasi.
Bahan makanan lokal mentah yang tiba di dapur akan segera diolah dan dimasak oleh kader kesehatan yang biasanya terdiri dari para ibu yang telah dibekali ilmu pengolahan bahan makanan dan variasi menu bergizi oleh nutrisionis Puskesmas, dan pengetahuan standar keamanan pangan oleh tenaga sanitarian Puskesmas.
Syukurlah, berkat kerjasama dan komunikasi lintas sektor yang baik pada tahun 2024 lalu dari 3 kelurahan wilayah kerja Puskesmas ini, setiap kelurahan memiliki dapur PMT Lokal, yang memudahkan pendistribusian PMT ke sasaran di tiap kelurahan.
Rata rata kader yang bertugas dalam mengolah dan memasak di setiap dapur masak adalah sekitar 5 (lima) orang, dengan jumlah sasaran yg terdiri dari sasaran spesifik ibu hamil dengan kondisi kurang energi kronis (KEK) rata-rata per-kelurahan adalah 10 orang dan sasaran balita gizi kurang rata-rata 20-30 anak per-kelurahan tersebar dalam radius jangkauan 1-2 km. Jika satu saja dari ibu kader para petugas masak ini tidak hadir, akan menyulitkan pendistribusian dan memperpanjang durasi pengolahan PMT Lokal.
Dalam program MBG yang saat ini masih dilaksanakan dengan sasaran untuk anak sekolah, masalah dalam pendistribusiannya mungkin tidak terlalu besar karena sasaran bisa berada di satu lokasi yang sama, namun potensi masalah distribusi ini akan terulang jika nantinya mencakup sasaran spesifik ibu hamil, ibu menyusui dan balita dengan tempat tinggal yang tersebar di beberapa lokasi di setiap kelurahan.
Seperti halnya dengan program PMT Lokal, perlu dipastikan pula kesiapan pada penanganan limbah dari program MBG, terutama jika beberapa makanan nantinya harus didistribusikan dengan menggunakan kemasan habis pakai dan berbahan plastik. Hal ini penting untuk di mitigasi agar tidak menambah permasalahan lingkungan di kota Tepian.
Kesiapan pelaksanaan program MBG juga berarti siap mengevaluasi hasil dari program yang dijalankan. Di program PMT Lokal Kemenkes, untuk sasaran balita penerima manfaat dilakukan pengukuran status gizi di setiap minggu serta tindak lanjut dari evaluasi program selama program dijalankan. Sedangkan untuk sasaran ibu hamil kurang energi kronis dilakukan monitoring dan evaluasi setiap satu bulan sekali untuk program 120 hari PMT Lokal.
Program pemenuhan gizi seperti PMT lokal dan program MBG ini selain akan membuka akses makanan lokal bergizi, juga membantu edukasi gizi dan kesehatan ke para ibu dan generasi muda dengan memperkenalkan keanekaragaman bahan makanan lokal yang bergizi, mudah dan murah didapat di negara kita sehingga tersampaikan pesan bahwa makanan bergizi bukan hanya berasal dari makanan olahan pabrikan dan tentu tidak harus mahal.
Harapan penulis, tujuan ini dapat tercapai, sehingga program MBG tidak sampai terjebak dalam formalitas penyediaan makanan gratis di sekolah saja, mengingat program ini akan berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga anggaran negara yang telah digunakan dapat memberikan hasil yang optimal.