Anak Saleh (16)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."
Di dalam “Anak Saleh" (AS) 15 telah diuraikan syukur sebagai wujud akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ada hal penting yang perlu mendapat penekanan kembali bekenaan dengan wujud syukur, yakni bahwa sangat banyak amalan yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan rasa syukur dengan mulut. Di antaranya adalah (1) berzikir, (2) berbicara yang benar, (3) berbicara yang baik, (4) mensyiarkan salam, (5) saling sapa, (6) senyum sedekah, (7) bershalawat, dan (8) menasihati.
Dengan memahami bahwa amalan tersebut merupakan bagian dari wujud syukur, tentu semua itu harus kita lakukan dengan senang dan penuh kesungguhan.
Harus makin kita sadari bahwa nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat banyak sehingga tidak dapat kita hitung. Sungguh, nikmat-Nya tidak dapat kita bandingkan dengan apa pun. Jika diuraikan dengan tulisan, sampai beribu-ribu, bahkan berjuta-juta halaman pun, tidak cukup. Oleh karena itu, hal tersebut insyaallah akan saya uraikan sebagai topik tersendiri.
Sebagaimana telah diuraikan di dalam AS (11) bahwa menurut Yunahar Ilyas, ada enam macam akhlak, yaitu (1) akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, (2) akhlak terhadap Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, (3) akhlak pribadi, (4) akhlak dalam keluarga, (5) akhlak bermasyarakat, dan (6) akhlak bernegara.
Uraian tentang bagaimana seharusnya muslim mukmin berakhlak terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat dibaca, antara lain, di dalam “Mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” Suara Muhammadiyah, 6 November 2021.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, di dalam AS (16) ini diuraikan akhlak pribadi. Menurut Yunahar Ilyas, akhlak pribadi terdiri atas (1) shiddiq, (2) amanah, (3) istiqamah, (4) iffah (jaga kehormatan), (5) mujahadah (mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah Subḥanahu wa Ta'ala), (6) syaja’ah (berani), (7) tawadhu’, (8) malu, (9) sabar, dan (10) pemaaf.
Akhlak shiddiq dan amanah telah diuraikan di dalam “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (IAMKS) 16 yang ditayangkan di dalam Suara Muhammadiyah, 21 Desember 2023, IAMKS (17) Suara Muhammadiyah, 28 Desember 2023, IAMKS (18) Suara Muhammadiyah, 4 Januari 2024, dan IAMKS (19) Suara Muhammadiyah, 11 Januari 2024.
Oleh karena itu, di dalam AS (16) ini diuraikan akhlak istiqamah dengan fokus (1) pengertian istiqamah dan (2) perintah agar muslim mukmin istiqamah. Bagi pasutri yang sedang berikhtiar membekali diri, hal itu perlu dipahami dengan baik dan ditindaklanjuti dengan berlatih mengamalkannya.
Pengertian Istiqamah
Dalam konteks akhlak, Yunahar Ilyas berpendapat bahwa istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Dengan merujuk kepada pendapat tersebut kita ketahui bahwa muslim mukmin yang berakhlak istiqamah berpegang teguh pada keimanan dan keislaman meskipun harus menghadapi tantangan, tentangan, dan godaan seberat apa pun.
Sangat menarik tafsir Hamka atas ayat 7 surat at-Taubah (9).
كَيْفَ يَكُوْنُ لِلْمُشْرِكِيْنَ عَهْدٌ عِنْدَ اللّٰهِ وَعِنْدَ رَسُوْلِهٖٓ اِلَّا الَّذِيْنَ عَاهَدْتُّمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِۚ فَمَا اسْتَقَامُوْا لَكُمْ فَاسْتَقِيْمُوْا لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Bagaimana mungkin ada perjanjian (damai) untuk orang-orang musyrik di sisi Allah dan Rasul-Nya, kecuali untuk orang-orang yang kamu telah membuat perjanjian (Hudaibiah) dengan mereka di dekat Masjidilharam? Selama mereka berlaku lurus terhadapmu, berlaku luruslah pula kamu terhadap mereka. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.”
Menurut Hamka, orang-orang musyrik tidak akan tahu harga janji dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya karena mereka tidak mengenal kesetiaan kepada janji. Betapapun baik hubungan dengan mereka, kalaupun ada yang datang minta perlindungan kepada masyarakat muslim, pada umumnya mereka tidaklah mengenal penghargaan terhadap janji terutama apabila mereka merasa kuat.
Hamka menjelaskan juga tentang konsekuensi takwa, yakni awas dan waspada. Takwa yang berarti "memelihara" tidak hanya memelihara hubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi juga memelihara diri dan bersiap agar tidak terkecoh dan tertipu. Muslim mukmin berpegang teguh pada janji dengan manusia karena takwanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan orang-orang yang tidak takut kepada-Nya, tidak demikian halnya.
Dijelaskan selanjutnya oleh Hamka bahwa muslim mukmin tidak boleh lengah. Kaum kafir jika mempunyai kesempatan, mereka niscaya membelot dan berkhianat dari janji. Mereka tidak mengenal hubungan kekeluargaan dan bagi mereka janji itu hanyalah "secarik kertas" yang sewaktu-waktu dapat saja dirobek asal ada kesempatan.
Perintah Istiqamah
Di dalam AS (16) ini hanya tiga ayat yang dikutip dari ayat-ayat yang berisi perintah kepada muslim mukmin agar istiqamah, yaitu surat Fushshilat (41): 6
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۟ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰىٓ اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوْٓا اِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُۗ وَوَيْلٌ لِّلْمُشْرِكِيْنَۙ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), Sesungguhnya, aku hanyalah seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, tetaplah (dalam beribadah) dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Celakalah orang-orang yang mempersekutukan(-Nya).”
Sementara itu, di dalam surat yang sama ayat 30 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu."
Perintah agar muslim mukmin istiqamah terdapat pula di dalam surat Hud (11): 112.
فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu. Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Di dalam surat al-Ahqaf (46): 13 dan al-Jinn (72): 16 terdapat perintah istiqamah pula.
Dengan merujuk kepada ayat-ayat tersebut kita ketahui bahwa istiqamah merupakan akhlak yang sangat terpuji. Dikatakan demikian karena muslim mukmin yang istiqamah adalah muslim mukmin yang secara konsisten melasanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-Nya. Sudah tentu mereka konsisten pula mengamalkan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan larangannya. Seberat apa pun tantangan, tentangan, dan godaan yang dihadapinya tidak dapat sedikit pun menggoyahkan keimanan dan keislamannya.
Perintah agar muslim mukmin istiqamah tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an, tetapi juga terdapat di dalam al-Hadits misalnya di dalam HR Darimi dijelaskan,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةُ وَقَالَ الْآخَرُ إِنَّ مِنْ خَيْرِ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَنْ يُحَافِظَ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Beristiqamahlah kalian semua dan janganlah kalian menghitung-hitung, ketahuilah bahwa amal kalian yang paling baik adalah shalat, (dan beliau bersabda pada waktu lain), Sebaik-baik amalan kalian adalah shalat, dan tidaklah seorang yang selalu menjaga wudunya, melainkan ia seorang yang beriman."
Di dalam HR Nasa’i dijelaskan,
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي النَّارِ مُسْلِمٌ قَتَلَ كَافِرًا ثُمَّ سَدَّدَ وَقَارَبَ وَلَا يَجْتَمِعَانِ فِي جَوْفِ مُؤْمِنٍ غُبَارٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَفَيْحُ جَهَنَّمَ وَلَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ الْإِيمَانُ وَالْحَسَدُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Tidak akan berkumpul di neraka, seorang muslim yang membunuh orang kafir kemudian bersikap istiqamah dan berlaku sederhana; dan tidak akan berkumpul dalam diri orang yang beriman, debu di jalan Allah dan panasnya Jahannam, dan tidak akan berkumpul di hati seorang hamba, keimanan dan rasa dengki.”
Sementara itu, di dalam HR al-Bukhari dijelaskan,
قَالَ يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ اسْتَقِيمُوا فَقَدْ سَبَقْتُمْ سَبْقًا بَعِيدًا فَإِنْ أَخَذْتُمْ يَمِينًا وَشِمَالًا لَقَدْ ضَلَلْتُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
"Wahai ahli Al-Qur’an, bersikap istiqamahlah kalian, dengan demikian kalian telah menjadi pemenang yang jauh, sebaliknya jika kalian oleng kanan kiri, kalian telah sesat sesesat-sesatnya.”
Di samping terdapat di dalam hadis-hadis tersebut, perintah bagi muslim mukmin agar istiqamah terdapat juga dalam HR Muslim berikut ini.
عَنْ أَبِيْ عَمْرٍو –وَ قِيْلَ أَبِي عَمْرَةَ- سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنه قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ قُلْ لِيْ فِيْ الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ أَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ. رواه مسلم
“Dari Abu ‘Amr –ada yang mengatakan Abu ‘Amrah- Sufyan bin Abdillah radiyallahu ‘anhuma dia berkata, Aku berkata, Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku satu perkataan dalam Islam, yang aku tidak akan bertanya lagi kepada seorang pun selain engkau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.”
Perintah agar muslim mukmin istiqamah dijelaskan pula di dalam HR Tirmizi, HR Ahmad dan Ibnu Majah, HR Al Hakim dan Ibnu Hibban.
Dari hadis-hadis tersebut kita ketahui bahwa muslim mukmin diperintah agar istiqamah. Kita harus berpegang teguh pada iman dan Islam dalam segala sepek kehidupan. Sedikit pun muslim mukmin tidak boleh ragu apalagi bergeser dari keimanan dan keislaman.
Allahu a’lam