Mengatasi Krisis Iman di Kalangan Anak-Anak Muda

Publish

8 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
74
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mengatasi Krisis Iman di Kalangan Anak-Anak Muda

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Gelombang modernitas dan arus informasi yang deras telah membawa tantangan baru bagi umat beriman. Di tengah gemuruhnya era digital, saya melihat fenomena yang semakin nyata: semakin banyak kaum muda Muslim yang bergumul dengan pertanyaan fundamental tentang keyakinan mereka. Ini bukan sekadar rasa penasaran sesaat, melainkan sebuah pergumulan batin yang mendalam, sebuah krisis iman yang mengancam fondasi spiritual mereka.

Pengalaman pribadi saya sebagai seorang pendakwah telah memperkuat pengamatan ini. Email dan pesan pribadi saya seringkali dipenuhi dengan curahan hati dari individu-individu yang sedang mencari pegangan. Di balik layar, saya juga banyak bertemu langsung dengan kaum muda, bahkan seluruh keluarga, yang datang untuk mencari bimbingan dan jawaban atas keraguan yang menghantui. Mereka adalah generasi yang dibesarkan di persimpangan budaya, di mana nilai-nilai tradisional dan narasi sekuler modern berbenturan, menciptakan ketidakpastian yang signifikan.

Pergulatan semacam ini bukanlah hal baru. Sepanjang sejarah, umat beriman selalu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menguji keyakinan mereka. Saya teringat akan karya-karya Dr. Jeffrey Lang, seorang mualaf yang kisahnya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Dalam buku-bukunya seperti "Losing My Faith, A Call for Help", "Struggling to Surrender", dan "Even Angels Ask", Lang secara puitis dan jujur menggambarkan perjalanan imannya dari keraguan menjadi kepasrahan. Ia menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan sulit bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari proses pendewasaan spiritual. Melalui kisahnya, kita dapat melihat bagaimana pertanyaan yang menguji iman justru bisa menjadi jalan menuju pemahaman yang lebih dalam dan kuat.

Keraguan yang muncul dari pergumulan ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar. Pertama, keraguan moral dan sosial. Ini adalah salah satu kategori yang paling sering saya temui. Banyak Muslim, khususnya kaum muda, merasa sulit untuk mendamaikan ajaran Islam dengan realitas dunia di mana tindakan buruk sering dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beriman. Mereka mempertanyakan, "Jika Islam adalah agama yang sempurna dan damai, mengapa kita melihat begitu banyak kekerasan atau ketidakadilan yang dilakukan atas namanya?" Pertanyaan ini diperparah dengan isu-isu sosial yang terus menjadi sorotan, seperti hak-hak perempuan dalam Islam atau konteks perbudakan yang disebutkan dalam Al-Quran. Bagi mereka, ini bukan hanya masalah teologis, tetapi masalah moral yang mendesak dan menuntut penjelasan yang meyakinkan.

Kedua, keraguan filosofis dan ilmiah. Di era di mana sains dipandang sebagai satu-satunya otoritas kebenaran, banyak orang merasa bahwa ajaran agama yang bersifat spiritual dan kuno tidak lagi relevan. Mereka percaya bahwa ilmu pengetahuan modern dapat menjawab semua misteri alam semesta, sehingga ruang untuk Tuhan dan wahyu menjadi semakin sempit. Isu yang seringkali menjadi pemicu utama dalam kategori ini adalah teori evolusi. Bagi sebagian orang, gagasan evolusi makhluk hidup tampak bertentangan langsung dengan narasi penciptaan dalam kitab suci. Dalam situasi seperti ini, tugas kita sebagai umat Islam adalah bukan menolak sains, tetapi menunjukkan bahwa ada harmoni yang mendalam antara iman dan akal, serta memberikan penjelasan yang logis dan masuk akal.

Dimensi keraguan ketiga adalah yang paling personal dan menyentuh, yaitu trauma pribadi. Iman seseorang bisa terguncang hebat ketika dihadapkan pada penderitaan yang tak terduga. Ini bisa berupa trauma akut, seperti kehilangan orang terdekat secara mendadak yang terasa begitu menyakitkan, atau trauma berkepanjangan, seperti hidup dengan penyakit kronis atau cacat fisik sejak lahir. Di tengah rasa sakit dan keputusasaan, muncullah pertanyaan yang paling sulit: "Di mana Tuhan? Mengapa saya harus menderita seperti ini?" Ini adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab hanya dengan logika, tetapi memerlukan empati dan bimbingan yang tulus untuk membantu mereka menemukan makna dan ketenangan di tengah cobaan.

Semua keraguan ini, baik yang bersifat intelektual maupun emosional, secara kolektif telah menciptakan krisis iman yang nyata di tingkat individu. Saya mengibaratkan kondisi ini seperti berjalan di atas es yang tipis, di mana setiap saat seseorang bisa jatuh dan kehilangan pijakan imannya. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, ini juga merupakan krisis yang meluas di tingkat komunitas Muslim secara keseluruhan, meskipun banyak dari kita yang belum menyadarinya. Saya menyebutnya sebagai sikap berpuas diri atau kelengahan, di mana kita terlalu sibuk dengan rutinitas keagamaan dan mengabaikan pergumulan mendalam yang dihadapi oleh generasi kita sendiri.

Terdapat kebutuhan mendesak untuk perubahan. Umat Islam sering kali baru tersadar akan adanya masalah ini ketika krisis telah mencapai titik kritis, yaitu ketika seorang anggota keluarga secara terang-terangan meninggalkan agama. Pada saat itulah, dalam kepanikan, mereka mulai mencari jawaban dan mendalami dunia ide, etika komparatif, serta apologetika. 

Saya berpendapat bahwa kita tidak bisa terus reaktif. Sebaliknya, kita harus bersikap proaktif, dengan secara aktif terlibat dalam diskusi filosofis dan ilmiah sejak dini. Kita tidak boleh hanya berfokus pada ritual ibadah dan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan sulit yang mengganggu banyak orang. Kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa "tidak ada monster di dalam lemari"—artinya, kita harus menyajikan Islam secara utuh, logis, dan koheren, sehingga siapa pun yang melihatnya akan berkata, "Ya, ini semua masuk akal."

Saya sangat sependapat dengan pandangan bahwa pendekatan ritualistik di rumah dapat memperburuk masalah. Islam harus diajarkan dan didiskusikan dalam keluarga sebagai sebuah ide, teologi, dan sistem berpikir, bukan sekadar daftar perintah dan larangan. Ambil contoh larangan alkohol. Alih-alih hanya mengatakan bahwa minuman keras itu haram, penting untuk menjelaskan tujuan utamanya: untuk menjaga akal dan tubuh kita, yang merupakan karunia terbesar dari Tuhan. Dengan memahami tujuan di balik setiap aturan, seseorang akan melihat bahwa agama sebenarnya dirancang untuk menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan kita, baik di dunia ini maupun di akhirat.

Menariknya, perjuangan intelektual ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah mencatat bahwa di Abad Pertengahan, para sarjana Muslim, Yahudi, dan Kristen sering kali bekerja secara paralel untuk menemukan bukti-bukti keberadaan Tuhan dan mengatasi isu-isu filosofis yang mengganggu. Fakta ini menunjukkan adanya harmoni dan persamaan dalam perjuangan melawan skeptisisme, agnostisisme, dan ateisme yang melintasi batas-batas agama. Ini adalah bukti bahwa pencarian kebenaran adalah sebuah upaya universal yang menyatukan kita.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Tafsir Kontemporer: Ekoteologis dalam QS. Al Baqarah Ayat 30 Oleh: Amtsal Ajhar/Mahasiswa Universit....

Suara Muhammadiyah

15 April 2025

Wawasan

Kurikulum Holistik: Pendidikan Masa Depan Berkelanjutan Rizal Arizaldy Ramly, Mahasiswa Univer....

Suara Muhammadiyah

13 December 2023

Wawasan

KKN di Perguruan Tinggi Muhammadiyah: Kampus Berdampak untuk Umat Berkemajuan Oleh: Dr. Ijang Faisa....

Suara Muhammadiyah

14 July 2025

Wawasan

Pencerahan dari Bumi Cendana Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon Pelaksanaan Sidang Tanw....

Suara Muhammadiyah

4 December 2024

Wawasan

Kedewasaan Berpolitik Di Era Demokrasi Digital:Menyikapi Hasil Pemilu 2024 Oleh: Saifullah Bonto, S....

Suara Muhammadiyah

22 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah