Laku Prihatin: Pilar Etikal di Dunia Usaha Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
129
Ilustrasi

Ilustrasi

Laku Prihatin: Pilar Etikal di Dunia Usaha Muhammadiyah

Oleh: Brili Agung, S,ST, M.M, Koordinator Daerah SUMU Banyumas

SUMU (Serikat Usaha Muhammadiyah) dibangun di atas tiga nilai utama: Terbuka, Tangan di Atas, dan terutama Laku Prihatin. Laku Prihatin bukan slogan kosong—ini adalah semangat menahan diri, mengurangi tidur, meningkatkan waktu belajar, berdiskusi, dan membangun mimpi dalam keterbatasan. Ini bukan sekadar karakter orang Muhammadiyah sukses, tetapi prinsip dasar bagi setiap pelaku usaha yang ingin berkontribusi nyata dan sosial.

Dalam konteks kehidupan tokoh pendiri Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan, nilai prihatin tercermin sejak awal perjuangan. Beliau menafkahi keluarga dari hasil tipis membuka sekolah Islam sambil menahan lapar, bekerja keras tanpa pamrih, dan selalu menempatkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Prinsip siyasah syar'iyyah dan jihad dakwah beliau adalah contoh hidup laku prihatin—perjuangan dalam keterbatasan, bangkit dari kelemahan, dan menyalakan nurani sosial.

SUMU mencoba menghidupkan semangat itu hari ini. Namun, ketika kita membandingkan nilai-nilai ini dengan fenomena gaji tinggi pejabat legislatif, ada jurang moral yang mengejutkan.

Tunjangan Puluhan Juta vs Hidup Rakyat: Ketimpangan yang Menyayat 

Kasus DPRD Banyumas menjadi cermin ketidakwajaran yang nyata. Berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 9 Tahun 2024 (sebelum direvisi), Ketua DPRD menerima tunjangan perumahan Rp 42.625.000 per bulan, wakil ketua Rp 34.650.000, dan anggota Rp 23.650.000. Ditambah tunjangan transportasi yang mencapai Rp 13–14 juta tiap bulan. 

Untuk kontras: Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banyumas 2025 hanya Rp 2,2 juta per bulan. Artinya—tunjangan Ketua DPRD sama dengan 19 kali UMK, anggota DPRD hampir 11 kali gaji buruh lokal. Situasi ini bukan hanya soal angka: ini soal etika dan solidaritas publik yang hilang. 

Gini Rasio Nasional: Distribusi yang Makin Tajam 

Secara makro, ketimpangan di Indonesia terus meningkat. Menurut data BPS periode 2002–2012, Gini rasio nasional naik dari sekitar 0,33 ke 0,42 pada 2011–2012. Artinya, ketimpangan makin melebar: kelompok kaya semakin kaya, kelompok miskin sulit naik. 

Di sisi norma, Kakek Presiden RI, Bapak Soemitro Djojohadikusumo, tokoh ekonomi pembangunan Indonesia, menekankan pentingnya mengatasi ketidakseimbangan struktural melalui redistribusi dan batasan wajar upah. Ia bahkan mendukung ide bahwa upah tertinggi seharusnya tidak melebihi 20 kali lipat dari upah terendah—sebuah batas etis untuk mencegah jurang sosial. 

Jika diterapkan di Banyumas: dengan UMK Rp 2,2 juta, maka maksimal internal jabatan publik seharusnya sekitar Rp 44 juta. Ketua DPRD mendapatkan Rp 42 juta hanya dari tunjangan. Apakah ini wajar atau sudah memasuki wilayah polarisasi yang melanggar nilai keadilan? 

Prinsip Laku Prihatin vs Praktik Elit 

Ketika pelaku usaha Muhammadiyah diharapkan hidup prihatin, menahan diri demi nilai yang lebih besar, pejabat publik justru tampak berpesta-mewah atas nama birokrasi. Tidak ada empati atau kesadaran bahwa sebagian besar rakyat tengah hidup serba berkekurangan. 

Kesenjangan Struktural dan Legitimasi Moral 

Dengan Gini rasio mendekati atau melewati 0,4 (peringatan ketimpangan), rasionalitas tunjangan besar hanya untuk reproduksi elit – melanggengkan ketidakadilan sistemik. 

Soemitro vs Realitas Nyata 

Ide wajar Soemitro mengekang gap upah 20x seolah tidak relevan bagi sejumlah kepala daerah atau DPRD yang selalu menghasilkan kebijakan tanpa refleksi moral.

Kesimpulan & Rekomendasi 

Akhirnya, artikel ini hendak menyampaikan pesan terang: 

1. Nilai laku prihatin bukan sekadar jargon komunitas bisnis—ia adalah panggilan moral untuk melembagakan keadilan sosial. 

2. Etika publik harus menegakkan batas wajar tunjangan—jauh dari fleksing angka demi legitimasi diri. 

3. Pemerintah dan DPRD seharusnya menerapkan model upah maksimum 20 kali upah minimum sebagai cerminan kewajaran publik, sesuai pemikiran Soemitro Djojohadikoesoemo. 

4. Publik mendorong revisi kebijakan tunjangan yang sensitif terhadap nilai solidaritas, empati, dan distribusi. 

Jika SUMU mengajak wirausahawan menumbuhkan rasa prihatin, memupuk solidaritas dengan sesama rakyat, maka pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam hal ini—bukan menjadi simbol kesenjangan yang makin akut. Opini ini berharap menjadi suara kecil yang menggema: laku prihatin bukan sekadar nilai internal Muhammadiyah, melainkan teladan untuk transformasi sosial nasional.

Catatan: Opini ini bersifat pribadi dan tidak mewakili Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pendidikan Nasional dan Kebangkitan Nasional Oleh: Mohammad Fakhrudin Ketika Perang Dunia II, pada....

Suara Muhammadiyah

18 May 2024

Wawasan

Oleh: Muchamad Arifin, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Pusat Muhammadiyah Saudaraku para da....

Suara Muhammadiyah

17 August 2025

Wawasan

Oleh: Gunawan Trihantoro Perjalanan Tapak Suci Putera Muhammadiyah yang kini memasuki usia 62 tahu....

Suara Muhammadiyah

31 July 2025

Wawasan

Oleh: Irwan Akib, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sejak berdirinya 19 Mei 1917 hingga usia yang k....

Suara Muhammadiyah

19 May 2025

Wawasan

Anak Saleh (29)Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang "Anak saleh bukan barang insta....

Suara Muhammadiyah

6 February 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah