Sebatang Cokelat untuk Guru

Publish

26 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
40
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Sebatang Cokelat untuk Guru

Oleh: Dr. Husamah, S.Pd., M.Pd, Wakil Dekan I FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Malam itu, sehari sebelum berangkat sekolah, rumah saya terasa sedikit lebih ramai dari biasanya. Dua anak saya-Ibrahim Azka Alfatih dan Muhammad Emirsyah Alkhawarizmy, ditemani ibunya sibuk memilih dan membungkus cokelat-cokelat kecil yang mereka beli. “Ini buat Bu Guru, biar semangat,” kata yang satu. Yang lain menambahkan, “Soalnya Bu Guru itu baik, sabar…” Sederhana sekali. Tapi di momen Hari Guru ini, di SD Muhammadiyah 4 Malang, sebatang cokelat yang mereka bawa tiba-tiba terasa seperti hadiah yang sangat dalam maknanya.

Kalau soal harga, sebatang cokelat tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan kerja guru yang bertahun-tahun mendidik, membimbing, dan mendoakan murid-muridnya. Tetapi justru di situlah keindahannya: apresiasi tidak selalu lahir dari sesuatu yang mahal, tapi dari hati yang tulus.

Cokelat itu manis, tapi kita tahu di balik proses pembuatannya ada biji kakao yang pahit, harus disangrai, digiling, diolah. Mirip dengan perjalanan seorang guru: pahit-manis, lelah, kadang tersinggung, sering kelelahan, tapi di ujungnya diharapkan lahir “rasa manis” berupa generasi yang lebih baik.

Ketika anak-anak memberikan cokelat itu kepada gurunya, sesungguhnya mereka sedang belajar satu pelajaran penting yang mungkin tidak tertulis di RPP. Mereka memuliakan orang yang membimbing hidup mereka. Di tengah gempuran budaya serba cepat, serba instan, yang sering melahirkan sikap nyinyir dan kurang ajar di media sosial, belajar “terima kasih” kepada guru jadi terasa sangat mewah.

Kita tidak bisa menutup mata. Berita tentang guru dipukul orang tua murid, dimaki di grup WhatsApp, difitnah di media sosial, bahkan dipolisikan, bukan lagi cerita langka. Bukan hanya di Indonesia—di berbagai negara, termasuk Australia, muncul istilah “culture of total disrespect” terhadap guru: budaya tidak hormat yang membuat banyak guru frustrasi dan ingin meninggalkan profesinya. 

Di Indonesia, mungkin tidak selalu terdata rapi, tetapi cerita tentang murid yang diam-diam merekam guru, memviralkan tanpa konteks, atau orang tua yang melabrak guru di sekolah karena tidak terima anaknya ditegur, makin sering kita dengar. Di saat yang sama, tuntutan terhadap guru semakin menggunung: harus inovatif, melek teknologi, sabar, ramah, tidak boleh marah, tapi juga harus mampu mendisiplinkan murid.

Pada titik ini, profesi guru nyaris seperti “punching bag” sosial. Semua orang merasa boleh berkomentar, mengkritik, bahkan menghina, sementara apresiasi dan perlindungan kerap tertinggal jauh di belakang.

Dalam tradisi Islam, persoalan menghormati guru bukan cuma soal budaya sopan santun, tapi menyentuh wilayah keberkahan ilmu. Tulisan-tulisan ulama yang dirangkum oleh berbagai media keislaman menjelaskan bahwa su’ul adab—buruknya adab terhadap guru—bisa berakibat ilmu menjadi tidak berkah, sulit diamalkan, dan bahkan menghalangi keberhasilan hidup. 

Ada nasihat klasik yang sering dikutip: banyak murid gagal bukan karena bodoh, tetapi karena tidak hormat kepada gurunya. Kalimat ini mungkin terdengar “jadul”, tapi relevansinya justru terasa di zaman sekarang, ketika sebagian murid (dan orang tua) merasa lebih pintar dari guru hanya karena punya akses Google dan media sosial.

Sebaliknya, memuliakan guru diposisikan sebagai akhlakul karimah—akhlak mulia—yang menjadi pintu keberhasilan. Opini-opini tentang “memuliakan guru” mengingatkan bahwa guru adalah arsitek peradaban, orang yang mengajarkan kita membaca, berhitung, membedakan benar dan salah; kontribusinya menembus urusan dunia sampai akhirat. 

Islam Sangat Memuliakan Guru

Islam dengan sangat jelas menempatkan guru dan ulama pada posisi terhormat. Salah satu hadis yang sering dikutip berbunyi: siapa yang memuliakan orang alim (guru), berarti ia memuliakan Rasul, dan memuliakan Rasul berarti memuliakan Allah. Dan orang yang memuliakan Allah, tempat kembalinya adalah surga. 

Ada pula hadis tentang pentingnya menghormati orang yang mengajarkan kita ilmu, serta anjuran untuk senantiasa mendoakan guru—baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat—agar Allah mengampuni dan memuliakan mereka. 

Artinya, ketika anak saya menyerahkan sebatang cokelat kepada gurunya sambil berkata, “Terima kasih, Bu,” itu bukan cuma sekadar gesture lucu khas anak SD. Itu adalah latihan kecil menapaki ajaran besar: adab kepada guru. Hadiah itu mungkin habis dimakan dalam beberapa menit, tapi adab itu—kalau terus dipelihara—bisa membekas seumur hidup.

Berbagai kajian pendidikan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, menunjukkan bahwa hubungan yang hangat dan saling menghormati antara guru dan murid berkorelasi dengan motivasi belajar, keterlibatan akademik, dan karakter sosial yang lebih baik. Penelitian tentang “respect in teaching and learning” misalnya, menegaskan bahwa rasa hormat murid kepada guru berkontribusi pada interaksi kelas yang positif dan hasil belajar yang lebih baik. 

Sebaliknya, ketika murid merasa wajar mem-bully guru, merendahkan, atau tidak mengindahkan nasihatnya, proses belajar pun berubah menjadi transaksional: sekadar menggugurkan kewajiban, mengerjakan tugas untuk nilai, bukan lagi perjalanan mencari makna.

Di banyak penelitian tentang iklim sekolah, kurangnya rasa hormat kepada guru disebut sebagai salah satu faktor yang menghambat proses belajar dan merusak suasana kelas. Bukan hanya murid yang rugi, guru pun bisa kehilangan semangat, burnout, dan akhirnya tidak lagi mampu memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. 

Dalam suasana seperti itu, momen-momen kecil seperti anak-anak memberikan cokelat, surat, atau sekadar ucapan “Selamat Hari Guru” jadi terasa sangat berharga. Di SD Muhammadiyah 4 Malang, saya melihat sendiri bagaimana wajah guru-guru itu berubah cerah menerima cokelat yang harganya tidak seberapa. Mereka tersenyum, memeluk murid-muridnya, dan sesaat beban administrasi, laporan, nilai, dan berbagai tekanan lainnya seakan sedikit berkurang.

Sebatang cokelat mungkin tidak bisa mengubah sistem pendidikan, tidak mampu menaikkan gaji guru, tidak sanggup menghapus semua kasus kekerasan terhadap guru. Tapi ia mengingatkan bahwa di tengah segala keruwetan, masih ada anak-anak dan keluarga yang ingin memuliakan guru dengan cara mereka sendiri.

Dan bagi anak-anak, ini adalah pelajaran karakter yang sangat konkret: belajar berbagi, belajar berterima kasih, belajar bahwa di balik kemampuan mereka membaca, berhitung, dan bermimpi, ada sosok-sosok yang layak dihormati.

Pertama, kita perlu berhenti menjadikan guru sebagai “tersangka utama” setiap kali ada masalah dengan anak. Tentu, guru bukan malaikat, mereka bisa salah. Tapi cara kita menyampaikan kritik juga penting. Mengajak dialog, menemui kepala sekolah dengan tenang, atau berdiskusi empat mata jauh lebih bermartabat daripada maki-maki di grup WhatsApp kelas.

Kedua, biasakan anak untuk mendoakan gurunya. Bukan hanya saat Hari Guru, tapi di doa harian mereka. Ajari kalimat sederhana, “Ya Allah, ampuni dan muliakan guru-guruku.” Ini selaras dengan tradisi para ulama yang selalu mendoakan guru-gurunya sebagai bagian dari adab menuntut ilmu. 

Ketiga, dukung anak untuk menunjukkan apresiasi sederhana: menulis kartu ucapan, menggambar, membawa sedikit buah, atau ya… sebatang cokelat. Kita tidak sedang mengajarkan “menjilat” guru, tetapi menanamkan rasa hormat dan terima kasih.

Keempat, kita sebagai orang tua juga perlu memberi contoh. Cara kita berbicara tentang guru di rumah akan sangat memengaruhi cara anak memandang gurunya. Kalau di rumah kita sering berkata, “Ah, gurumu itu nggak ngerti apa-apa,” jangan heran kalau anak ikut-ikutan tidak hormat.

Pada akhirnya, “Sebatang Cokelat Untuk Guru” bukan sekadar judul yang manis. Ia bisa menjadi simbol gerakan kecil dari rumah-rumah kita: gerakan mengembalikan kehormatan guru dengan cara yang hangat, manusiawi, dan membahagiakan.

Kita mungkin tidak bisa mengubah kebijakan pendidikan dalam semalam. Tapi kita bisa mulai dari hal yang paling dekat: cara anak-anak kita memperlakukan gurunya, dan cara kita sebagai orang tua berdiri di belakang para pendidik itu.

Jadi, jika tahun depan Hari Guru datang lagi, mungkin kita tidak hanya menyiapkan cokelat untuk guru. Kita juga bisa menyiapkan satu hal yang lebih mahal nilainya: budaya menghormati, mendoakan, dan memuliakan guru—di rumah, di sekolah, dan di ruang-ruang digital yang setiap hari kita isi.

Karena di tangan guru-guru yang sering kita lupa untuk ucapkan terima kasih itulah, masa depan anak-anak kita—dan masa depan bangsa ini—sedang perlahan dibentuk, sepotong pelajaran demi sepotong, seperti cokelat yang dinikmati sedikit demi sedikit sampai habis, namun meninggalkan rasa manis yang lama.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Abdul Rohman, Mahasiswa Institut Agama Islam Al Ghuraba Jakarta Menteri koordinator bidang Po....

Suara Muhammadiyah

17 December 2024

Wawasan

Oleh: Teguh Pamungkas Indonesia merayakan HUT ke-78 kemerdekaan RI pada bulan lalu. Kemerdekaan yan....

Suara Muhammadiyah

20 September 2023

Wawasan

  Dari BJ Habibie Hingga FX Silaban Oleh: Assoc. Prof. H. Wawan Gunawan Abdul Wahid Judul di....

Suara Muhammadiyah

12 September 2023

Wawasan

Oleh: Dr. Nasrullah, M.Pd Tanggal 27 Rajab diperingati umat Islam sebagai hari Isra Miraj. Hari di ....

Suara Muhammadiyah

14 February 2024

Wawasan

Segenggam Impian untuk IMM di Masa Depan Oleh: Tri Laksono Pernahkah kita membayangkan kehidupan b....

Suara Muhammadiyah

14 October 2023