Islam Tidak Pernah Membenarkan KDRT

Publish

30 August 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
244
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Islam Tidak Pernah Membenarkan KDRT

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kasus keluarga Shafia di Kingston Inggris beberapa bulan lalu, yang diduga membunuh putri mereka sendiri setelah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, menjadi pengingat tragis tentang betapa mengerikannya dampak kekerasan dalam keluarga. Sebagai seorang Muslim, saya yakin bahwa kekerasan dalam rumah tangga sama sekali tidak dapat dibenarkan. Islam mengajarkan kita untuk menyelesaikan perbedaan dengan cara yang baik, melalui dialog dan musyawarah. 

Dalam mendidik anak-anak kita pun, pendekatan yang penuh kasih sayang dan pengertian jauh lebih efektif daripada kekerasan. Kita harus berusaha membimbing mereka dengan bijaksana, menjelaskan nilai-nilai Islam, dan mendorong mereka untuk membuat pilihan hidup yang bertanggung jawab berdasarkan pemahaman yang mendalam.

Tentu saja, orang tua memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan membimbing anak-anak mereka, terutama yang masih di bawah umur. Namun, jika diperlukan tindakan pencegahan atau disiplin, hal ini harus dilakukan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama kita. Kekerasan tidak pernah bisa menjadi solusi dalam mendidik atau menyelesaikan masalah keluarga.

Ada anggapan di kalangan sebagian orang bahwa memaksakan anak untuk mengikuti ajaran Islam, bahkan dengan kekerasan, adalah cara yang tepat untuk memastikan mereka menjadi Muslim yang baik. Namun, saya berpendapat bahwa pemahaman ini keliru. 

Meskipun ada beberapa riwayat yang tampaknya mendukung pandangan ini, seperti hadis yang menganjurkan untuk memukul anak jika mereka tidak shalat pada usia 10 tahun, kita perlu memahami hadis tersebut dalam konteks sosial pada zamannya. 

Saat ini, kita memiliki kepekaan modern yang menolak segala bentuk kekerasan terhadap anak. Kita tahu bahwa kekerasan tidak akan membawa kebaikan bagi anak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tindakan memukul bisa menimbulkan trauma fisik dan psikologis, serta merusak hubungan antara orang tua dan anak.

Selain itu, penggunaan kekerasan dalam mendidik anak juga berpotensi menimbulkan bahaya yang lebih besar. Tidak ada batasan yang jelas tentang seberapa keras pukulan yang diperbolehkan, dan emosi orang tua bisa saja lepas kendali saat menghukum anak.

Namun, jika kita mengambil pendekatan "jangan sentuh sama sekali", ini mirip dengan larangan terhadap alkohol dalam Islam. Kita tahu bahwa alkohol itu berbahaya, dan sekali kita mulai meminumnya, sulit untuk berhenti. Akibatnya bisa fatal, seperti mabuk dan melakukan tindakan yang merugikan. Oleh karena itu, Islam melarang alkohol sepenuhnya.

Saya percaya pendekatan serupa juga perlu diterapkan dalam hal kekerasan terhadap anak. Dengan menghindari segala bentuk kekerasan fisik, kita mencegah terjadinya potensi bahaya yang lebih besar. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan seberapa keras pukulan yang diperbolehkan atau khawatir tentang emosi yang tak terkendali.

Tentu saja, konteks sosial pada zaman Nabi Muhammad SAW berbeda dengan zaman sekarang. Pada masa itu, hukuman fisik mungkin dianggap sebagai hal yang lumrah dalam mendidik anak. Namun, Al-Qur'an tidak pernah secara eksplisit memerintahkan penggunaan kekerasan dalam mendidik anak. 

Meskipun ada hadis yang menyebutkan tentang penggunaan "tongkat" untuk mendisiplinkan anak, hal ini perlu dipahami dalam konteksnya dan tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan kekerasan fisik pada anak di masa kini. Kita memiliki banyak alternatif disiplin yang lebih efektif dan manusiawi untuk mendidik anak-anak kita.

Jika kita menganggap hadis tentang memukul anak yang tidak shalat sebagai sabda Nabi yang otentik, maka penting untuk memahami konteks historisnya. Pada masa Nabi Muhammad, hukuman fisik mungkin merupakan norma dalam mendidik anak. Namun, hadis ini tidak lantas menjadi justifikasi untuk menggunakan kekerasan fisik dalam mendidik anak di era modern.

Sebaliknya, hadis ini dapat diinterpretasikan sebagai penekanan akan pentingnya shalat. Nabi mungkin menggunakan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial pada masanya, di mana hukuman fisik lebih umum diterima. Namun, esensi dari pesan tersebut adalah agar orang tua menanamkan nilai-nilai shalat kepada anak-anak mereka sejak dini.

Memukul anak agar mereka shalat justru akan kontraproduktif. Anak mungkin akan shalat karena takut hukuman, bukan karena kesadaran dan keimanan yang tulus. Selain itu, orang tua tidak mungkin mengawasi anak setiap saat untuk memastikan mereka shalat. 

Pendekatan yang lebih baik adalah mendidik anak dengan penuh kasih sayang, mengajarkan mereka tentang keindahan shalat dan manfaatnya bagi kehidupan mereka, serta menanamkan nilai-nilai akhirat sehingga mereka termotivasi untuk beribadah karena cinta kepada Allah, bukan karena takut akan hukuman. Dengan cara ini, kita membantu anak-anak kita membangun hubungan yang positif dengan shalat dan menumbuhkan keimanan yang kokoh dalam diri mereka.

Surah 4 ayat ke-34 seringkali disalahpahami sebagai pembenaran atas kekerasan dalam rumah tangga, seolah-olah memberikan wewenang kepada suami untuk memukul istrinya. Namun, pemahaman ini perlu diluruskan.  Meskipun beberapa tafsir klasik mungkin memberikan interpretasi seperti itu, dengan berbagai batasan dan syarat, saya berpendapat bahwa pemahaman tersebut tidak tepat. Ayat ini sebenarnya tidak berbicara tentang hubungan suami-istri dalam konteks domestik.

Jika kita telaah lebih dalam, ayat ini sebenarnya merujuk pada isu ketidaksenonohan seksual dan bagaimana masyarakat harus menanganinya. Ayat ini lebih ditujukan kepada para pemimpin komunitas, seperti qadi (hakim) atau imam, untuk mengambil tindakan terhadap pelaku perzinahan atau pelanggaran seksual lainnya yang lebih ringan, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai "fawahisy".

Ayat ini sebenarnya tidak berbicara tentang bagaimana seorang suami memperlakukan istrinya atau anak perempuannya. Pesan ayat ini lebih luas, ditujukan kepada seluruh umat beriman, bukan hanya kepada suami. 

Mari kita perhatikan ayat berikutnya, yaitu ayat 35 dari Surah An-Nisa. Ayat ini menyebutkan tentang upaya mendamaikan suami istri yang berselisih, dengan melibatkan perwakilan dari kedua keluarga. Kata ganti "kamu" dalam ayat 35 jelas merujuk pada pemimpin komunitas Muslim, bukan kepada suami. Dan karena ayat 34 dan 35 memiliki konteks yang berkesinambungan, dapat disimpulkan bahwa "kamu" dalam ayat 34 juga merujuk pada pihak yang sama, yaitu para pemimpin komunitas.

Jadi, surat 4:34 bukanlah tentang suami yang mengatur istrinya, melainkan tentang bagaimana pemimpin komunitas Muslim harus menangani masalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

Mari kita telaah lebih lanjut konteks ayat ini. Frasa "Adapun orang-orang yang kamu takuti akan pembangkangannya..." dan penggunaan kata ganti "kamu" yang berulang menunjukkan bahwa ayat ini ditujukan kepada pihak yang sama, baik dalam ayat 34 maupun 35. 

Dalam ayat 35, jelas bahwa yang dimaksud dengan "kamu" adalah para pemimpin komunitas Muslim. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ayat 34 juga berbicara kepada mereka, bukan kepada para suami secara individu. Jadi, inti dari ayat 4:34 adalah memberikan panduan kepada pemimpin komunitas tentang bagaimana menangani kasus-kasus pelanggaran seksual di masyarakat, bukan memberikan izin kepada suami untuk memukul istrinya. 

Al-Qur'an sendiri telah menetapkan hukuman yang jelas bagi pelaku zina, yaitu seratus kali cambuk, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nur ayat 2. Untuk pelanggaran seksual yang lebih ringan, hukumannya mungkin lebih ringan pula, seperti cambukan dalam jumlah yang lebih sedikit. 

Namun, perlu diingat bahwa penerapan hukuman fisik seperti cambuk adalah isu yang kompleks dan perlu dipertimbangkan dalam konteks sosial dan budaya masyarakat modern. Yang terpenting, Al-Qur'an tidak pernah membenarkan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk tindakan suami memukul istri.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (12) Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Di da....

Suara Muhammadiyah

23 November 2023

Wawasan

Dunia Menatap Rafah Oleh: Teguh Pamungkas, Eks volunteer children center Muhammadiyah-Unicef di Pid....

Suara Muhammadiyah

3 June 2024

Wawasan

Islam Tidak Pernah Membenarkan KDRT Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas And....

Suara Muhammadiyah

30 August 2024

Wawasan

Belajar dari Kiai Dahlan dan Jackie Chan Oleh: Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan I....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Wawasan

Sunat Perempuan: Tradisi yang Harus Ditinggalkan Oleh Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I., M.S.I. Sunat ....

Suara Muhammadiyah

1 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah