Kuman di Seberang Lautan dan Gajah di Pelupuk Mata
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Banyak orang lebih sibuk mencari-cari keburukan orang lain. Akibatnya, dia tidak menyadari bahwa di dalam dirinya pun ada keburukan, bahkan, mungkin lebih buruk daripada keburukan pada orang lain. Kata peribahasa, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.”
Kebaikan dan keburukan dapat melekat pada orang-biasa: siapa pun, sebagai apa pun, kapan pun, dan di mana pun! Hal itu terjadi pada zaman dulu, kini, dan nanti. Inilah ujian bagi orang beriman dan bertakwa. Malahan, sudah menjadi pemahaman umum bahwa makin tinggi iman dan takwa seseorang, makin berat ujian yang dihadapinya.
Di dalam kenyataan tidak sedikit orang yang fasih membaca kitab suci, tetapi gagal menghadapi ujian. Mereka pun su’ul khatimah. Na’uzubillah!
Tak Seburuk yang Kaukira
Islam melarang orang beriman mengolok-olok kaum lain, saling mencela, dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat (49):11
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Wahai, orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”
Di dalam ayat tersebut terdapat larangan yang disampaikan secara langsung sehingga sangat jelas bagi siapa pun yang membaca. Tidak perlu berpendidikan tinggi, bahkan, secara ekstrem dapat dikatakan bahwa bukan santri pun, dapat memahaminya. Di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang kita olok-olokkan itu) lebih baik daripada kita (yang mengolok-olok). Di samping itu, kita dilarang juga saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk.
Menilai orang lain harus kita lakukan secara proporsional. Kiranya dapat kita pertimbangkan sebagai renungan: (1) orang-biasa kita nilai baik karena kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya; (2) orang-biasa kita nilai buruk karena keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya. Tidak ada orang-biasa hanya mempunyai kebaikan dan tidak ada pula orang-biasa hanya mempunyai keburukan sepanjang hidupnya.
Menilai tokoh nasional juga demikian. Kita secara jujur bertanya: Adakah di antara mereka hanya mempunyai kebaikan selama hidupnya? Adakah di antara mereka hanya mempunyai keburukan selama hidupnya? Ada tujuh kriteria yang dijadikan standar oleh Muhammadiyah bagi pemimpin, yaitu (1) berintegritas, (2) amanah, (3) populis, (4) visioner, (5) berjiwa negarawan, (6) mampu menjalin hubungan, dan (7) reformis. Jika tiap butir diberi skor dengan rentangan 1-10, pertanyaan kita adalah: adakah tokoh nasional yang memperoleh skor 10 untuk tiap butir sehingga skor totalnya 70?
Jadi, jika ada tokoh nasional yang dinilai buruk, belum tentu seburuk yang dikira. Dalam hal tertentu sangat mungkin dia mempunyai kebaikan yang lebih tinggi skornya daripada tokoh lain yang dinilai baik dalam hal yang lain!
Kau Tak Sebaik yang Kaukira
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat (49):11, kiranya tidak baik jika kita merasa paling benar dan pintar. Jika di antara kita ada yang merasa paling benar dan paling pintar, bersiap-siaplah dan jangan marah jika dikatakan, “Kau tak sebaik yang kaukira.”
Di dalam kenyataan cukup banyak orang yang sangat fasih melafalkan ayat tersebut, tetapi suka sekali mencela orang lain yang berbeda pendapat. Lebih-lebih lagi, orang yang sama sekali tidak pernah mengaji! Namun, perbedaan itu pasti menimbulkan penilaian yang berbeda. Kepada orang yang fasih melafalkan ayat tersebut, tetapi tidak mengamalkannya, ada orang yang mengatakan, “Ironis! Fasih melafalkannya, tetapi tidak mengamalkannya.”
Dia harus siap juga menerima sebutan dalam bahasa Jawa, “Kiai jarkoni. Kiai bisa ngujar, ora bisa nglakoni.” (‘Kiai yang hanya bisa mengajar, tetapi tidak dapat mengamalkan’) yang dalam bahasa gaulnya, “omdo”, “omon-omon”, atau "nato" alias “no action talk only”.
Ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah sangat jelas bagi mereka sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat ash Shaff (61):2-3,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai, orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Agar dapat mengamalkannya, kita memerlukan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdoa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan doa agar terhindar dari keburukan pendengaran, pelihatan, lisan, hati, dan nafsu (syahwat) sebagaimana terdapat di dalam HR Abu Daud berikut ini.
قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّي
Berdoalah, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan pendengaranku, dari kejahatan pandanganku, dari kejahatan lisanku, dari kejahatan hatiku, dan dari kejahatan air maniku.”
Doa itu pendek, maka mudah dihafal. Ironisnya kejahatan pendengaran, kejahatan pandangan, kejahatan lisan, kejahatan hati, dan kejahatan seksual dilakukan juga oleh orang-orang yang fasih dengan doa tersebut. Di antara mereka dengan enteng sekali, seperti tanpa beban dosa, mengolok-olok, mencela, dan memanggil orang-orang yang berbeda pendapat dengan julukan yang buruk.
Lebih-lebih lagi, tindakan orang-orang yang tidak pernah mengaji. Untuk memperoleh jabatan, mereka mau menempuh segala jalan. Bagi mereka, yang penting tercapai tujuan.
Langkah pertama (yaitu berdoa) harus kita ikuti dengan langkah kedua, yakni berikhtiar serius. Banyak ikhtiar yang perlu kita lakukan. Di antaranya adalah bergaul dengan orang-orang saleh bukan orang salah. Orang saleh berakhlak mulia; menyatu antara kata dengan perbuatannya. Mereka telah melaksanakan praktik-baik. Oleh karena itu, mereka patut kita jadikan rujukan.
Dari hasil belajar pada orang saleh, kita melakukan internalisasi secara intensif dan terus-menerus dari diri kita sendiri, keluarga, tetangga, dan masyarakat yang lebih luas. Kita mulai dari hal-hal yang sederhana.
Bukti yang berkenaan dengan kejahatan pendengaran, pandangan, lisan, hati, dan seksual dengan mudah dapat kita temukan. Berikut ini disajikan beberapa pertanyaan untuk menjadi renungan kita.
1. Jika telinga lebih suka mendengarkan pembicaraan buzzer, ustaz/ustazah yang suka melawak dengan bahasa yang jorok (saru), "elit bangsa" yang sering berbohong daripada mendengarkan pembicaraan ulama yang lurus dan santun, akademisi yang berbicara dengan data dan dengan cara yang santun; telinga lebih senang mendengarkan salawat yang diiringi musik dengan irama yang merangsang bergoyang, apakah semua itu bukan kejahatan telinga?
2. Jika mata lebih sering digunakan untuk membaca narasi yang dibuat oleh buzzer daripada membaca Al-Qur'an atau lebih tahan untuk melihat pertunjukan seni yang penuh maksiat daripada membaca Al-Qur'an dan as-Sunah, atau artikel islami yang penuh nasihat, apakah itu bukan kejahatan mata?
3. Jika mulut dimanfaatkan untuk berbohong, memfitnah, mengintimidasi, bukan untuk saling menasihati dalam kebenaran dan dengan kesabaran atau beramar makruf nahi mungkar; digunakan untuk nyinyir bukan untuk zikir, apakah itu bukan kejahatan lisan?
4. Jika diam ketika ada ketidakadilan dan kezaliman atau tidak suka ketika ada ikhtiar memberantasnya, apakah itu bukan kejahatan hati?
5. Jika "tokoh masyarakat" berselingkuh, ayah menghamili anak kandung, anak memperkosa ibu kandung, menantu berselingkuh dengan ibu mertua, apakah itu bukan kejahatan seksual?
Boleh jadi, kelima kejahatan itu dilakukan secara bersama-sama sebagai hasil pemufakatan kejahatan.
Potensi Sifat Fujur dan Takwa
Manusia diilhami jalan kejahatan dan jalan ketakwaan. Hal ini dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat asy-Syams (91):8
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ
“Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,”
Terhadap kedua jalan tersebut, manusia diberi kebebasan memilih. Di dalam surat an-Naba (78):39 Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan,
ذٰلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّۚ فَمَنْ شَاۤءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ مَاٰبًا
“Itulah hari yang hak (pasti terjadi). Siapa yang menghendaki (keselamatan) niscaya menempuh jalan kembali kepada Tuhannya (dengan beramal saleh).”
Kebebasan memilih dijelaskan pula di dalam surat al-Isra (17):19
وَمَنْ أَرَادَ ٱلْءَاخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا
“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”
Agar manusia dapat memilih jalan ketakwaan, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk di dalam Al-Qur’an dan as-Sunah dan memberikan hidayah yang lengkap kepada manusia, yakni naluri, pancaindra, akal, dan agama.
Orang yang menjaga kesucian jiwa dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai orang yang beruntung.
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu).”
Semoga kita menjadi orang-orang yang beruntung karena selalu menyucikan jiwa kita. Aamiin! (hanan)


