Keprihatinan dalam Proses Kecurangan Pemilu

Publish

5 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
618
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Keprihatinan dalam Proses Kecurangan Pemilu

Oleh: Sobirin Malian, Dosen  Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan

Suara keprihatinan atas politik nasional bak air bah datang dari kampus. Mereka bersuara karena merasa terancamnya etika politik, tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia. Sebagian besar perguruan tinggi negeri dan swasta menyerukan kepada semua pihak agar dapat menjaga pemilu berjalan damai dan demokratis. Penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan kekuatan politik tertentu diharapkan dapat dihentikan.

Seruan keprihatinan juga disampaikan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan menggelar deklarasi masyarakat sipil untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia pada Sabtu (3/2/2024) siang. LP3ES menilai peradaban politik Indonesia mengalami ”gempa” dahsyat yang belum pernah dialami sepanjang era reformasi. Direktur Eksekutif LP3ES Fahmi Wibawa mengungkapkan, setelah gagal mewacanakan masa jabatan presiden tiga periode dan penundaan pemilu, Presiden Jokowi kemudian menggunakan cara terakhir melancarkan praktik inkonstitusional melalui Mahkamah Konstitusi demi memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka, putranya, menjadi calon wakil presiden.

Apa yang dialami oleh Jokowi saat ini sungguh sangat bertolak belakang dengan Pemilu 2014, dimana kala itu Jokowi menjadi magnet besar, bahkan PDIP sebagai pengusungnya terdongkrak sangat signifikan elektabilitasnya sampai akhirnya memenangkan Pemilu bersama pasangannya Yusuf Kalla.

Saat ini magnet pemilu itu telah beralih kepada Anies Baswedan. Dia dianggap memiliki segalanya sebagai calon Presiden; cerdas, santun, agamis, simbol toleransi (agama), diterima oleh semua kalangan.

Kans Menipis

Dari berbagai rilis lembaga survey, pasangan Prabowo-Gibran (02) selalu ditempatkan di urutan teratas mencapai hampir 50%, hal ini dianggap wajar karena pasangan ini masih dalam lingkaran Jokowi sebagai in-cumbent. Namun seiring waktu, berbagai lembaga survey merilis ada penurunan yang cukup mengkhawatirkan dari pasangan Prabowo-Gibran dan ditunjukkan pula ada kenaikan signifikan terutama dari passangan Anies-Muhaimin (01). Signifikansi kenaikan elektabiltas Anies-Muhaimin membuat Presiden Jokowi agak ketar-ketir_terutama karena targetnya menang dalam satu putaran. Jokowi lalu mengambil banyak langkah politik, misalnya, menyatakan Presiden boleh tidak netral, Presiden boleh ikut kampanye. “Presiden itu boleh loh kampanye, presiden boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi saat memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma yang dilansir detikNews, Rabu (24/1/2024). Mengiringi pernyataannya, Jokowi lalu membagi-bagikan bansos  di depan Istana dan di daerah-daerah.

Koordinator Staf Khusus Presiden RI, Ari Dwipayana menjelaskan, bantuan sosial (bansos) yang dibagikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kunjungannya ke berbagai daerah merupakan bagian dari kebijakan afirmatif pemerintah. Kebijakan penyaluran bantuan sosial itu untuk menghadapi situasi tertentu seperti dampak dari fenomena El Nino.

Ia mengatakan, fenomena El Nino yang terjadi berdampak terhadap pergeseran musim tanam dan musim panen. Sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan bahan pangan, terutama beras.

 “Bansos itu kan kebijakan afirmatif dari pemerintah menghadapi situasi tertentu ya. Terutama saat ini kita berhadapan dengan fenomena El Nino dan fenomena El Nino ini menimbulkan dampak di mana musim tanam dan juga musim panen akan bergeser,” kata Ari di gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (29/1/2024).

Selain itu, program bansos juga diberikan pemerintah untuk menyikapi situasi global saat ini, di mana harga berbagai kebutuhan pangan mengalami kenaikan. Kondisi tersebut, lanjutnya, akan membebani masyarakat. Kebijakan penyaluran bansos kepada masyarakat ini dilakukan dengan menggunakan anggaran APBN.

Terlepas dari pernyataan pihak istana, masyarakat pun bereaksi. Tak kurang mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla mengkritik Jokowi. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla mengkritik aksi Presiden Joko Widodo yang pernah membagi-bagikan bantuan sosial di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada 2023 lalu. Jusuf Kalla menilai, perbuatan Jokowi itu memalukan karena tidak sepatutnya bansos dibagikan di depan istana. "Ini memalukan sekali. Kok bansos dibagikan di depan Istana," kata JK usai menghadiri Konferensi Pers bersama para Tokoh Bangsa dan Organisasi Masyarakat untuk Pemilu 2024 di Jakarta, dalam keterangan tertulis, Kamis (1/2/2024).

Menurut JK, bansos semestinya bisa didistribusikan melalui kantor pos, bukan malah dibagikan oleh presiden di depan istana yang jalannya justru dilalui oleh mobil. "Sebaiknya jangan diulangi lagi, memalukan sekali. Bisa saja media internasional tulis bahwa Indonesia sudah parah sampai presiden bagi-bagi beras depan istana,” ujar JK. JK pun mengingatkan bahwa ada banyak tugas-tugas negara yang harus menjadi prioritas seorang presiden ketimbang membagikan bansos di pinggir jalan.

Reaksi Kampus

Atas pernyataan dan sikap Jokowi yang terlibat dalam kampanye dan berpihak itu, akhirnya membuat gerah komunitas kampus. Hampir seluruh PTN dan PTS  di Indonesia hinggal 4 Februari 2024 menyuarakan kegelisahannya dalam bentuk petisi, terutama pada aspek etika, hukum, politik dinasti, pemilu  dan demokrasi.

Munculnya berbagai pernyataan dari para guru besar dan sivitas akademika beberapa perguruan tinggi menunjukkan kehirauan, keprihatinan mereka terhadap masa depan hukum, demokrasi dan masa depan Indonesia.

Atas fenomena “petisi kampus” itu, pihak Istana melalui Ari Dwipayana menyatakan, tak tertutup kemungkinan gerakan itu berbau partisan. Pernyataan  “partisan” itupun, membuat Profesor Harkristuti Harkrisnowo tersinggung. Prof Harkristuti menyatakan, bahwa tidak ada kepentingan lain selain menyelamatkan demokrasi yang adil dan jujur. "Kami itu guru besar, kami tidak punya kepentingan untuk mendapatkan posisi tertentu, mendukung paslon tertentu, We don't have that,” tegasnya. Prof Harkristuti mengaku tersinggung dengan pernyataan Istana tersebut. Bahkan ia menantang pihak Istana untuk membuktikan tudingannya. "Kalau orang Istana mau sembarangan, kami akademisi juga bisa marah," tegas Prof Harkristuti. 

Indikasi Kecurangan Pemilu

Terlepas dari hiruk pikuk kampus menyuarakan hati nuraninya, fenomena itu layak diapresiasi oleh seluruh masyarakat, namun ada hal yang justru sangat penting jangan dilupakan yaitu proses pemilu itu sendiri. 

Indikasi kecurangan Jokowi sejatinya telah dimulai sejak dia mulai melontarkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan tiga periode di tahun 2019 lalu. Setidaknya empat (4) kali Jokowi mewacanakan hal itu (Kompas.com - 29/08/2022). Sekitar Maret 2022, lagi-lagi wacana masa jabatan presiden tiga periode bergulir. Mulanya, beberapa elite partai politik mengusulkan penundaan Pemilu 2024. Mereka yakni Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Isu tersebut berkembang menjadi wacana presiden tiga periode yang didorong oleh beberapa menteri seperti Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan . Atas wacana yang berkembang kala itu,  Jokowi menyatakan, wacana penundaan pemilu maupun presiden tiga periode tidak bisa dilarang, sebab, itu bagian dari demokrasi (Kompas.com,29/8/2022). 

Sikap dan respon Jokowi itu menuai kritik. Pernyataannya dinilai tidak tegas, bahkan dianggap menikmati wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Isu itu bahkan sempat memicu gelombang aksi massa di sejumlah daerah. Akhirnya, awal April 2022, Jokowi menyentil langsung para menterinya. Dia bilang, tak ingin ada lagi menteri yang bicara soal presiden tiga periode maupun pemilu ditunda.

Hilangnya isu penundaan pemilu dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, bukan berarti Jokowi diam saja.  Makin mendekati pelaksanaan pemilu, Jokowi dan timnya terus bergerak untuk semaksimal mungkin mempertahankan kekuasaannya. Secara senyap ada 20 Gubernur dan 128 Bupati/Walikota yang belum habis masa jabatannya tetapi guna menyambut Pilkada Serentak harus diganti sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 khususnya Pasal 201 ayat (7) berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024” dan ketentuan ayat (8) “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.  

Pasal UU tersebut sempat di judicial review ke MK dengan Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 95/PUU-XX/2022  diajukan oleh Muhammad Ja’far Sukhairi Nasution, Bupati Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara. Sayang permohonan ini ditolak oleh MK sehingga semua kepala daerah baik Gubernur/wakil dan Bupati/walikota/wakil harus diganti sementara hingga Pilkada melalui mekanisme Pj (pejabat sementara). Penunjukan dilakukan oleh Presiden untuk Gubernur dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk  Bupati/Walikota. Peluang mengganti pejabat hingga Pilkada tersebut tampaknya menjadi peluang (abuse of power) secara teori. Oleh karena, Presiden didalam mengangkat PJ umumnya yang segarus dan sejalan dengan policynya. Bukan rahasia bahwa

selaku (PJ) pelaksana tugas ada 20 Gubernur dan 128 Bupati/walikota sebaran yang diangkat dan ditunjuk yang itu semua sejalan dan harus sesuai kebijakan Presiden (Peneklitian Fery Amsari, dkk, 2024). Lebih dahsyat lagi terdapat DPT sekitar 140 juta atau lebih dari kebutuhan 50% untuk pemilu satu putaran yang telah dimainkan oleh Jokowi, dengan dana mencapai lebih 400 trilyun (sumber: Sofian Effendy,2024).

Indikasi kecurangan secara sistematis  masih ditambah dengan adanya 8 (delapan) asosiasi kepala desa yang dikonstruksi mendukung setiap kebijakan Jokowi terutama untuk memenangkan Pemilu 2024. Para kepala desa ini dijanjikan kompensasi 3 periode jika pasangan 02 kelak menang. Lalu ada BLT dan bansos senilai sekitar 400 T yang nanti dibagikan secara rapelan 3 bulan, ini jelas-jelas bansos dengan model politik gentong babi (Sumber: Fery Amsari,dkk,2024).

Politik gentong babi (Pork Barrel Politic) adalah wajah kusam yang mencoreng demokrasi Indonesia. Karakter utama dari politik gentong babi ialah, adanya pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan calon untuk hajat politik mereka.

Di Indonesia sejak pemilu 2009 dan Pilkada 2005, keluhan yang paling sering ditemukan adalah anggaran publik yang disalahgunakan dengan dimanfaatkan untuk keuntungan politik dari penguasa. Konkretnya, ada banyak peluang APBD maupun APBN yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan Pemilu/Pilkada. Bentuknya macam - macam baik berupa bantuan sosial (bansos), kontrak, hibah, bansos fasilitasi OPD pada sosialisasi calon hingga penggunaan fasilitas lainnya kepada  proyek pekerjaan umum ke Kabupataen/Kota bahkan desa dari kepala daerah dan juga perorangan. 

Politik gentong babi merusak rasionalitas pemilih. Setelah ada transaksi para pemilih  seringkali menyesali tindakannya karena tidak mempertimbangkan aspek kualitas calon menyangkut rekam jejak, kapasitas, integritas, menjadi terkesampingkan.

Dalam konteks yang dilakukan Jokowi dan Tim, telah membuat persaingan kandidat menjadi tidak seimbang. Petahana atau pejabat yang memiliki akses kekuasaan akan lebih dominan dan berpeluang menang secara tidak adil (unfair). Melawan hal ini, masyarakat harus memahami bahwa politik gentong babi hakikatnya adalah melecehkan dan menghinakan. Sumber dana yang digunakan adalah milik rakyat dan digunakan untuk menyuap rakyat. Pembagian bantuan hanya dapat diterima jika tanpa syarat dan tanpa pemotongan. Masyarakat juga mesti melek politik guna membentengi diri dari politisasi dana yang digelontorkan pemerintah.

Selain itu aparat penegak hukum, terutama KPU, Bawaslu mesti peka dan proaktif mengawasi kemungkinan terjadinya politik gentong babi. Aparat hukum dapat turun jika mengarah pada tindak pidana. Inspektorat kementerian atau dinas diharapkan semakin ketat mengatur dan mengawasi pengoperasian penyaluran dana bantuan sosial atau dana lain ke masyarakat. DPR, DPD atau DPRD juga sebagai pengawas pemerintah mesti menjalankan fungsinya secara optimal. Jangan, malahan mengambil bagian dari politik gentong babi.

Mari kita wujudkan pemilu yang jujur, adil, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar memiliki legitimasi yang kuat, dan pejabat yang dilahirkan dari Pemilu dihasilkan dari sebuah Pemilu yang fair.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menuju Masa Depan yang Progresif: Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah di Enrekang Oleh: Furqan Ramli ....

Suara Muhammadiyah

6 November 2023

Wawasan

Oleh: Baskoro Tri Caroko Menyimak webinar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BR....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Wawasan

Oleh: Damayanti, SSi. Ketua PDA Sumenep, Kepala SMA Muhammadiyah I Sumenep 2020-2024 Di era yang te....

Suara Muhammadiyah

25 September 2024

Wawasan

Oleh: Said Romadlan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta   ....

Suara Muhammadiyah

12 January 2024

Wawasan

Oleh: Melinda Ayu P, Kader Nasyiatul Aisyiyah Lamongan Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru yang....

Suara Muhammadiyah

27 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah