Peringatan Hari Anak: Hadirnya Orangtua Apresiatif

Publish

23 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
81
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Peringatan Hari Anak: Hadirnya Orangtua Apresiatif

Oleh:  Royyan Mahmuda Daulay, M.H., Pengurus PCPM Bumiayu

Tidak semua orang tua mampu memberikan apresiasi terhadap sesuatu yang telah dicapai oleh anaknya, bahkan lebih sering menyalahkan ketimbang memberi penghargaan. Asumsi saya ini bukan tanpa alasan. Pasalnya beberapa waktu lalu saat mendampingi kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam perkara kekerasan seksual tampak fenomena-fenomena yang mengundang banyak tanya. Dari segi usia sudah membuat geleng kepala, karena anak yang diduga melakukan tindakan pidana berusia 12 tahun dan anak yang menjadi korban berusia 6 tahun. Dan semakin membuat gusar adalah sikap orangtua pelaku yang selalu menyalahkan anak mereka. 

"Padahal sudah selalu saya nasehatin pak anak itu" adalah kalimat yang sering keluar dari lisan orangtua kala anak mereka terjerembab dalam perkara. Bahkan tidak cukup dengan itu, banyak pula yang memarahi anak mereka saat proses hukum sedang berjalan. 

ABH yang saya dampingi mau mengakui kesalahan dan siap bertanggungjawab terhadap perbuatannya. Bahkan dia secara mandiri selalu meminta maaf kepada korban dan orangtua ketika bertemu termasuk dalam persidangan. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap orangtuanya yang lebih menampilkan sikap menyalahkan dan menganggap bahwa tindakan anaknya itu bukan merupakan tanggungjawabnya. 

Hingga sang anak bercerita kepada saya bahwa sebenarnya dia merasa tidak diperhatikan dan dihargai oleh orangtuanya selama ini. Tindakan dia menjaga adik ketika orangtuanya bekerja dianggap hanya sebatas kewajaran sebagai seorang kakak. Ketika tidak merengek untuk meminta HP dan bermain dengan teman-temannya disimpulkan bahwa anak zaman sekarang harus banyak bermain di luar. Pun ketika sang anak yang masih berusia 12 tahun terkena masalah dan mau serta rela untuk bertanggungjawab atas perbuatannya hanya dimaknai sebagai kewajiban orang yang bersalah. 

Padahal, ketika anak mau bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya meskipun salah sudah sepantasnya sebagai orangtua menguatkan terlebih dahulu atau bahkan mengapresiasi dengan narasi "terima kasih bahwa kamu sudah berani bertanggungjawab", baru kemudian menyampaikan petuah-petuah kebajikan. Bukan cuma sekadar memarahi lalu seakan menjadi suci dan tak punya andil dalam perilaku anak-anak mereka. 

Melihat fenomena ini saya menjadi berfikir reflektif terhadap hubungan orang tua dan anak. Bahwa memang benar setiap anak pasti sangat mengharapkan apresiasi dari orang tuanya, entah anak kecil maupun yang sudah berumur. 

Saya pun pernah mengalami suatu  peristiwa dengan anak saya . Saat itu dia mengucapakan sesuatu secara berulang kali karena dia berhasil memakai pakaiannya sendiri, dan mendekati saya yang sedang termangu memandang laptop karena tugas yang tak kunjung usai. Kalimatnya sederhana, "ayah aku pake baju sendiri loh". Dan respon saya pun sangat sederhana, hanya berdeham. 

Namun, tampaknya dia tidak puas dan mengulang terus kalimatnya. Karena ribut terus saya pun sempat naik pitam, tetapi setalah melihat wajah lucunya, emosi saya pun hilang seketika. Dan akhirnya saya pun mengapresiasi tindakannya dengan ucapan sebaik mungkin. Setelah itu dia jadi semakin percaya diri serta mahir memakai baju sendiri. Lalu bercerita tentang kehebatannya bisa memakai baju sendiri kepada orang-orang yang dia kenal. 

Menurut Lauster (1978), rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang diturunkan (bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan, sehingga upaya-upaya tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri.

Maka sebenarnya, memberi apresiasi terhadap suatu hal yang telah dilakukan oleh anak sangatlah penting bagi orangtua. Bukan hanya akan membangun rasa percaya diri dan kebanggaan bagi anak-anak, bisa jadi akibat dari apresiasi tersebut anak akan semakin berkembang kemampuannya karena merasa ada orang yang akan selalu memujinya jika dia melakukan hal-hal baik lainnya. Bahkan memberi apresiasi terhadap anak merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan fitrah yang telah diberikan Tuhan pada mereka. 

Karena pada dasarnya setiap anak yang lahir di muka bumi ini selalu dibekali fitrah atau potensi oleh Tuhan. Islam menjelaskan bahwa setiap anak yang terlahir telah membawa potensi (fitrah), kemudian lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang melengkapi dan membentuk lebih lanjut potensi tersebut.

Sehingga sebenarnya menjadi orang tua yang apresiatif adalah kewajiban bagi setiap orangtua. Karena secara dogma agama maupun logika manusia mendukung agar orangtua menumbuhkan potensi anak-anaknya, salah satunya dengan apresiasi meski hanya secuil. Pada akhirnya orang tua adalah corong bagi anak untuk melihat, menghadapi dan melalui kehidupan yang penuh dengan tantangan ini. Selamat Hari Anak dan semoga semakin banyak orangtua apresiatif.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Tali Pengikat dalam Kehidupan Manusia Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Tali pengikat....

Suara Muhammadiyah

15 May 2024

Wawasan

Memahami Hari Kiamat Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Apa seben....

Suara Muhammadiyah

1 March 2024

Wawasan

Fanatik Ciri Kebodohan Ika Sofia Rizqiani, S.Pd.I, M.S.I. “Kita itu boleh punya prinsip, a....

Suara Muhammadiyah

5 August 2024

Wawasan

Karakteristik Ayat-ayat Puasa (5) Beribadah itu Ringan dan Mudah Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag....

Suara Muhammadiyah

30 March 2024

Wawasan

Mengukur Potensi Diri untuk Menggapai Kesuksesan Oleh: Rumini Zulfikar (GusZul), Penasehat PRM Trok....

Suara Muhammadiyah

5 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah