Kedewasaan Berpolitik di Era Demokrasi Digital

Publish

22 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
845
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Kedewasaan Berpolitik Di Era Demokrasi Digital:
Menyikapi Hasil Pemilu 2024

Oleh: Saifullah Bonto, Sekretaris MPKS PDM Kab. Pangkep/Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Demokrasi digital diidentikkan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Segala proses demokrasi berkelindan dengan aspek digital yang berarti teknologi informasi dan komunikasi dalam hal ini internet menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam demokrasi. Mobilisasi politik, strategi kampanye, polarisasi opini publik dan apa pun yang berkaitan dengan dengan pelaksanaan Pemilu, sangat dipengaruhi oleh platform-platform digital. 

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi salah satu kepingan puzzle dalam perkembangan kehidupan berpolitik. Tersedianya akses yang lebih luas terhadap informasi melalui internet memacu warga negara untuk merefleksikan aspirasinya di luar lingkup individu. Masyarakat mulai bergerak membentung ruang-ruang publik virtual sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensinya dan merepresentasikan kehendaknya. Hal ini sebagai salah satu bentuk adaptasi perkembangan teknologi di era 4.0 yang segala bentuk kebutuhan masyarakat dialihkan ke dalam bentuk digital.

Masyarakat Indonesia tak ketinggalan menikmati dan memanfaatkan perkembangan era 4.0 ini. Menurut laporan Data Reportal, per awal tahun 2023 jumlah pengguna internet telah mencapai 212,9 juta orang. Jika dilihat dengan total populasi penduduk Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang, maka persentase pengguna internet penduduk Indonesia sebanyak 77 persen. Berikutnya dalam data tersebut pengguna sosial media sebanyak 167 juta artinya ada 60,4 persen dari total populasi penduduk Indonesia. Facebook menempati posisi teratas sebagai pengguna terbanyak disusul Tiktok dan Instagram.

Potensi Disrupsi Demokrasi

Melalui sosial media, kehidupan manusia dapat berubah tak terkecuali dalam aspek politik yang notabenenya bersifat publik. Pesan-pesan politik akan sangat mudah didistribusikan melalui sosial media ke arena-arena politik tanpa kehadiran pelaku politik secara fisik. Sebaliknya, masyarakat dapat memberikan feedback kepada para pelaku politik secara interaktif.

Keberadaan sosial media ini menurut riset yang dilakukan oleh Siska Sasmita  merupakan pembaharuan atas “demokrasi langsung ala athena”. Athena pada saat itu mengatur agar demos (rakyat) ikut serta dalam mengatur masalah-masalah kenegaraan. Lembaga legislatif dan peradilan hanya sebatas tempat untuk menampung aspirasi rakyat kemudian duputuskan sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. 

Namun potensi disrupsi demokrasi juga turut mengancam sebab terkadang topik yang dibincangkan memicu perdebatan dengan penyampaian yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku seperti konten-konten yang diunggah mengandung unsur kebencian dan mendiskreditkan suku, agama, budaya dan ras tertentu. Belum lagi konten yang dibumbui dengan narasi hoax dan fake news kemudian dibagikan tanpa dicek sumber dan kebenarannya. Hal-hal demikian merupakan ekses-ekses dari demokrasi. 

Ibarat pisau bermata dua, kelebihan sosial media yang mampu memperluas jangkauan antara rakyat dan penguasa menjadi salah satu alternatif untuk menyampaikan aspirasi atau pun saling berinteraksi secara aktif. Masyarakat tidak hanya jadi objek tapi juga sekaligus menjadi subjek dalam berdemokrasi. Tapi di sisi lain, sosial media juga membuka pintu-pintu perdebatan yang mengarah pada pelanggaran norma sosial, agama dan hukum. Fenomena-fenomena praktik berekpresi yang kebablasan seperti ­fake news dan hoax dapat merusak stabilitas demorasi Indonesia.

Kedewasaan Berpolitik Menyikapi Hasil Pemilu 2024

Berdasarkan survey Litbang Kompas setidaknya ada 56 persen masyarakat khawatir akan terjadinya potensi polarisasi dalam masa Pemilu 2024. Polarisasi ini bisa disebabkan dari praktik-praktik fitnah, ujaran kebencian, hoax dan politisasi identitas. Ruang-ruang digital utamanya sosial media menjadi ruang yang tak terhindarkan untuk memupuk benih-benih polarisasi terutama dalam penyebaran fitnah, ujaran kebencian dan hoax. 

Situasi semacam ini jika tidak diwarnai dengan kedewasaan dalam berpolitik maka akan merusak citra demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi dan persamaan hak. Dewasa dalam berpolitik ditunjukkan dengan kematangan tindakan dan pikiran, artinya segala tindakan dan pikiran tidak menghantarkan ke hal yang bersifat amoral dan melenceng dari nilai-nilai demokrasi. 

Menyikapi hasil Pemilu 2024 pun perlu kedewasaan berpolitik. Meski belum ada pengumuman resmi dari KPU RI, namun lembaga survei dengan versi quick qountnya telah mengumumkan siapa pemenang Pilpres kali ini. Hal ini tentu menimbulkan banyak ragam reaksi baik dari kubu pemenang mau pun yang kalah. Tak sedikit momen ini dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab untuk memproduksi konten-konten dan narasi-narasi hoax.

Salah satu bentuk kedewasaan berpolitik yang bisa dipraktekkan dalam menyikapi hasil Pemilu 2024 ini adalah dengan tidak mudah mempercayai informasi-informasi yang berseliweran di sosial media atau terminologi agamanya tabayyun. Masyarakat diharapkan agar menyerap informasi yang isinya sudah dapat dipertanggung jawabkan.

Sayyid Quth dalam tafsirnya sebagaimana diulas oleh Eka Faja Marfina mengatakan bahwa bersikap tabayyun mengajarkan seseorang untuk lebih selektif dalam menerima infornasi apalagi sumber beritanya berasal dari pihak-pihak yang tidak terverifikasi dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Cara seperti ini menghendaki agar masyarakat moderat diantara menolak dan mengambil sebuah informasi yang sampai kepadanya. Sehingga masyarakat pun tidak tergesa-tergesa dalam mengambil sebuah keputusan. 

Alhasil, proses demokrasi di tengah kemajuan teknologi yang disikapi dengan kedewasaan akan memberikan kesejukan, harmonisasi dan romantisme politik di ruang-ruang digital. Orang yang dewasa dalam berpolitik tak menganggap lawan sebagai musuh yang harus dipandang dengan kebencian. Melainkan dipandangan dengan kecintaan sebagai kawan demokrasi yang memiliki tujuan yang sama untuk kepentingan bangsa dan negara meski dengan konsep dan metode yang berbeda.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Panduan Hidup Sehat dalam Al-Qur’an Oleh: Suko Wahyudi Al-Qur’an adalah kitab suci ter....

Suara Muhammadiyah

26 March 2024

Wawasan

Edukasi Mengelola Finansial Sejak Dini Oleh: Dr Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/LPPA PWA Kalbar....

Suara Muhammadiyah

18 July 2024

Wawasan

Muhammadiyah Banten dan Kesadaran Sejarah Oleh: Saidun Derani Menulis Sejarah Muhammadiyah Provins....

Suara Muhammadiyah

25 November 2023

Wawasan

Mengenal Cultural Violence dan Dampaknya  Oleh : Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Pontianak....

Suara Muhammadiyah

6 July 2024

Wawasan

Pendidikan Melupakan dan Gagal Membangun Potensi Dahsyat Manusia Oleh: Agusliadi Massere Indonesia....

Suara Muhammadiyah

25 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah