Dinamika Pemakmuran Masjid dan Musala

Publish

10 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
78
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Dinamika Pemakmuran Masjid dan Musala

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Uraian di dalam artikel ini merupakan lanjutan dari uraian di dalam artikel “Muslim Mukmin Pemakmur Masjid, Musala, Pesantren dan Tempat Pengajian” yang dipublikasi di Suara Muhammadiyah online, 2 Oktober 2025. Di dalam artikel tersebut belum dikemukakan dinamika pemakamuran masjid dan musala.

Pemakmur Masjid dan Musala

Pemangku kepentingan (stakeholder) merupakan salah satu unsur yang berpengaruh terhadap pemakmuran masjid dan musala. Pemangku kepentingan adalah orang atau pihak yang memiliki kepentingan. Di dalam konteks kajian ini pemangku kepentingan berarti orang-orang yang berkepentingan memakmurkan masjid dan musala, terutama muslim mukmin yang tinggal di dekat masjid dan musala tersebut. 

Secara umum, perilaku hidup muslim mukmin yang menjadi pemangku kepentingan pemakmur masjid dan musala, yang berbeda pemahamannya dalam hal misalnya ibadah dan akidah pun, makin kondusif. Hal itulah yang membuat masjid dan musala makin makmur dengan berbagai kegiatan. 

Keberagaman Pemahaman Pemangku Kepentingan

Pemangku kepentingan yang memakmurkan masjid dan musala tidak selalu homogen. Ketika salat subuh berjamaah misalnya, ada yang berkunut ada yang tidak. Mereka tidak pernah lagi memperdebatkannya. Ketika imam salat tidak berkunut, tidak ditinggalkan oleh makmum yang biasa berkunut. Mereka saling menghormati. 

Di tempat lain mungkin tidak demikian halnya. Orang yang berbeda paham tidak diberi amanah menjadi imam meskipun lebih fasih dalam bacaan Al-Qur'annya dan lebih bagus pemahaman fikih salatnya. Walaupun demikian, dia tetap selalu salat berjamaah di masjid atau musala dalam rangka memakmurkan masjid dan musala.

Pada bulan Ramadan salat sunah pun diselenggarakan secara berjamaah. Luar biasa banyaknya jamaah meskipun pada pekan kedua mulai berkurang sehingga mengurangi kemakmuran masjid dan musala. 

Di daerah tertentu, tarawih diselenggarakan di beberapa masjid dan musala yang berdekatan dengan perbedaan dalam jumlah rakaat. Ada jamaah yang menyelenggarakannya 23 rakaat dan ada yang 11 rakaat. Bahkan, tarawih dengan 11 rakaat pun dilaksanakan dengan formasi yang berbeda. Ada yang dengan formasi 4, 4, dan 3. Ada pula yang dengan formasi 2, 2, 2, 2, 2 dan 1.

Ada fenomena yang sangat menarik. Orang yang akan tarawih 11 rakaat saling berucap salam, bertegur sapa, dan berjabat tangan dengan orang yang akan tarawih 23 rakaat ketika bertemu di jalan. Namun, sering suasana demikian ternodai oleh ustaz dan ustazah yang mengisi tausiyah. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa makna tarawih itu banyak. Lalu, dengan serta merta dia menjelaskan bahwa 23 rakaat lebih banyak daripada 11 rakaat, berarti tarawih yang betul adalah yang 23 rakaat. Ada pula di antara mereka yang menyebut bahwa tarawih yang 11 rakaat itu kw-kw. 

Ada lagi ustaz yang menyebut bahwa orang yang mengerjakan tarawih 11 rakaat adalah orang yang salah memahami hadis ‘Aisyah berikut ini.

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهاَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Abi Salamah Ibn ‘Abd ar-Raḥman (diriwayatkan) bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah mengenai bagaimana salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadan. ‘Aisyah menjawab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan salat sunat pada bulan Ramadan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian, beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian, beliau salat tiga rakaat.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dari segi akademis, cara ustaz dan ustazah tersebut tidak mencerdaskan, tidak mencerahkan, juga tidak memajukan. Mereka berbicara seperti itu tanpa diikuti argumen utuh dan penjelasan ulama yang mengamalkan tarawih 11 rakaat.

Kiranya lebih objektif jika mereka dengan cermat membaca dan/atau mendengarkan pula penjelasan ustaz dan ustazah yang mengamalkan tarawih 11 rakaat. Hal lain yang tidak boleh dilupakan pula adalah argumen, baik yang berupa hadis maupun pendapat ulama yang menjadi rujukan tarawih 11 rakaat dengan formasi 3, 3, dan 4 atau 2, 2, 2, 2, 2, dan 1. Semua itu harus dikemukakan secara utuh dan objektif kepada jamaahnya.

Sangat ideal jika mereka menutup penjelasan kepada jamaahnya bahwa muslim mukmin yang mengamalkan tarawih 11 rakaat merujuk kepada hadis sahih.dan pendapat ulama yang kredibel. Oleh karena itu, kita wajib menghormatinya. Kita tidak boleh menafikannya.

Untuk memperoleh argumen akademis yang lengkap tentang tarawih 11 rakaat dengan formasi 3, 3, dan 4, kita dapat mencermati penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berikut ini.

“…. Dari mana kita memperoleh pengertian sesudah salat empat rakaat lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama, dari perkataan كَيْفَ (bagaimana) pada hadis ketiga yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiat salat qiyam Ramadan di samping juga menerangkan jumlah rakaatnya. 

Kedua, kaifiat itu diperoleh dari lafal يُصَلِّي أَرْبَعًا . Lafal itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara zahir (ظاهر), yakni menyambung empat rakaat dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل), yakni menceraikan atau memisahkan dua rakaat salam kemudian dua rakaat salam. Namun, makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam aṣ-Ṣan‘ānī dalam kitab Subulus-Salām (Juz 2: 13).

Di dalam Hadis ‘Āisyah ini diterangkan dalam satu kaifiat salat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di samping kaifiat yang lainnya. Hadis ‘Āisyah ini harus diamalkan secara utuh, baik rakaat maupun kaifiatnya. Hadis ‘Āisyah ini tidak ditakhsis oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (salat malam harus dua rakaat dua rakaat), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian ḥaṣr seperti dikatakan oleh Muḥammad bin Naṣar. 

Imam an-Nawawī dalam Syaraḥ Muslim mengatakan bahwa salat malam dengan empat rakaat boleh sekali salam (تسليمة واحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat rakaat menerangkan hukum boleh (jawaz). Perkataan an-Nawawī tersebut dikomentari oleh Naṣīruddīn al-Albānī dalam bukunya صلاة التراويح sebagai berikut.

وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلُ الشَّافِعِيَّةِ يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٍ لَقَوْلِ النَّوَوِيِّ بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ [صلاة التراويح، ص: 17-18]

“Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawī raḥimahullah itu. Oleh karena itu, mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua rakaat di mana apabila salat empat rakaat dengan satu salam, maka tidak sah, sebagaimana terdapat dalam Kitāb al-Fiqh ’alā al-Mażāhib al-Arba‘ah dan Syarḥ al-Qasṭallānī terhadap Ṣaḥīḥ al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (’Āisyah) yang sahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawī yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Beliau adalah salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafii. Hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapa pun juga yang berfatwa menyalahi ucapan beliau itu [Ṣalātut-Tarāwīḥ, hlm. 17-18].

Sebagaimana diketahui, hadis ‘Āisyah itu yang diriwayatkan al-Bukhārī dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyam Ramadan. Sehubungan dengan hal itu, Ibn Qayyim al-Jauziyyah menulis di dalam kitab Zādul-Ma‘ād,

وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمُرَاعَاتِهَا ذَلِكَ وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخَلْقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهَدَهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا (مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا) [زاد المعاد: 1: 244]

“Dan apabila lbn ‘Abbās berbeda pendapat dengan ‘Āisyah mengenai sesuatu hal menyangkut salat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat ‘Āisyah radiyallahu ‘anha. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibn ‘Abbās, itulah yang jelas karena ‘Āisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu. ‘Āisyah orang yang lebih mengerti tentang salat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Ibn ‘Abbās hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah radiyallahu ‘anha) [Zadul Ma’ad, 1:244].

Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukānī bahwa kebanyakan ulama mengatakan bahwa salat Tarawih dua rakaat satu salam hanya menunjukkan segi afdal (utama) saja, bukan memberi faedah ḥaṣr (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan salat malam empat rakaat dengan satu salam. Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian petunjuk (irsyād) kepada sesuatu yang meringankan saja. Artinya, salat dua rakaat dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat rakaat sekali salam.

Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Auṭār, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4 rakaat menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung    (الوصل = empat rakaat dengan satu salam). Namun, Imam Muḥammad Ibn Naṣr menyatakan sama saja afdalnya antara menceraikan (الفصل) dan menyambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwitir lima rakaat, beliau tidak duduk, kecuali pada rakaat yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل) [Nailul-Auṭaar:2:38-39].

Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Fenomena Sekolah Islam Perkotaan Oleh: Dartim Ibnu Rushd, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam-UMS P....

Suara Muhammadiyah

11 January 2024

Wawasan

"Islam" dalam Al-Qur`an: Memahami Makna Sejati Ketundukan kepada Tuhan Oleh: Donny Syofyan, Dosen F....

Suara Muhammadiyah

23 August 2024

Wawasan

Oleh: Agus Setiyono Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah pa....

Suara Muhammadiyah

28 October 2023

Wawasan

Banten, Muhammadiyah, dan Rakyat Miskin Oleh: Saidun Derani Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun....

Suara Muhammadiyah

17 November 2023

Wawasan

Tafsir Kontemporer: Ekoteologis dalam QS. Al Baqarah Ayat 30 Oleh: Amtsal Ajhar/Mahasiswa Universit....

Suara Muhammadiyah

15 April 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah