Oleh: Mustofa W Hasyim
Mas Abdul Hadi atau Bang Abdul Hadi sebenarnya sudah sampai pada maqom filosof sekaligus guru sufi. Pergerakan ruhaninya dari penyair yang intens menjadikannya sastrawan lalu ketika pemikarannya mekar menjadikannya budayawan dan keberpihakannya pada pergulatan spiritual sekaligus kultural menjadikannya guru sufi yang filosof yang bersahaja. Dia kemudian memiliki otoritas untuk berbicara mengenai kecenderungan zaman dan bangsanya yang bagi dia sudah sampai tahap mencemaskan.
Untungnya Mas Abdul Hadi masih percaya pada kata dan makna, masih percaya pada perbuatan (perjuangan) dan nilai dan masih percaya kepada Tuhan yang nama-namaNya terhubunga secara fungsional dengan sifat-sifatNya, dengan af'alNya dan terhubung secara fungsional dengan DzatNya yang tidak mungkin terdefinisikan dan teridentifikasi berdasar kategori kategori yang lahir dari otak manusia tetapi bisa dirasakan kehadiranNya dan kedekatanNya sebagaimana disampaikan oleh Allah subhanahu wa ta'la: waidza saalaka 'ibadi 'anni fainni qariib ujiibud da'watad da'i idza da'anii falyastajibuulii walyu'minubii la'llahum yarsyudun.
Saya beruntung berjumpa beberapa kali dengan Mas Abdul Hadi dan selalu dalam momentum dramatis secara kemanusiaan, secara intelektual dan 'spiritual. Wajahnya yang teduh dengan sinar matanya yang seperti mencemaskan dunia, basah dengan air mata mengambang. Tetapi saya selalu terhibur mendengar suara dan kata katanya yang sareh dan lembut menghanyutkan kesadaran bahwa kita perlu terus berbuat ihsan terhadap diri sendiri dan kehidupan sekitar.
Semangat untuk terus menerus melakukan tahsinul kalam, tahsinul qulub, tahsinul fikri, tahsinul muamalah (menulis puisi dan berseni budaya sebagai bagian muamalah sekaligus ibadah) sebagai bagian dari gerak missi dan visi kehidupan menuju gerak tahsinul hayah sungguh tak pernah padam. Selalu terasa getaran dan gelombang tahsinul hayah ini memancar dari wajah, kata kata dan gerak geriknya. Spirit tahsinul hayah ini memancar dan mengaliri siapa saja yang berdekatan dan berjumpa dengan Mas Abdul Hadi baik secara langsung mau pun tidak langsung (via facebook dan email misalnya). Paling tidak ini yang saya rasakan.
Saya berjumpa secara langsung dengan mas Abdul Hadi kurang dari sepuluh kali dan selalu dalam momentum dramatis. Suatu hari saya mendapat tugas wawancara dengan Mas Abdul Hadi untuk dimuat di rubrik Dialog di majalah Suara Muhammadiyah. Saya ditemani wartawan foto dan juru rekam wawancara, Ton Martono yang aktivis IMM di masa mudanya. Mas Abdul Hadi sendiri termasuk generasi awal atau malahan masuk barisan perintis IMM di masa mudanya. Jadi klop. Saya juga pernah merasakan sentuhan IMM waktu masih mahasiswa. Jadi mudah memasuki frekuensi spiritual dan intelektual yang sama.
Biasanya kalau bertugas sebagai jurnalis bersama Ton Martono saya merancang paket wawancara dengan banyak narasumber di beberapa tempat. Misalnya mengunjungi kota Tasikmalaya bertemu dengan narasumber lalu naik bus menuju Jakarta lewat Bandung. Sesampai di Jakarta njujug ke kantor PP Muhammadiyah Jl Menteng Raya 62, tempat saya di tahun 1978-1979 aktif latihan teater di Sanggar Enam Dua yang dipimpin Bambang Soeparjo AS, aktivis IMM seangkatan Pak Dien Syamsudin.
Di Menteng Raya 62 saya dan Ton Martono mandi ganti pakaian dan sarapan di warung makan Menteng Raya 58 yang ada kantor PB PII. Sehabis sarapan kami menelepon Mas Abdul Hadi untuk memastikan lokasi wawancara. Kami diberi alamat kantornya Garin Nugroho dan diberi waktu jam dua. Oke. Setelah itu kami membeli tiket kereta api malam yang akan berangkat dari stasiun Gambir menuju stasiun Tugu. Kami merancang kegiatan sehabis wawancara dengan Mas Abdul Hadi, akan terus pulang ke Yogyakarta.
Saya dan Ton Martono naik biskota jurusan Blok M lewat Kuningan. Jalur ini di tahun 1978-1979 sering saya lewati. Ternyata yang berubah drastis adalah Terminal Blok M. Terminal ramai yang lumayan kumuh dengan orang merokok dalam bis dan pedagang kaki lima bertebaran di sana sini telah disulap menjadi terminal bersih dengan format semacam halte terbuka yang panjang.
Dari Blok M kami menuju kantornya Garin untuk wawancara deng Mas Abdul Hadi. Kami sampai di tempat sebelum jam dua. Kami ngobrol dengan teman teman disitu yang sorenya akan mengadakan sarasehan tentan Syekh Yusuf Al Makasari untul mencari bahan pembatan film. Mas Abdul Hadi jadi salah satu narasumber sarasehan itu.
Saya dan Ton Martono menunggu dengan sabar. Dari teman di kantor itu saya mendapat info kalau Mas Abdul Hadi kalau bepergian tidak membawa hp dan memilih naik biskota. Waduh. Kami mulai tudak sabar menunggu karena ingat sore itu kami harus buru buru ke stasiun Gambir.
Akhirnya pada jam empat sore Beluau muncul. "Piye kabare Mas?" Tanyanya ramah.
Tentu kami tidak berani memarahi mas Abdul Hadi atas keterlambatan datangnya. Ton Martono sibuk memotret. Saya berpikir keras untuk menemukan langkah taktis agar wawancara didapat dan kami tidak ketinggalan kereta di stasiun Gambir.
Akhirnya saya keluarkan daftar pertanyaan untuk wawancara Dialog.
"Begini saja Mas," kataku," ini daftar pertanyaan. Tolong mas Abdul Hadi dijawab secara tertulis. Dikirim lewat email. Ini alamat email redaksi SM."
Mas Abdul Hadi tersenyum lebar. " Baiklah, kapan deadline?" Tanyanya.
Saya beri tanggal deadline kemudian kami minta maaf karena buru buru pamit mau naik taksi ke stasiun. Di dalam taksi rasanya lucu juga, yang terlambat datang ke tempat wawancara adalah beliau tetapi justru kami yang meminta maaf. Ini jenis sopan santun menghadapi kaum sufi.
Nah setelah itu selang beberapa tahun kami ketemu lagi di Sidoarjo di kampus Umsida. Waktu itu ada Rakernas LSBO yang dimeriahkan dengan lomba sastra untuk pelajar Sidoarjo dan pelatihan sastra di Pasuruan.
Mas Abdul Hadi menjadi pembicara dan menjelaskan kwcenderungan bangsa Indonesia yang memuja budaya materi. Ini sungguh mencemaskan dan bisa berbahaya bagi masa depan bangsa. Itu inti pembacaraan beliau.
Setelah mendengar orasi kebudayaan beliau saya bersama Syaiful Adnan dan Robert Nasrullah meluncur ke Pasuruhan untuk mengisi pelatihan. Baru malamnya bertemu lagi di warung kopi di depan hotel. Obrolannya ngalor ngidul tapi masih seputar kecenderungan bangsa Indonesia yang memuja budaya materi.
Perjumpaan dengan Mas Abdul Hadi yang lain waktu sama sama menjadi pembicara pada dialog budaya di UM Malang bersama Kiai Zawawi Imron. Kami bertiga menginap di hotel Montana Malang. Saat di forum Mas Abdul Hadi selalu serius dan jernih. Tentu saja kalau kami bertiga ngobrol di hotel pas sarapan kami berdua (saya dan mas Abdul Hadi) harus sabar dan terhibur oleh kisah pengalaman Kiai Sumenep yang banyak lucunya. Kami tertawa terpingkal pingkal dan hidup terasa segar.
Perjumpaan lain yang menyegarkan adalah waktu ada pertemuam sastrawan seIndonesia di Hotel Horizon Ancol. Dalam kesempatan makan saya selalu mencari peluang ngobrol dengan sastrawan lebih senior, termasuk dengan Mas Abdul Hadi WM.
Perjumpaan tidak langsung pun cukup meengesankan. Dalam obrolan di facebook tentang pengalaman berkunjung ke Isfahan cukup mengesankan gairah sufistiknya Termasuk ketika penerbit Bentang Budaya mencetak ulang kumpulan puisinya. Juga ketika saya bersama mas Iman Budhi Santosa menjadi editor buku kumpulan puisi Serambi Istiqlal yang diterbitkan Ilmu Giri atas insiatif KH Nasruddin Anshoriy Ch. Menggarap buku Serambi Istiqlal ini sungguh membuat kami berbahagia. Dalam buku ini kami dapat mempertemukan banyak penyair yang dalam kehidupan sehari hari jarang bertemu. Misalnya antara Mas Goen (Goenawan Mohammad) dengan Mas Abdul Hadi dan Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib dan penyair lainnya dari Aceh sampai Maluku.
Kecenderungan sufistik dalam berkarya dan dalam kehidupan sehari hari mas Abdul Hadi mirip dengan mas Danarto. Hanya bedanya Mas Dan lebih berkutat di Prosa dan lukis dan untuk menyamarkan kesufiannya Mas Dan suka makan enak dan ngobrol tentang merk mobil mewah dan perempuan cantik, Mas Abdul Hadi konsisten dengan dunia sunyi penuh kerinduan bertemu dengan Tuhan. Hidupnya penuh dengan puisi dan dengan puisi sufistiknya Mas Abdul Hadi yang berjiwa mutmainnah sekarang sekarang sudah dipanggil Tuhan. Ya ayyuhan nafsul mutmainnah. Irji'i ila rodhiyatan mardhiyyah. Fadkhulii fiii jannatii. Wadlhullii 'ibadii. Aamiin.