Mudik dan Indahnya Silaturrahmi

Publish

31 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
757
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Mudik dan Indahnya Silaturrahmi

Oleh: Mahli Zainuddin Tago

Pulau Sangkar-Kerinci, awal Juni 1979. Aku akan berangkat masuk SMP ke Jogja. Untuk itu aku disuruh ayahku bersilaturrahmi ke para kerabat. Meski belum tahu makna silaturrahmi aku senang hati menjalankan perintah beliau. Ternyata saat silaturrahmi aku mendapat angpao dari para kerabat. Jumlahnya cukup untuk tiket bis merantau ke Jogja. Maka selanjutnya setiap mudik dan akan berangkat lagi ke rantau silaturrahmi menjadi kebiasaanku. Bahkan sampai sekarang. Tentu kini dengan peran yang berubah. Dulu ketika masih siswa atau mahasiswa aku penerima angpao. Setelah bekerja dan berpenghasilan aku menjadi pemberi angpao. Penerimanya adalah kerabat yang berstatus pelajar atau mahasiswa. Juga mereka yang dulu suka memberi aku angpao. Semangat silaturrahmi ini pula yang melatarbelakangi perjalanan kami pada Mudik 2012.

Sebagai perjalanan silaturrahmi Mudik 2022 dijalankan dengan singgah di banyak tempat. Sudah lama kami sekeluarga, terutama aku, mengimpikan perjalanan ini. Moda transportasi yang digunakan berbeda  dengan banyak perjalanan mudik sebelumnya. Mudik pertama terjadi pada 1981 dua tahun setelah aku di  Jogja. Aku sudah tuliskan dalam “MUDIK PERDANA dan Kelelahan yang Membahagiakan.”  Ini mudik sambung menyambung. Jogja-Pulo Gadung-Cengkareng-Merak-Panjang-Tanjung Karang-Bangko-Kerinci. Di awali dengan naik kereta api, lalu naik taksi, bis, kapal, dan diakhir dengan naik bis. Mudik selanjutnya sering naik bis Jogja-Jambi-Kerinci. Belakangan naik pesawat Jogja-Padang atau Jogja-Jakarta-Jambi. Lalu berlanjut dengan naik travel menuju Kerinci. Belakangan lagi aku mudik naik pesawat Jogja-Jakarta-Jambi-Kerinci.
 
Mudik 2022 menjadi istimewa karena aku, istriku,  dan dua gadis kecil kami mengendarai mobil sendiri,  Si Terios Putih TX. Ini mobil baru yang diperoleh dengan menggulung Si Taruna CX mobilku sebelumnya.  Si Taruna sendiri adalah hasil  menggulung si Corolla DX, mobil pertama yang aku miliki dan pakai selama  sepuluh tahun. Si Terios dihadirkan dengan niat utama mudik ke Kerinci dengan kendaraan sendiri. Ini tentu membutuhkan  mobil yang kuat dan sehat.  Aku juga harus kuat. Untuk ini aku sudah tahu irama tubuhku. Ini belajar dari pengalaman mengantar istriku ke visitasi PAUD di beberapa kecamatan di Garut Jabar. Ternyata batas maksimal aku menyopir adalah 3-4 jam. Setelah itu mengantuk, menepikan mobil, dan mendengkur. Satu jam setengah berikutnya aku siap melanjutkan perjalanan.

Perjalanan Mudik 2012 dimulai pada pukul sepuluh malam. Setelah empat jam meninggalkan Jogja kami sampai di simpang empat Wangon-Banyumas. Kantuk pun menghampiriku. Maka  di depan kantor Polsek aku menepikan Si Terios. Lalu sandaran kursi direbahkan. Dengan sedikit pijatan lembu istri aku segera terlelap. Satu setengah jam kemudian aku terbangun dan melanjutkan perjalanan. Beberapa jam kemudian kami sudah masuk perbatasan Jateng-Jabar. Kami segera menepi di sebuah masjid untuk makan sahur.   Lalu kami ikut shalat shubuh berjamaah. Perjalanan mudik ternyata tidak menganggu puasa Ramadan kami. Justru rasa lapar dan haus tidak begitu terasa. Waktu juga terasa lebih cepat berlalu. Selanjutnya sambil menikmati matahari pagi yang bersinar kami menyusuri bumi Parahiyangan: Banjar Pahoman, Ciamis, dan Tasikmalaya. 
 
Silaturrahmi pertama kami adalah dengan Kang Widi Arrahman di Malangbong. Beliau kakak kelas kami di Pondok Shabran-UMS Solo. Ketika ke Jogja Kang Widi sering menelepon atau singgah di rumah kami. Kali ini giliran kami singgah di rumah beliau. Sekaligus kami membersihkan badan di rumah beliau yang sejuk di kaki pegunungan.  Menjelang siang kami sudah masuk ujung tol Cileunyi yang masih baru. Maka Dari Bandung menuju Jakarta kami melalui jalan tol. Umumnya dalam kecepatan  100 km/jam. Disini terasa perbedaan Terios TX dengan Taruna CX. Apalagi dibanding Corolla DX. Si Terios seakan menemukan habitatnya.  Aku kaget ketika masuk jalan tol Cikampek yang empat jalur. Bis dengan kecepatan tinggi mendahului dari berbagai sisi. Tetapi aku pun segera terbiasa. Lalu mulai menyalip dari kanan, kiri, dan sesekali dari bahu kiri jalan. 

Menjelang asar kami masuk jalan tol di tengah kota Jakarta. Ada semacam rasa bangga ketika mengandarai kendaraan sendiri di tengah ibukota yang megah. Bahwa ibukota dengan gedung-gedung pencakar langit di kiri kanan sudah tertaklukkan. Tetapi pada saat yang sama muncul  rasa kuatir. Kutair  salah belok dan kesulitan menemukan jalan  ke jalur semula. Aku belum lagi terbiasa menggunakan Google Map. Maka aku menelepon Jun kemenakanku yang tingggal di Jakarta. Aku minta dipandu sejak awal masuk sampai  keluar Jakarta. Setelah memasuki tol Jakarta-Merak aku merasa sudah aman. Tidak lagi memerlukan bantuan navigasi. Bahkan sampai Kerinci sekalipun.  Kami berbuka puasa di rest area pertama jalan tol ini. Karena belum masuk H-7 lebaran maka perjalanan selanjutnya menuju Merak berjalan lancar. Demikian juga penyeberangan menuju Bakauheni. 

Keluar dari kapal Fery di Bakauheni aku kembali merasa  bahagia. Bahagia karena bisa mengendarai kendaraan sendiri di pulau kelahiran. Bahagia  juga karena rasanya Kerinci sudah di depan mata. Walaupun jarak masih 1000-an KM dan jalan tol Bakauheni-Palembang belum lagi lahir.  Perasaan seperti ini selalu aku rasakan setiap turun dari kapal di Bakauheni. Bahkan dimulai ketika garis pantai pulau Sumatera mulai terlihat. Perasaan yang sama aku rasakan ketika keluar dari kapal di Pelabuhan Merak. Seakan Jogja sudah di depan mata. Padahal jarak yang ditempuh masih  700-an KM lebih. Perasaan seperti ini muncul baik naik angkutan umum maupun menumpang kendaraan teman atau saudara. Apalagi kini aku mengendarai mobil sendiri. Inilah psikologi perantau yang mudik ke kampung halaman atau kembali ke rantau. Jauh terasa dekat dan lelah seakan punah.  

Silaturrahmi kedua kami di Bandar Lampung. Perjalanan Bakauheni-Way Halim cukup lancar. Tetapi memasuki jalan lingkar Soekarno-Hatta, kondisi jalan sangat buruk. Banyak lubang besar menganga. Maka perjalanan terasa lama. Lewat tengah malam kami  akhirnya berada di ujung utara kota Bandar Lampung. Kami disambut Dindo Darman adik kelasku di Pondok Shabran-UMS yang kini bernama lengkap Profesor Dr. Sudarman, M.Ag. Tentang beliau aku  sudah tuliskan dalam “SANG GURU BESAR Penuntut Ilmu Tangguh dari Gisting.”  Karena sudah larut malam kami tidak bersilaturrahmi dengan keluarganya  di rumahnya.  Kami langsung masuk Rumah Makan Padang di dekat Bunderan Hajimena, istirahat sejenak  sekaligus makan sahur, dan sebelum matahari terbit  kami pun melanjutkan perjalanan  menuju utara.  

Menjelang zuhur kami memasuki Baradatu. Kota ini berada di dekat perbatasan Lampung-Sumatera Selatan. Sejak dari Bakauheni aku tidak lagi menggunakan Google Map. Aku hapal nama kota di sepanjang jalur ini karena sudah berkali-kali melaluinya. Kalianda, Bandar Lampung, Branti, Bandar Jaya, Kota Bumi, Bukit Kemuning,  dan Baradatu.  Perkembangan yang dahsyat terjadi pada kota-kota di tepi Jalan Lintas Sumatera ini. Tetapi aku tidak kehilangan jejak. Tinggal mengikuti plang nama di tepi  jalan. Pada Mudik Perdana tahun 1981 Baradatu adalah simpang tiga yang sepi. Hanya ada satu dua warung sangat sederhana di sisinya. Selebihnya adalah perladangan. Kini aku kesulitan mencari simpang tiga yang sama.  Kiri kanan jalan dipenuhi pertokoan.  Beberapa toko berjejaring juga sudah muncul. Baradatu kini sudah menjadi kota kecil yang ramai. 

Di Baradatu kami melakukan silaturrahmi ketiga. Kami  mengunjungi Pakde Jamasri saudara sepupu mertuaku di Jepara. Beliau lama merantau ke Lampung. Pada 1999 Eny dan Agus dua anak Pakde ini tiba-tiba muncul di rumah kami di Jogja.  Keduanya lalu tinggal bersama kami bersama tujuh adik-kemenakan lainnya dari Kerinci dan Jepara lainnya. Mereka adalah anak-anak muda yang sedang merintis masa depan dengan menuntut ilmu di Jogja. Sebagian mereka kemudian kos di tempat lain. Sebagian tetap bersama kami. Eny menjadi mahasiswaku di FAI UMY dan kemudian menikah dengan Antok yang juga tinggal satu komplek dengan kami. Kini mereka menetap di Jogja. Sedangkan Agus tidak berminat  kuliah. Setamat SMA dia pulang ke Baradatu dan menjadi pengusaha. Di Baradatu kali ini kami kembali Agus, Pakde Jamasri, dan keluarga besar..

Setelah makan siang kami melanjutkan perjalanan ke utara. Dibanding Mudik 1981, pada 2012 ini hutan belantara di perbatasan Lampung-Sumsel sudah menjadi lahan terbuka. Tidak ada lagi kawasan sepi. Kami kemudian memasuki kota pertama di Sumatera Selatan, Martapura. Lalu Baturaja, Tanjung Enim,  dan Muara Enim. Kami sempat singgah sebentar di tepi Sungai Lembatang yang indah. Sungai ini mengingatkan aku ketika dulu sering mudik naik bis dan berhenti di rumah makan sederhana di tepinya. Kami rehat, makan,  dan buang air di tepi sungai Lembatang. Kini entah dimana lokasi rumah makan itu. Kami pun  berfoto beberapa  bidikan dengan latar belakang sungai Lembatang dan Bukit Barisan jauh di belakangnya. Menjelang magrib kami memasuki kota Lahat. Seiring dengan malam yang menjelang kami menginap di kota di pedalaman Sumatera Selatan ini.  BERSAMBUNG


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Hajjah Hamdah: Perempuan Pengerak Berkemajuan Kalimantan Barat Oleh: Dr. Amalia Irfani, M. Si, LPPA....

Suara Muhammadiyah

7 April 2024

Humaniora

Oleh: Nur Ngazizah “Saya titipkan Muhammadiyah dan Aisyiyah kepadamu sebagaimana almarhum Kia....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Humaniora

Tak Lekang oleh Zaman dan Waktu Oleh: Deni al Asyari Kemarin siang, saya dikirimi oleh Buya Syafii....

Suara Muhammadiyah

30 September 2023

Humaniora

Cerpen Ulfatin Ch Langit masih seperti dulu. Burung-burung masih berkicau merdu. Bunga pukul empat....

Suara Muhammadiyah

19 January 2024

Humaniora

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah  Suara jejarum hujan yang membentur atap seng teras tak dapat men....

Suara Muhammadiyah

8 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah