Ideologi Islam Berkemajuan
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Muhammadiyah melekat dengan dan menampilkan dirinya sebagai representasi dari gerakan Islam Berkemajuan. Muhammadiyah sejak 2010 dalam Muktamar ke-46 bahkan menegaskan pandangannya tentang “Islam yang berkemajuan” yang kemudian populer dikenal sebagai “Islam Berkemajuan” melalui Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua atau Zhawahir Al-Afkar Al-Muhammadiyyah Li Al-Qarni Al-Tsani.
Islam Berkemajuan hadir di Indonesia maupun dunia Islam dalam wujud gerakan pembaruan, yang dikenal dalam khazanah Islam sebagai ideologi gerakan “Tajdid fil-Islam”. Di era baru, khususnya pada awal abad ke-20, gerakan Islam yang membawa pikiran pembaruan atau pikiran berkemajuan populer dengan gerakan Islam modern atau modernisme Islam maupun reformisme Islam.
Ideologi Tajdid
Muhammadiyah melekat dan dikenal sebagai gerakan tajdid atau pembaruan Islam. Selama ini di sebagian kalangan Muhammadiyah tertanam kuat makna tajdid berarti “pemurnian” sehingga Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid disebut gerakan pemurnian Islam. Buku-buku tentang Kemuhammadiyahan yang selama ini ditulis banyak merujuk makna tajdid dengan pemurnian. Pengertian tajdid seperti itu melekatkan gerakan tajdid pada “Revivalisme Islam” atau “al-Bu’uts al-Islami” atau “al-Sahwa al-Islami”. Jargon utamanya “ar-Ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah”. Sering dikaitkan dengan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dalam melawan syirk, bid’ah, dan khurafat (TBC). Karakter tajdid pemurnian lebih bercorak pada gerakan salaf, yaitu gerakan yang ingin mengembalikan Islam pada kemurniannya di zaman Nabi dan tiga generasi sesudahnya yang dipandang sebagai era utama dalam sejarah dan praktik pengamalan Islam.
Pemaknaan tajdid dalam arti pemurnian tersebut tidak salah atau keliru, tetapi sifatnya hanya satu sisi yakni “al-‘iadat asy-syai kal-mubtada” atau mengembalikan sesuatu pada tempatnya, yakni mengembalikan Islam pada sumber Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Tetapi aspek “al-ihya” (menghidupkan), “al-ba’ats atau al-sahwa” (kebangkitan), dan lebih jauh “al-ishlah” yakni memperbaiki dan membangun atau rekonstruksi tidak tercakup dari makna tajdid yang bersifat pemurnian tersebut. Karenanya perlu pembaruan makna tajdid tersebut dalam empat cakupan yang saling terkait yaitu mengembalikan, menghidupkan, membangkitkan, dan merekonstruksi.
Keputusan Muktamar Tarjih XXII di Malang, tahun 1989, merumuskan konsep tajdid dalam dua makna yang mengandung empat aspek cakupan arti kata dasar dari tajdid. Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni pertama pemurnian; yang kedua peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Pendekatan dalam memahami ajaran Islam dilakukan secara utuh dan simultan melalui bayani, burhani, dan irfani.
Tajdid dengan dua aspek saling terkait itu melekat dengan nama Majelis Tarjih dan Tajdid dalam Muhammadiyah sejak Muktamar Malang tahun 2005 dengan agenda dan rencana programnya yang bersifat pemurnian atau purifikasi dan pengembangan atau dinamisasi. Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki rencana strategis untuk: Menghidupkan tarjih, tajdid, dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang kritis-dinamis dalam kehidupan masyarakat dan proaktif dalam menjalankan problem dan tantangan perkembangan sosial budaya dan kehidupan pada umumnya sehingga Islam selalu menjadi sumber pemikiran, moral, dan praksis sosial di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sangat kompleks.
Berdasarkan garis besar program, Majelis mempunyai tugas pokok, yaitu (1) Mengembangkan dan menyegarkan pemahaman dan pengalaman ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat yang multikultural dan kompleks; (2) Mensistematisasi metodologi pemikiran dan pengalaman Islam sebagai prinsip gerakan tajdid dalam gerakan Muhammadiyah; (3) Mengoptimalkan peran kelembagaan bidang tajdid, tarjih dan pemikiran Islam untuk selalu proaktif dalam menjawab masalah riil masyarakat yang sedang berkembang; (4) Mensosialisasikan produk-produk tajdid, tarjih dan pemikiran keislaman Muhammadiyah ke seluruh lapisan masyarakat; (5) Membentuk dan mengembangkan pusat penelitian, kajian, dan informasi bidang tajdid pemikiran Islam yang terpadu dengan bidang lain (PP Muhammadiyah, 2010). Karenanya penting memahami tajdid secara utuh dan lengkap sehingga menampilkan Gerakan Tajdid Muhammadiyah yang menyeluruh tidak terbatas pada pemurnian. Inilah tajdid yang komprehensif dan menjadi bagian dari pandangan atau ideologi Islam berkemajuan.
Ideologi Reformis-Modernis
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Berkemajuan dikenal memiliki sifat modern sehingga dirinya melekat kuat dan diberi predikat oleh banyak pihak sebagai Gerakan Islam Modern. Muhammadiyah lahir tahun 1912 ketika Indonesia memasuki era modern awal abad ke-20. Kala itu mayoritas masyarakat Indonesia, termasuk umat Islam sebagai penduduk terbesar masih berada dalam kebudayaan tradisional, bahkan menurut Sutan Takdir Ali Sjahbana masih bercorak prae-Indonesia.
Muhammadiyah dalam kajian pemikiran Islam dikelompokkan sebagai modernisme Islam, dikenal pula sebagai reformisme Islam. Dalam beberapa kesempatan, Prof Amin Abullah mantan Rektor UIN-Suka Yogyakarta, merujuk bahwa dengan Pemikiran Islam Berkemajuan Muhammadiyah dapat diidentikkan pada kategori pemikiran Islam progresif, meski menuju pada genre ini masih memerlukan pergumulan panjang. Apapun istilahnya, esensinya ialah, di antara kehadiran Muhammadiyah secara sosiologis merupakan jawaban terhadap perkembangan modernisme yang melahirkan genre pemikiran dan gerakan Islam tersendiri dalam dunia Islam.
Selama ini pandangan umum selalu mengaitkan pembaruan Muhammadiyah yang bercorak modern diidentikkan dengan pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab. Pertautan pemikiran pembaruan Islam yang demikian tentu wajar, karena di dunia pemikiran mana pun saling mempengaruhi itu selalu terjadi, termasuk dalam pemikiran modern Barat. Namun sebenarnya terdapat tipikal khas dari pemikiran Kyai Dahlan dan Muhammadiyah yang berbeda dari para pembaru Islam sebelumnya.
Muhammadiyah melahirkan gerakan perempuan Islam ke ruang publik sebagai kekuatan baru perempuan Islam berkemajuan yaitu Aisyiyah. Muhammadiyah juga mendirikan pranata-pranata modern yang baru seperti gerakan kesehatan, pelayanan sosial, dan lain-lain yang lahir dari teologi Al-Ma’un yang dilembagakan menjadi Rumah Sakit, Rumah Miskin, dan Rumah Yatim. Kedua aspek gerakan tersebut tidak dimiliki oleh gerakan pembaruan Islam sebelumnya di dunia Islam. Kyai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang didirikannya secara historis dan sosiologis menghadirkan Islam sebagai jawaban atas modernisme awal abad keduapuluh. Tidak keliru jika Muhammadiyah kemudian diberi label sebagai gerakan Islam modernis, Islam reformis, dan Islam pembaruan.
Achmad Jainuri menyebut Muhammadiyah sebagai “Ideologi Reformis”. Pandangan ideologi keagamaan reformis-modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kaum reformis-modernis pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Selain itu kaum reformis-modernis menerima perubahan berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial; memiliki orientasi waktu ke depan serta menekankan program jangka panjang; bersikap rasional dalam melihat persoalan; mudah menerima pengalaman baru; memiliki mobilitas tinggi; toleran; mudah menyesuaikan dengan lingkungan baru. Pada awal abad kedua puluh sikap ini terlihat pada kaum modernis Muslim yang menerima sebagian unsur budaya Barat modern dalam program sosial dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan bahwa dari manapun asalnya ide atau gagasan itu, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan (Jainuri, 2004).
Modernisme yang ditampilkan Muhammadiyah sedikit berbeda dari arus modernisme Islam atau gerakan kebangkitan Islam (al-sahwa al-Islamy) di dunia Islam sebelumnya yang cenderung mengeras atau puritan dalam ideologi Salafiyah atau revivalisme Islam yang kaku. Muhammadiyah dalam pandangan Azyumardi Azra, kendati secara teologis atau ideologis memiliki akar pada Salafisme atau Salafiyah, tetapi watak atau sifatnya tengahan atau moderat yang disebutnya sebagai bercorak Salafiyyah Wasithiyyah (Republika, 13 Oktober 2005). Karena itu, kendati sering diposisikan berada dalam matarantai gerakan pembaruan Islam di dunia muslim yang bertajuk utama al-ruju’ ila Al-Qur’an wa al-Sunnah, Muhammadiyah tidak terlalu kental bercorak gerakan Timur Tengah, karena watak dan orientasi gerakannya lebih lentur dan tengahan.
Modal pemikiran Muhammadiyah tersebut dapat dijadikan pangkal dalam memasuki era baru dunia modern abad keduapuluhsatu ketika gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Ahmad Dahlan ini memasuki pergerakan abad kedua dengan tema "Islam Berkemajuan" dan "Gerakan Pencerahan". Agendanya ialah bagaimana memberi pijakan epistemologis dan metodologis bagi gerakan Muhammadiyah di abad kedua tersebut secara lebih kokoh sehingga mampu menghadirkan praksis alternatif. Risalah Islam Berkemajuan yang dibahas dalam Muktamar ke-48 di Surakarta dapat menjadi matarantai penting tentang epistemologi dan elaborasi dari Islam Berkemajuan!
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2022