Hukum Penambahan Nama Suami di Belakang Nama Istri

Publish

28 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
106
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Hukum Penambahan Nama Suami di Belakang Nama Istri

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Ada perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya menggunakan nama suami di belakang nama istri. Ada yang mengharamkan seperti fatwa ulama Arab Saudi, namun ada pula yang membolehkan seperti fatwa ulama Mesir. Sementara ulama Muhammadiyah sendiri jarang yang mebahas masalah ini. Mohon pencerahanya kepada Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang masalah ini.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Sabikhun, Anggota PCM Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Disidangkan pada Jumat, 8 Rabiulawal 1443 H/15 Oktober 2021 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salamm wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini kami paparkan jawabannya.

Penambahan nama suami dibelakang nama istri menurut Muhammadiyah pernah dibahas oleh Tim Fatwa yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 1, cetakan ke-10 (2020), dengan kesimpulan tidak adanya hadis yang melarang penambahan nama suami di belakang nama istri, yang kemudian Tim Fatwa memasukkannya dalam permasalahan ‘urf atau kebiasaan. Akan tetapi hendaknya nama yang ditambahkan memiliki arti yang baik. Sebagai contoh nama suami Aminah adalah Abdurrahim, maka ketika nama suami ditambahkan sebaiknya adalah Aminah Abdurrahim, bukan Aminah Rahim saja. Nama sendiri merupakan salah satu alat untuk saling mengenal satu sama lain. Kisah tentang larangan menasabkan nama kepada selain ayah kandungnya dijelaskan dalam firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut,

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا.

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Q.S. al-Ahzab (33) : 5].

Pada kitab tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan kisah Zaid bin Haritsah. Dalam adat orang Jahiliyah dahulu nama ayah angkatlah yang dipakai, begitu pula dengan Nabi Muhammad saw yang sebelumnya menjadikan namanya di belakang nama Zaid, yaitu Zaid bin Muhammad. Akan tetapi, hal ini tidak dibenarkan oleh Allah swt, sebab jika nama ayah angkat yang dipakai, maka akan menghilangkan hak dan kewajiban ayah kandungnya sendiri. Masih dalam ayat yang sama pula, ketika orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui nama ayah kandungnya, maka hendaknya ia memanggilnya sebagai saudara, yang kemudian ditafsirkan dengan cara menyebut namanya sendiri atau dengan istilah bin fulan, ataupun dengan menyebutkan pekerjaannya (penafsiran kata maula(hamba sahaya)).

Dari pemahaman akan asbabun nuzul yang ada dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, maka perintah Ud’uuhum Li abaaihim (Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka) bukanlah perintah mutlak, artinya perintah tersebut tidak berlaku secara mutlak sampai kapan pun. Hal ini mengandung makna bahwa perintah untuk memanggil seseorang dengan menggunakan nama ayah kandung bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman, situasi, dan tradisi pada suatu wilayah tertentu.

Berkaitan dengan pertanyaan saudara tentang penambahan nama suami di belakang nama istri yang terjadi di Indonesia, hanya ditujukan agar lebih mudah dikenali dan tidak sampai mengubah nama ayah kandung yang ada di dalam dokumen resmi negara serta tidak sampai mengubah nasab seorang istri. Hal ini karena berdasarkan kebiasaan yang berlaku di beberapa daerah di Indonesia, seorang istri akan ikut suaminya, secara otomatis ia akan menjadi orang baru dalam lingkungan tersebut. Jika kemudian ada tetangga yang belum mengetahui namanya, biasanya dipanggil dengan nama suaminya. Bisa jadi juga ketika ada dalam satu kumpulan masyarakat terdapat nama yang sama, maka untuk membedakan, masyarakat menambahkan imbuhan nama suami di belakangnya. Sebagai contoh dalam satu warga ada dua nama Siti, keduanya merupakan orang baru dalam lingkungan warga tersebut, maka untuk membedakannya, orang-orang biasa memanggil dengan laqab Siti Munir (Siti istri Pak Munir) dan Siti Wawan (Siti istri Pak Wawan), bahkan terkadang hanya dengan panggilan Bu Munir dan Bu Wawan, tak jarang pula yang pengimbuhannya karena pekerjaan dirinya sendiri atau suaminya, contohnya Bu Siti Dokter (Siti istri Pak Munir yang bekerja sebagai dokter dan Siti yang menjadi dokter). 

Model penamaan yang ada di Indonesia tersebut, tidak digolongkan sebagai penisbatan yang dilarang dalam ayat di atas. Penisbatan nama yang diharamkan terjadi ketika nantinya bisa mengubah nasab seorang istri yang kemudian ditandai dengan adanya bin/binti dan setelah bin/binti bukan nama ayah kandungnya. Fatwa Ulama Arab Saudi tentang keharaman penambahan nama suami di belakang nama istri didasarkan pada pendapat mereka, karena kebiasaan penamaan di Arab Saudi sendiri memang selalu disertakan kata bin/binti ketika memanggil. Sebagaimana hadis yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari berikut ini,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا [رواه البخاري].

Dari 'Aisyah r.a. (diriwayatkan) orang-orang Quraisy sedang menghadapi persoalan yang menggelisahkan, yaitu tentang seorang wanita suku al-Makhzumiy yang mencuri lalu mereka berkata: Siapa yang mau merundingkan masalah ini kepada Rasulullah saw? Sebagian mereka berkata; Tidak ada yang berani menghadap beliau kecuali Usamah bin Zaid, orang kesayangan Rasulullah saw. Usamah pun menyampaikan masalah tersebut, lalu Rasulullah saw bersabda: Apakah kamu meminta keringanan atas pelanggaran terhadap aturan Allah? Kemudian beliau berdiri menyampaikan khuthbah lalu bersabda: Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena apabila ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mereka mencuri, mereka membiarkannya dan apabila ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mereka mencuri mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, sendainya Fathimah binti Muhamamad mencuri, pasti aku potong tangannya [H.R. al-Bukhari, 3216].

Oleh karena itu, ulama Arab Saudi mengeluarkan fatwa tentang haramnya menambahkan nama suami di belakang nama istri, dengan maksud haram menasabkan istri kepada suaminya. Sedangkan fatwa ulama Mesir membolehkan penambahan nama suami di belakang nama istri karena beranggapan bahwa hal tersebut hanya untuk memudahkan panggilan, namun dengan syarat dan ketentuan tertentu dan penambahan nama tersebut tidak sampai mengubah nasab.

Kesimpulannya, fenomena penambahan nama suami di belakang nama istri yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dan merupakan bagian dari adat kebiasan masyarakat dilakukan agar lebih mudah untuk saling mengenal tanpa adanya unsur mengubah nasab yang dapat menghilangkan hak dan kewajiban kepada ayah kandungnya. Ketika adat yang terjadi tidak bertentangan dengan syariat, maka adat tersebut boleh dilaksanakan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 05 Tahun 2022


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Tanya Jawab Agama

Hukum Haji Tanpa Maharam Menurut Muhammadiyah Pertanyaan: Apa hukum haji tanpa mahram menurut Muha....

Suara Muhammadiyah

23 January 2025

Tanya Jawab Agama

Pemanfaatan Limbah Air Wudhu untuk Bersuci Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wr.wb.  Kami ....

Suara Muhammadiyah

26 August 2024

Tanya Jawab Agama

Ketentuan Shalat Saat Safar Dilakukan Berjamaah Bersama Imam Mukim Pertanyaan: Assalamu ‘ala....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Tanya Jawab Agama

Hukum Membaca Basmalah dan Kunut Dalam Shalat Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wr.wb. Saya mau....

Suara Muhammadiyah

16 January 2025

Tanya Jawab Agama

Perceraian Sah Lewat Pengadilan Agama dan Kewajiban Adanya Surat Cerai Pertanyaan: Assalamu &lsquo....

Suara Muhammadiyah

21 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah