Hukum Donor Mayat pada Teaching Hospital

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
46
Ilusrasi. Sumber Foto NHS

Ilusrasi. Sumber Foto NHS

Hukum Donor Mayat pada Teaching Hospital

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya adalah anggota Muhammadiyah Cabang Jambu Ambarawa Kabupaten Semarang, umur 88 tahun, Pelanggan SM sampai sekarang. Setelah membaca di SM Edisi 13 tahun ke-104 tanggal 1-15 Juli 2019 dengan judul Teaching Hospital Tingkat Internasional Ummas Semarang, timbul pertanyaan saya, bagaimana hukumnya orang yang mendonorkan mayat pada Teaching Hospital tersebut?

Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Slamet Ichsanto, Jambu Ambarawa Kabupaten Semarang (Disidangkan pada Jumat, 10 Rajab 1443 H/11 Februari 2022 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.

Terima kasih atas kepercayaan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid untuk menjawab pertanyaan bapak.

Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan pada segala aspek kehidupan, sehingga para sarjana muslim di abad klasik telah menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan, salah satunya adalah ilmu kedokteran. Di antara ilmu dasar dalam kedokteran adalah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang disebut anatomi, untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut tentu dengan jalan praktek langsung terhadap manusia. 

Pada dasarnya setiap jenazah orang yang meninggal dunia atau mayat harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya dan tidak boleh dirusak. Adab penghormatan terhadap mayat dapat dilakukan dengan melakukan perawatan mayat sesuai syariat Islam. Perawatan mayat sesuai syariat Islam biasanya dilaksanakan dengan cara memandikan, mengafani, menyalatkan, dan mengubur mayat (Kitab Riyadh al-Badi’ah). Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut ini,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا  [الإسرآء، 17: 70].

Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna [Q.S. al-Isra’ [17]: 70].

Hal ini juga sesuai dengan hadis Nabi saw,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا [رواه أبو داود].

Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Mematahkan atau menghancurkan tulang orang yang sudah mati itu (dosanya) sama saja dengan memecahkan tulang orang dalam keadaan hidup [H.R. Abu Dawud no. 2792].

Namun demikian, dalam kondisi tertentu ketika mayat digunakan untuk kepentingan penelitian yang dilakukan di dunia medis, maka muncul pertanyaan, bolehkah hal itu dilakukan dan apakah termasuk dalam kategori merusak mayat atau tidak?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu secara umum tentang kadaver. Kadaver menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mayat manusia yang diawetkan. Kadaver merupakan salah satu instrumen penting yang ada dalam dunia pendidikan dokter. Kadaver biasanya digunakan untuk menunjang keberhasilan pendidikan terutama dalam mempelajari ilmu anatomi. 

Kadaver dapat digunakan berkali-kali, namun tidak mudah mendapatkan kadaver dan harus melalui proses yang sangat panjang. Kadaver biasanya diperoleh dari kamar mayat forensik yang telah dinyatakan sebagai unclaimed body (mayat yang tidak teridentifikasi) atau bisa juga diperoleh dari seseorang yang telah berwasiat akan mendonorkan tubuhnya. 

Dalam Islam, kadaver pada dasarnya mempunyai dasar hukum seperti mayat (manusia yang sudah mati atau tidak bernyawa lagi). Walaupun sudah tidak bernyawa, kadaver masih mempunyai hak dan kewajiban moral yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang memanfaatkannya baik sebagai media pembelajaran maupun penelitian. Hak dan kewajiban moral tersebut adalah kadaver harus digunakan sebagaimana mestinya yakni sebagai media pembelajaran bukan media bermain. Kadaver harus diletakkan di tempat sebagaimana mestinya dan tidak diperbolehkan menjadikan kadaver sebagai objek senda gurau apalagi sampai mengatakan hal-hal yang tidak pantas mengenai cadaver, misalnya ‘kadaver ini pasti dulu orang nakal’ atau ‘kadaver ini badannya sudah jelek’ maupun kata-kata lain yang sejenisnya. Hal ini selaras dengan hadis Nabi saw,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا [رواه البخاري].

Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa Nabi saw bersabda, Janganlah kamu memaki orang yang telah mati karena sesungguhnya mereka telah menemui apa yang mereka amalkan semasa hidupnya [H.R. al-Bukhari 1306].

Setelah memenuhi hak dan kewajiban mayat kemudian dilakukan proses pengawetan pada mayat yang digunakan untuk proses penelitian. Meskipun setelah proses pengawetan mayat dapat bertahan lama, namun mayat akan mengalami proses pembusukan. Bagian tubuh mayat yang paling lama pembusukannya adalah tulang. 

Menurut pendapat Yusuf al-Qaradawi, bahwa seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya ketika ia masih hidup meskipun ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Namun, al-Qaradawi berpendapat bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, manusia diberi wewenang untuk memanfaatkannya dengan mempergunakannya sebagai harta miliknya. Harta pada hakikatnya milik Allah sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu” [Q.S. an-Nur (24): 33]. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa mayat manusia bukanlah termasuk ke dalam harta dan harus dimuliakan, sehingga haram diperjualbelikan. Adapun pembayaran kadaver digunakan sebagai biaya pemeliharaan di rumah sakit. 

Di Indonesia, belum banyak yang berminat mendonorkan salah satu organ tubuhnya setelah meninggal dunia, apalagi merelakan tubuhnya sebagai penelitian ilmu kedokteran yang tubuhnya akan diawetkan, dibedah, dipotong dan lain-lain. Kendati demikian, terdapat beberapa orang yang berkeinginan menjadi kadaver guna berkembangnya ilmu kedokteran. Salah satunya ialah Purbyantara, beliau adalah orang pertama yang mendonorkan dirinya sebagai kadaver di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Mengenai mewasiatkan organ tubuh setelah meninggal dunia, al-Qaradawi memperbolehkannya. Sebab hal itu akan bermanfaat bagi orang lain tanpa menimbulkan kesengsaraan sedikit pun kepada dirinya karena organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridaan Allah, ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Alasan al-Qaradawi adalah dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara’ yang mengharamkannya, sedangkan “hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih yang jelas melarangnya”.

Apabila kadaver telah selesai digunakan, maka disegerakan untuk menguburkannya dan tidak perlu dimandikan agar menghindari terpisahnya anggota badan yang telah digunakan untuk penelitian. Adapun penggunaan kadaver diharapkan untuk digunakan dengan maksimal. Penggunaan satu kadaver dalam penelitian diperuntukkan bagi beberapa puluh peneliti, sehingga satu kadaver bukan untuk beberapa peneliti saja. 

Sementara itu dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 12 Tahun 2007 tentang “Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian” disebutkan bahwa pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya dan tidak boleh dirusak. Penggunaan jenazah untuk kepentingan penelitian seperti dengan cara membedah, dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut: 

1.      Penelitian dimaksudkan untuk pengembangan keilmuan, mendatangkan kemashalahatan yang lebih besar, yaitu memberikan perlindungan jiwa (hifz an-nafs), bukan hanya untuk kepentingan praktik semata, sementara media penelitian hanya bisa dilakukan dengan media manusia. 

2.      Sebelum digunakan untuk objek penelitian tersebut di atas, hak-hak jenazah harus dipenuhi, seperti dimandikan, dikafani, dan disalatkan.

3.      Jenazah yang digunakan untuk penelitian harus dilakukan seperlunya, selanjutnya jika penelitiannya sudah selesai harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat. 

4.      Jenazah yang akan dijadikan objek penelitian harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin ahli waris, dan/atau izin Pemerintah.

Kebolehan penggunaan mayat untuk kepentingan penelitian didasarkan pada kaidah-kaidah fikih berikut ini, 

1- الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَةُ

Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang (sebelumnya) dilarang.

Menurut kaidah ini, penggunaan mayat untuk kepentingan penelitian ini sebenarnya merupakan sesuatu yang darurat, karena hanya dengan cara itulah anatomi tubuh manusia dapat diketahui. Oleh karena darurat, maka penggunaan mayat untuk kepentingan penelitian itu dapat dilakukan, meskipun sebenarnya ada larangan untuk merusak mayat.

2- الضَّرُوْرَةُ تُقَدِّرُ بِقَدْرِهاَ

(Kebolehan melakukan) suatu kedaruratan itu dihitung seperlunya.

Adapun menurut kaidah ini, sekalipun keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang, tetapi tidak boleh dilakukan secara berlebihan, melainkan harus dilakukan sesuai dengan keperluannya saja.

3- الْمَصْلَحَةُ الْعَامَّةُ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصْلَحَةِ الْخَاصَّةِ

Kemaslahatan umum lebih didahulukan (diutamakan) daripada kemaslahatan khusus.

Sedangkan sesuai kaidah ini, dapat dipahami bahwa penggunaan mayat untuk kepentingan penelitian ini merupakan suatu kemaslahatan umum, sementara menguburkannya secara langsung merupakan suatu kemaslahatan khusus. Oleh karena itu penggunaan mayat untuk penelitian dibolehkan.

Sebagai kesimpulan, mendonorkan mayat pada Teaching Hospital hukumnya boleh, karena hal ini untuk kepentingan pembelajaran bagi para dokter agar dapat mengetahui organ atau anatomi tubuh manusia dan penyakit-penyakit yang ada di dalam tubuhnya. Namun pelaksanaannya harus atas dasar wasiat orang yang meninggal dunia, izin ahli waris, dan atau izin dari Pemerintah, agar tidak ada fitnah di kemudian hari. Pada praktik penelitian yang menggunakan mayat, mayat harus diperlakukan dengan baik, halus, dan tidak merusak mayat dan dilakukan sesuai keperluannya. Adapun hak-hak mayat atau jenazah harus sudah terpenuhi sebelum digunakan sebagai objek penelitian, yaitu, dimandikan, dikafani, dan disalatkan. 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 09 Tahun 2022


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Tanya Jawab Agama

Meninggal Dunia Karena Terpapar Covid-19 Apakah Termasuk Mati Syahid? Pertanyaan: Assalamualaikum ....

Suara Muhammadiyah

23 July 2025

Tanya Jawab Agama

Penggunaan Pengeras Suara Masjid Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wr. wb.  Bagaimana huku....

Suara Muhammadiyah

13 March 2024

Tanya Jawab Agama

Hukum Haji Tanpa Maharam Menurut Muhammadiyah Pertanyaan: Apa hukum haji tanpa mahram menurut Muha....

Suara Muhammadiyah

23 January 2025

Tanya Jawab Agama

Shalat Ketika Sakit (Shalatnya Penyandang Stoma) Pertanyaan Assalamu ‘alaikum wr.wb. Saya p....

Suara Muhammadiyah

12 February 2025

Tanya Jawab Agama

Hukum Berhaji dengan Visa Nonhaji, Murūr di Muzdalifah dan Tanāzul di Mina Majelis Tarjih dan Taj....

Suara Muhammadiyah

13 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah