Hadits Seputar Boikot dan Penghinaan kepada Nabi
Oleh: Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni PUTM dan Sekretaris Majelis Tarjih & Tajdid PDM Kab. Pati
Umat Islam global diresahkan kembali dengan insiden penghinaan kepada Nabi melalui kartun olokan oleh majalah Charlie Hebdo, dimana tindakan ini didukung oleh presiden Perancis dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Kecaman hingga seruan pemboikotan produk Perancis adalah beberapa reaksi yang ditunjukan umat Islam. Gerakan boikot yang mempunyai presedennya dalam sejarah Islam era Nabi mempunyai latar belakang sendiri, namun sejatinya boikot adalah bagian dari bidang kehidupan mu’amalah, hubungan sesama manusia, khususnya ekonomi dan bisnis, dimana Nabi mengajarkan prinsip keterbukaan untuk bermu’amalah hingga melakukan jual beli dan berbisnis dengan siapapun meski non-muslim sebagaimana hadits riwayat Al-Bukhari no. 2068 dan 2264 berikut:
حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ قَالَ ذَكَرْنَا عِنْدَ إِبْرَاهِيمَ الرَّهْنَ فِى السَّلَمِ فَقَالَ حَدَّثَنِى الأَسْوَدُ عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها- أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم اشتَرى طعامًا من يَهودِيٍّ إلى أجلٍ ، ورهَنه دِرعًا من حديدٍ (رواه البخاري)
“Telah bercerita pada kami al-A’Masy, kami berbicara tentang gadai dalam jual beli salam (pesanan dengan harga tunai dan barang tidak tunai) di hadapan Ibrahim, lalu ia berkata, telah bercerita padaku al-Aswad dari Aisyah: Nabi Saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan berhutang, lalu beliau menggadaikan baju perang besinya kepada orang tersebut.” (HR. Al-Bukhari)
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِى عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ - رضى الله عنها -زَوْجَ النَّبِىِّ-صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَدَفَعَا إِلَيْهِ رَاحِلَتَيْهِمَا وَوَاعَدَاهُ غَارَ ثَوْرٍ بَعْدَ ثَلَاثِ لَيَالٍ بِرَاحِلَتَيْهِمَا صُبْحَ ثَلَاثٍ (رواه البخاري)
“Telah bercerita pada kami al-Laits dari Uqail, Ibnu Shihab berkata, telah berkabar padaku Urwah bin Zubair bahwa Aisyah istri Nabi Saw berkata: Rasulullah Saw dan Abu Bakar menyewa seorang dari Bani Ad-Dail dari Bani Adi bin Adi sebagai penunjuk jalan, padahal ia ketika itu masih kafir Quraisy. Lalu Nabi dan Abu Bakar menyerahkan unta tunggangannya kepada orang tersebut dan berjanji untuk bertemu di gua Tsaur setelah tiga hari. Lalu orang tersebut pun datang membawa kedua unta tadi pada hari ke tiga pagi-pagi” (HR. Al-Bukhari)
Dua hadits di atas menjelaskan hukum asal mu’amalah dunyawiyah (sosial, politik hingga ekonomi bisnis) dengan non muslim adalah mubah (boleh), maka kita tidak boleh mengatakan haram tanpa ada dalil pengharamannya. Firman Allah SwT:“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (Qs. An-Nahl: 116). Hukum yang asalnya boleh akan menjadi makruh, bahkan haram bilamana terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syariat dan kemaslahatan umat, semisal transaksi jual beli barang dan jasa yang Allah SwT haramkan atau transaksi yang menimbulkan bahaya dan kerusakan.
Melihat deskripsi di atas, lalu bagaimana hukum tindakan boikot produk non muslim yang sebenarnya secara subtansi dzat produk tersebut adalah halal. Apakah ada tinjauan kemaslahatan yang terkoyak sehingga hukum boikot produk tersebut menjadi boleh, bahkan cenderung wajib. Gerakan boikot era Nabi pernah dilakukan oleh Tsumamah bin Utsal seperti dalam riwayat berikut yang terekam oleh Al-Bukhari no. 4372, Muslim no. 1764, an-Nasa’iy no. 189 dan Ahmad no. 9457:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ إِنَّ ثُمَامَةَ بْنَ أُثَالٍ الْحَنَفِىَّ انْطَلَقَ إِلَى نَجْلٍ قَرِيبٍ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا مُحَمَّدُ وَاللَّهِ مَا كَانَ عَلَى الأَرْضِ وَجْهٌ أَبْغَضَ إِلَىَّ مِنْ وَجْهِكَ فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ الْوُجُوهِ كُلِّهَا إِلَىَّ وَإِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنِى وَأَنَا أُرِيدُ الْعُمْرَةَ فَمَاذَا تَرَى فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ، فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ، قَالَ لَهُ قَائِلٌ: صَبَوْتَ، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا وَاللَّهِ لَا يَأْتِيكُمْ مِنْ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري)
“Telah berkabar pada kami Qutaibah, al-Laits dari Sa’id bin Abi Sa’id bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, bahwa Tsumamah bin Utsal al-Hanafi dibawa ke sebatang pohon kurma di samping masjid, ia pun mandi dan masuk masjid kembali, kemudian berkata; “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, demi Allah, dahulu tidak ada wajah di atas bumi ini yang lebih aku benci selain wajahmu, namun sekarang wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai dari pada yang lain, dan demi Allah, dahulu tidak ada agama yang lebih aku benci selain dari agamamu, namun saat ini agamamu menjadi agama yang paling aku cintai di antara yang lain, demi Allah dahulu tidak ada wilayah yang paling aku benci selain tempatmu, namun sekarang ia menjadi wilayah yang paling aku cintai di antara yang lain, sesungguhnya utusanmu telah menangkapku dan aku hendak melaksanakan umrah, bagaimana pendapatmu?” Maka Rasulullah Saw memberinya kabar gembira dan memerintahkannya untuk melakukan umrah, ketika ia sampai di Mekah seseorang berkata kepadanya; “Apakah engkau telah murtad?” Ia menjawab; “Tidak, tetapi aku telah masuk Islam bersama Muhammad Saw, dan demi Allah tidaklah kalian akan mendapatkan gandum dari Yamamah (sampai kepada kaum Quraisy), kecuali mendapatkan izin masuk dari Rasulullah Saw.” (HR. Al-Bukhari)
Penggalan terakhir isi hadits di atas, juga didapati periwayatan bi al-ma’na dalam Fath al –Bari (vol. 8, no. 78), لَا تَأْتِيكُمْ مِنَ الْيَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, “Gandum dari Yamamah tidak akan sampai kepada kalian, kecuali diizinkan oleh Rasulullah Saw.” Hadits ini dijadikan argumen bagi mereka yang melakukan tindakan boikot produk-produk non-muslim berdasar pertimbangan kemaslahatan, salah satunya menjaga jiwa (hifdz nafs) semisal dalam kasus boikot suatu produk dari negara yang melakukan penyerangan terhadap wilayah lain dimana kaum muslim tinggal di dalamnya. Kasus terakhir boikot produk Perancis di negara dimana kaum muslim tinggal, hukumnya dapat berlaku dari level boleh hingga wajib, namun dengan dasar adanya penghinaan (isa’ah) kepada simbol kecintaan dan panutan umat Islam, yaitu baginda Nabi Saw. Meski bersifat temporal dan tidak berdampak pada negara yang diboikot karena kuat secara ekonominya, aksi pilihan memboikot tersebut adalah tindakan keimanan minimal dan usaha terbaik sebagian umat Islam untuk membela agama dan Nabi-Nya.
Penghinaan kepada Nabi Saw.
Dalam Islam, terdapat larangan menggambarkan wujud fisik Nabi sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau. Lalu bagaimana jika non muslim yang melakukannya? Fikih klasik yang berisikan pendapat para ulama (antara lain Malik, ats-Tsauri, Laits bin Saad, Ahmad bin Hanbal, as-Syafi’i) cenderung menyepakati untuk memberikan hukuman mati bagi tersangka setelah dilakukan proses peradilan (Ibnu Mundzir). Salah satu dasarnya adalah hadits berikut dari Ali bin Abi Talib ra. (riwayat Abu Dawud, no. 4362; al-Baihaqy dalam Sunan no. 1375) yang dinilai maqbul kualitasnya oleh para kritikus hadits klasik dan modern (Ibnu Hajar al-Asqalani, Syuaib al-Arnauth dan al-Albani).
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ عَنْ جَرِيرٍ عَنْ مُغِيرَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ يَهُوْدِيَّةً كَانَتْ تَشْتِمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيْهِ، فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فأَبْطَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا (رواه ابو داود)
“Telah bercerita pada kami Usman bin Abi Syaibah dan Abdullah bin Jarrah dari Jarir dari Mughirah dari Sya’bi dari Ali bahwa seorang wanita Yahudi mencela Nabi Saw dan mencaci maki beliau. Lantas seorang laki-laki mencekik (perempuan itu) sampai mati. (Ketika kejadian ini disampaikan kepada) Rasulullah Saw, beliaupun membatalkan (hukuman atas) penumpahan darah wanita Yahudi tersebut.” (HR. Abu Dawud)
Ulama lain yang sepakat itu adalah Ibnu Taimiyah yang hingga mengarang khusus kitab berjudul al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul (artinya Pedang Terhunus untuk Pencela Nabi). Namun ada beberapa pengecualian pendapat seperti Imam as-Subki dalam as-Syaif al-Maslul ‘ala man Syabba ar-Rasul (artinya senada dengan judul kitab Ibnu Taimiyah) dari kalangan Syafi’iyah, yang saat beliau ditunjuk menjadi hakim (qadhi) memberi ampunan dalam kasus penghinaan pada Nabi karena yang bersangkutan bertaubat. Pendapat as-Subki ini berbeda dari umumnya pendapat yang dipegang dalam mazhab Syafi’i.
Namun satu hal yang menjadi catatan, para ulama di atas mengiringi dengan penjelasan bahwa keputusan hukuman had (pidana khusus) ini tidak diterapkan di setiap situasi dan kondisi, termasuk situasi yang terjadi dalam riwayat di atas, yang mana hukuman tersebut diberlakukan saat suatu negeri berada di bawah aturan syariat atau pemerintahan sepakat memberlakukan aturan tersebut, termasuk yang melakukan proses hukum dan eksekusinya adalah pemerintahan melalui proses peradilan.
Hemat Syekh Shalih al-Fauzan, bahwa menghukum mati penghina Nabi Saw bukanlah metode yang tepat, dimana malah akan menambah keburukan dan kemarahan mereka kepada Islam dan muslim. Metode lain yang moderat-tengahan adalah membantah kepada mereka yang memunculkan penghinaan dan syubhat mengenai Nabi Saw. Juga menunjukan akhlakul karimah yang telah diteladankan Nabi Saw sendiri kepada mereka dengan memberi respon dan balasan kebaikan. Membela (Nabi Saw) dengan tangan dan senjata (jihad) adalah hak yang dimiliki oleh pemerintah yang absah melalui perangkat-perangkatnya seperti pasukan militer dan jalur hukum melalui institusi peradilan.
Sebagai muslim tentu kita tidak akan mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah dan Nabi-Nya, salah satunya berkegiatan muamalah dengan non-muslim, dimana tetap bisa kita lakukan dalam bingkai syariat. Adapun tindakan boikot terhadap produk non muslim yang secara faktual oknum di antara mereka menghina junjungan kita Nabi Muhammad Saw dapat disesuaikan berdasarkan tinjauan maslahat dan kehormatan agama kita, jika memang kemaslahatanya rendah, maka tindakan boikot boleh kita lakukan, minimal tidak membeli produk negara tersebut. Sedang hukuman terhadap penghina Nabi, bentuk hukuman had-nya seperti apa, baiknya diserahkan kepada kebijakan pemerintah yang sah melalui proses peradilan, dengan tidak mengambil tindakan main hakim sendiri karena bisa memunculkan kerusakan (madharat) yang lebih besar. Wallahu a’lam bisshawab
Sumber: Majalah SM No 1 Tahun 202