Guru di Ambang Zaman: Refleksi untuk Hari Guru Nasional
Oleh : Joko Riyanto,S.Ag, Guru SMA Muhammadiyah 1 Menggala, Mahasiswa Magister PAI Universitas Muhammadiyah Metro
Profesi guru selalu menempati posisi strategis dalam sejarah pendidikan Indonesia. Sejak masa kolonial, guru telah menjadi pelopor lahirnya kesadaran nasional melalui pendidikan rakyat. Dari sekolah-sekolah bumiputra hingga Taman Siswa, guru berperan sebagai penyampai ilmu sekaligus pembangun karakter dan pemantik perjuangan kemerdekaan. Di ruang-ruang kelas sederhana itulah embrio intelektualitas dan semangat kebangsaan bertumbuh. Guru tampil sebagai motor perubahan sosial yang mengajak masyarakat bangkit dari belenggu penjajahan. Karena itu, sejarah guru Indonesia bukan hanya catatan profesi, tetapi cermin dari perjuangan mencerdaskan bangsa dan membina identitas nasional.
Dalam lingkup Muhammadiyah, posisi guru memperoleh makna yang lebih tajam. Sejak KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, pendidikan menjadi nadi utama gerakan tajdid. Guru Muhammadiyah bukan hanya pendidik, tetapi dai, pembimbing akhlak, dan penggerak kemajuan sosial. Mereka menggabungkan nilai agama, modernitas, dan keberpihakan pada kaum lemah. Dari sekolah-sekolah Muhammadiyah yang lahir pada awal abad ke-20, hadir sosok guru sebagai mutanwir, pencerah yang bertugas menyalakan cahaya ilmu dan iman. Nilai tauhid menjadi landasan, sementara akal sehat dan aksi sosial menjadi metode. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas, tetapi berada di tengah masyarakat, mengajarkan Al-Ma‘un melalui tindakan nyata: memerangi kebodohan, mengentaskan kemiskinan, dan mendekatkan manusia kepada Allah melalui amal shaleh.
Hal ini sebagaimana ditegaskan peran guru secara formal melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Di dalamnya, guru dipahami sebagai tenaga profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Undang-undang tersebut menempatkan profesi guru bukan sebagai pekerjaan teknis, melainkan jabatan moral dan sosial yang menuntut keahlian ilmiah. Empat kompetensi yang wajib dimiliki pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Mencerminkan bahwa guru harus membangun keseimbangan antara kecakapan mengajar, integritas moral dan kemampuan membangun relasi kemasyarakatan. Sertifikat pendidik yang diwajibkan bukan semata simbol formalitas, tetapi bukti bahwa profesi guru membutuhkan standar khusus yang menuntut dedikasi dan pengembangan berkelanjutan.
Namun, realitas menunjukkan bahwa implementasi undang-undang tersebut masih menyisakan persoalan. Profesionalisme sering kali direduksi menjadi administrasi. Guru dibebani tumpukan laporan, perangkat pembelajaran, hingga kewajiban teknis yang justru menggerus waktu untuk mengajar. Pada titik ini, kritik produktif perlu diajukan: bagaimana undang-undang yang hadir untuk meningkatkan mutu guru justru secara tidak langsung menciptakan kesibukan administratif yang menjauhkan guru dari inti profesinya, yaitu mendidik manusia?
Falsafah Guru sebagai Penerus Misi Kenabian
Dalam khazanah Islam klasik, pemikiran Imam al-Ghazali memberikan gambaran ideal tentang sosok guru. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali memandang guru sebagai pewaris nabi, figur yang membimbing manusia menuju kemuliaan akhlak dan kedekatan kepada Tuhan. Guru bukan sekadar transmiter informasi, tetapi pembina jiwa, pendidik akhlak, dan penjaga moralitas umat. Ikhlas, kasih sayang, keteladanan, dan kebijaksanaan adalah sifat-sifat utama yang harus dimiliki guru. Konsep ini menegaskan aspek spiritual profesi guru, bahwa mengajar adalah ibadah, dan setiap tindakan pendidikan adalah bagian dari proses memanusiakan manusia.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan memperkuat pandangan tersebut dengan pendekatan yang lebih praksis. Beliau mengajarkan bahwa guru harus menghadirkan Al-Qur’an dalam realitas sosial, bukan hanya dalam ucapan. Melalui tafsir praksis terhadap Surah Al-Ma’un, guru dipanggil untuk melampaui ruang kelas dan terjun ke medan sosial, memerangi kemiskinan, ketertinggalan dan kejumudan intelektual. Guru adalah reformis yang progresif, rasional dan religius. Dari sinilah lahir karakteristik guru Muhammadiyah yang tidak hanya mengajar, tetapi menggerakkan perubahan sosial.
Gagasan ini makin diperkaya dalam teori Pendidikan Profetik Dr Muhammad Roqib, MAg. Ia menempatkan guru sebagai figur profetik yang menjalankan tiga misi kenabian: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Guru profetik bertugas memanusiakan manusia, membebaskan dari ketertindasan moral-intelektual dan mengarahkan kepada kesadaran ketuhanan. Dengan demikian, guru bukan hanya pengajar, tetapi transformator yang menuntun peserta didik menjadi pribadi merdeka, berakhlak, dan beriman.
Al-Qur’an mengangkat posisi guru melalui gambaran peran Rasul sebagai pendidik. Dalam QS. al-Baqarah : 151,
كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kepadamu), Kami pun mengutus kepadamu seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.”
Allah menjelaskan bahwa Rasul diutus untuk membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan manusia dan mengajarkan Kitab dan Hikmah. Pendidikan dalam perspektif ini bukan sekadar transfer ilmu, tetapi integrasi antara penyucian jiwa dan pengembangan intelektual. Hadis Nabi yang menyatakan bahwa ulama adalah pewaris nabi menempatkan guru dalam posisi sentral sebagai penjaga peradaban dan penuntun moral umat. Dengan demikian, profesi guru memiliki akar teologis yang kuat; ia adalah tugas mulia yang mengandung dimensi ibadah dan dakwah.
Pada Hari Guru Nasional, refleksi ini mengajak kita melihat kondisi guru Indonesia secara lebih jernih. Guru hari ini bekerja dalam situasi yang serba kompleks: tuntutan administrasi semakin tinggi, teknologi berkembang begitu cepat, kurikulum berubah secara periodik, dan masalah sosial di sekitar sekolah semakin rumit. Dalam kondisi demikian, sering muncul paradoks: guru dituntut menjadi profesional, inovatif dan inspiratif, tetapi tidak selalu disertai dukungan sistem yang memadai. Beban administratif sering menenggelamkan kreativitas pedagogik; birokrasi kadang menekan ruang kemanusiaan seorang guru.
Di lingkungan Muhammadiyah sendiri, tantangan tersebut terasa nyata. Sekolah-sekolah Muhammadiyah telah terbukti menjadi pilar pendidikan nasional, namun kualitas guru tetap menjadi faktor penentu keberlanjutan gerakan pencerahan. Kritik produktif perlu diajukan kepada kita semua: apakah sekolah-sekolah Muhammadiyah sudah benar-benar memfasilitasi guru untuk berkembang? Sudahkah kita membangun ekosistem pendidikan yang memerdekakan guru dari sekadar rutinitas administratif? Sudahkah guru diberi ruang untuk menjadi pencerah, pembaru dan penggerak perubahan sebagaimana dicita-citakan KH Ahmad Dahlan?
Kritik ini bukan untuk merendahkan guru, melainkan untuk menghidupkan kembali idealisme profesi. Hari Guru Nasional seharusnya bukan hanya perayaan seremonial, tetapi momentum untuk melakukan otokritik dan pembaruan. Kita harus berani mengakui bahwa sebagian guru masih terjebak pada pola mengajar yang monoton, kurang membaca, kurang berdialog dengan perkembangan zaman dan kadang kehilangan ruh dakwah intelektual yang menjadi ciri Muhammadiyah. Namun kritik ini harus disertai ajakan konstruktif: membangun budaya belajar sepanjang hayat, memperkuat literasi keagamaan dan sains, serta menghidupkan kembali etos menuntun sebagaimana yang diajarkan para pendiri Muhammadiyah.
Pada akhirnya, guru bukan hanya profesi, melainkan panggilan jiwa. Guru adalah pencerah, pembebas, pembentuk karakter dan penuntun spiritual. Dalam bingkai pemikiran profetik, guru menjadi aktor kunci pembangun peradaban. Sejarah bangsa, gerakan Muhammadiyah, pemikiran para ulama, dan regulasi nasional semuanya menempatkan guru pada posisi yang sangat mulia.
Di Hari Guru Nasional ini, kita diingatkan bahwa menjadi guru tidak cukup hanya memenuhi kewajiban administrasi. Guru harus kembali kepada hakikatnya: mendidik manusia dengan ilmu, akhlak dan keteladanan. Kritik produktif yang kita ajukan hari ini semoga menjadi jalan perbaikan, bukan penilaian kosong. Semoga guru-guru kita mampu membuktikan bahwa profesi ini bukan sekadar tugas, tetapi amanah untuk membangun masa depan bangsa.
Selamat Hari Guru Nasional. Semoga guru hari ini dapat menjadi guru sebagaimana guru seharusnya: bukan hanya menjalankan profesi, tetapi menyalakan cahaya bagi kehidupan. (hanan)


