Ayat-Ayat Takdir yang Disalahpami

Publish

10 July 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
265
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ayat-Ayat Takdir yang Disalahpami

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya ingin membahas ayat-ayat yang merujuk pada takdir. Ada beberapa ayat di awal surah Al-Baqarah yang menggambarkan orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Orang munafik berpura-pura menjadi orang beriman, tetapi sebenarnya tidak. Ayat-ayat ini ditafsirkan oleh sementara para penafsir klasik mengajarkan takdir, bahwa Allah menjadikan orang-orang tertentu menjadi kafir dan munafik. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat” (QS 2: 6-7).

Bagaimana ini ayat-ayat ini dikaitkan dengan takdir? Ayat-ayat ini menyatakan bahwa bahwa Allah telah menutup hati orang-orang kafir. Allah telah menempatkan ghisyâwah (tabir) di atas penglihatan mereka. Namun ada yang berpendapat tidak perlu ditafsirkan seperti itu. Secara keseluruhan Allah telah memberikan kehendak bebas kepada manusia untuk memilih percaya atau tidak. Berdasarkan pilihan itulah seseorang akan dihakimi di akhirat. Tidak masuk akal jika Allah tidak memberi pilihan kepada manusia lalu menghukum mereka karena membuat pilihan yang salah.

Jika Allah sudah membuat pilihan untuk seseorang, maka dia akan menjadi orang beriman atau yang lain menjadi orang kafir. Lalu apa artinya Allah telah mengunci hati mereka, sehingga mereka tidak akan percaya? Jika Allah menutup hati mereka agar mereka tidak percaya, itu akan menjadi alasan sempurna bagi mereka. “Ya Allah, Engkaulah yang menutup hatiku” ujar yang tidak percaya kepada Allah. Pada hari kiamat, secara logika mereka seharusnya bebas, tetapi pemahaman yang benar tentang hal ini diperoleh dari ayat-ayat lain dalam Al-Qur`an di mana karat telah menetap di hati orang-orang yang ingkar ini karena apa yang telah mereka perbuat.

Tindakan itulah yang menyebabkan hati berkarat. Ada hal-hal, seperti kita pelajari dari mekanika modern, yang menjadikan sesuatu rusak karena karat seiring waktu. Hati juga menjadi berkarat, namun bukan dalam arti fisik. Metafora ini digunakan bahwa berkaratnya hati karena dosa, pelanggaran, ketidaktaatan kepada Allah. Intinya tiadanya iman. Seiring waktu karat itu menumpuk sehingga hati menjadi terkunci. Jadi orang-orang kafir itu sendiri yang menyebabkan hati mereka terkunci karena konsistensi mereka dalam berbuat dosa.

Terkadang kita tidak memahami sudut pandang Al-Qur`an dengan jelas. Sering kali sudut pandang kita hanya memahami hal-hal fisik, semisal tindakan manusia. Kita tahu apa yang dilakukan manusia, tetapi kita tidak menyadari bahwa Allahlah yang membuat semuanya terjadi. Manusia membuat pilihan, seperti saya memilih untuk bangun dari tempat tidur di pagi hari, tetapi saya tidak bisa memaksa diri saya untuk bangun menurut kepercayaan Muslim. Allahlah yang memberi saya kekuatan untuk bangun dari tempat tidur. Saya hanya berniat dan Allah mewujudkannya.

Dan dari sudut pandang ini, ketika manusia melakukan sesuatu maka sisi lainnya adalah Allah yang mewujudkannya. Tetapi kita tidak boleh melupakan fakta bahwa manusialah yang memilih dan bertanggung jawab atas tindakannya. Tetapi karena kita mungkin lupa bahwa Allah ada di ‘belakang layar’, maka Allah memasukkan pemikiran itu ke dalam pikiran kita. Hal ini boleh jadi mengesankan seolah-olah Allah telah menutup hati orang tersebut dan menjadikannya kafir. Tapi bukan itu yang diajarkan Al-Qur`an. Orang itulah yang menjadikan dirinya sendiri kafir dan menyebabkan hatinya sendiri tertutup. 

Kita harus memahami ini dari kedua sisi mata uang. Satu sisi adalah tindakan manusia, sisi lainnya adalah kekuatan ilahi yang mewujudkan semuanya. Orang menjadi kafir bukan karena rencana ilahi. Rencana ilahi adalah menciptakan manusia dengan cara yang netral dan mengajak mereka untuk menjadi orang beriman yang baik. Tetapi sementara manusia memilih untuk merusak hati mereka sendiri, menyebabkan hati mereka berkarat, dan bahkan menyebabkan hati mereka terkunci.

Begitu pula dengan orang-orang munafik. Mereka sendirilah yang menyebabkan penyakit ini tumbuh di hati mereka. Penyakit ini kian berkembang di hati mereka ketika mereka bertahan dalam tindakan munafik yang mereka perbuat. Mereka sendiri yang menyebabkan dan membesarkan penyakit ini. Tetapi Allah ingin mengingatkan kita bahwa Dia masih memegang kendali penuh atas semua ini. Allah dapat melakukan sesuatu yang berbeda, tetapi Allah membiarkan penyakit itu meningkat karena tindakan orang munafik itu sendiri.

Surah Al-Baqarah ayat 21 berbicara tentang Allah yang menciptakan manusia. Dikatakan semua umat manusia menyembah Allah yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS 2: 21). Istilah la’alla dalam bahasa Arab memberi arti adanya harapan—semoga. Allah menciptakan Anda dan orang-orang sebelum Anda sehingga mudah-mudahan Anda akan selamat. Anda akan berhati-hati dan melakukan hal yang benar dan selamat dari azab Allah. Kira-kira seperti itu.

Al-Qurthubi, salah seorang penafsir klasik, memahami seperti ini. Menurutnya, tidak mungkin Allah menciptakan manusia dengan harapan mereka akan selamat karena Allah sudah memutuskan sebelumnya siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Orang beriman akan selamat dan orang kafir tidak akan selamat. Saya memparafrasekan apa yang dikatakan Al-Qurthubi. Tapi ini pada dasarnya dia beralih ke bagian ayat yang mengatakan “Sembahlah Tuhanmu.”

Di sini Al-Qurthubi menafsirkan bahwa agar Anda selamat maka sembahlah Tuhan Anda. Hematnya Tuhan menciptakan Anda bukan menjadi selamat, karena Tuhan tidak menciptakan beberapa orang untuk menjadi selamat. Melainkan sebaliknya, Tuhan menciptakan beberapa orang dengan sengaja untuk menempatkan mereka di neraka. Itulah kerangka takdir. 

Di sinilah sejumlah ulama mengatakan kita tidak perlu menafsirkannya seperti itu. Mengapa kita harus menafsirkannya demikian? Itu bertentangan dengan semua yang telah kita pelajari tentang agama kita. Bahwa kitalah yang memilih jalan menuju surga atau neraka. Allah memberi kita dua kemungkinan. Dan jika seseorang memilih jalan menuju neraka, bukanlah Tuhan yang menciptakannya untuk memasukkannya ke neraka. Allah menciptakan kita dengan harapan baik bahwa kita akan memilih jalan menuju surga. Dia telah memberi kita kekuatan untuk memilih sehingga kita menggunakannya dengan hati nurani yang baik dan memilih jalan yang menuju surga.

Ini adalah salah satu ayat Al-Qur'an yang disalahpahami. Dan ada banyak ayat-ayat lain dalam Al-Qur`an yang telah ditafsirkan dalam kerangka takdir dan dipaksakan agar sesuai dengan kerangka itu. Kita perlu melepaskannya dari kerangka yang dipaksakan itu. Para mufassir perlu menafsirkannya kembali dan memahaminya sebagai ayat-ayat yang sesuai dengan skema keseluruhan yang menggambarkan Allah sebagai Tuhan yang bijaksana dan adil terhadap semua makhluk-Nya. Wallâhu a’lam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Al-Masih dalam Al-Qur`an dan Tradisi Yahudi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

26 August 2024

Wawasan

Manifestasi Pengalaman Agama Oleh: Prof Dr Syamsul Anwar, MA Manifestasi pengalaman agama ada yang....

Suara Muhammadiyah

14 June 2024

Wawasan

Ancaman terhadap Demokrasi Kita Oleh: Leonita Siwiyanti Baru-baru ini masyarakat dan mahasiswa tur....

Suara Muhammadiyah

27 August 2024

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (26) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

29 February 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Seorang orientalis Barat H.A.R. Gibb dalam bukunya The Wither Islam mengatakan ....

Suara Muhammadiyah

11 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah