Filantropi Ramadhan
Oleh: Dartim Ibnu Rushd/Dosen Fakultas Agama Islam-Universitas Muhammadiyah Surakarta
Bulan Ramadhan telah datang. Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang paling dinanti kedatanganya oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Hadir tulisan inipun sebagai langkah gegap gempita dalam menyambut dan mengisi bulan Ramadhan yang telah datang itu.
Kita harusnya menyambut Bulan Suci Ramadan dengan hati yang bersih, jiwa yang lapang, dan semangat yang tinggi. Kita juga harus memanfaatkan kesempatan yang telah datang ini untuk meningkatkan kualitas diri.
Termasuk memperkuat iman, membangun harmonisasi antar sesama dan memperoleh beragam hikmah yang dapat berdampak baik pada kualitas kehidupan. Bukan justru lalai ataupun terbawa arus ketidaktentuan sebagaimana berita yang menghiasi layar gawai kita.
Bulan ini adalah kesempatan bagi komunitas muslim untuk meningkatkan kualitas diri secara personal maupun sosial. Memperkuat hubungan vertikal dengan Tuhan dan memperoleh hikmah dengan merasakan laparnya penderitaan orang-orang yang tidak beruntung (fakir miskin).
Secara syariat, di bulan Ramadhan adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas diri dengan cara menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Ditambah dengan beragam aktivitas lain seperti berzikir dan beramal shaleh lain. Dengan demikian, kita diharapkan dapat memperkuat moralitas, memperoleh kesabaran, dan memperoleh kebijaksanaan.
Adapun dari sisi spiritualitas dan transedensi, bulan Ramadhan adalah kesempatan bagi kaum muslim untuk memperkuat iman, dengan bersikap hati-hati karena sedang berpuasa (menahan diri) dari yang membatalkan, maupun yang dapat merusak nilai (pahala) puasa itu sendiri.
Pada saat yang sama, bulan Ramadhan ini merupakan kesempatan terbaik (sebagai sarana latihan) untuk meningkatkan kualitas hubungan sosial dengan cara berbagi, berzakat, ataupun berinfak. Dengan demikian semangat memberi dan melayani di bulan ini juga harus ditingkatkan.
Hikmah dari aktivitas berderma di bulan ini diharapkan dapat memperoleh kepekaan sosial dan keharmonisan antar sesama, melatih rasa empati, dan dapat memperoleh nilai kebahagiaan melalui pembiasaan karakter senang berbagi.
Saat berpuasa, kita berlatih merasakan penderitaan orang lain yang tidak cukup makan dan hidup jauh dari kata layak. Keadaan ini biasanya dialami oleh orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan secara sosiologis adalah problem kelangkaan, ketidak-berdayaan dan ketidak-pastiaan yang dialami oleh sebagian umat manusia.
Bulan Ramadhan merupakan bulan untuk berbagi sebagai sarana filantropi sosial. Terutama dari mereka kalangan yang mampu. Tapi terkadang banyak fenomena saking tingginya semangat berbagi ini sampai-sampai setiap tempat dipenuhi dengan banyak makanan. Hingga mengarah pada perilaku mubazir.
Banyak orang menghambur-hamburkan makanan hingga tidak termakan dan akhirnya menjadi terbuang sia-sia. Termasuk fenomena godaan membeli beragam makanan yang sebenarnya tidak perlu yang juga menjadi semakin tinggi. Di satu sisi berkekurangan tapi saat yang sama di sisi yang lain terjadi berlebih-lebihan. Satu fenomena kesenjangan sosial ramadan yang kerap terjadi.
Fenomena ini dulu disebut ta’jil war. Hidup menjadi boros dan tingkat konsumsipun menjadi tinggi. Padahal lebih baik jika makanan itu diberikan kepada yang benar-benar membutuhkan.
Fenomena ini harus menjadi bahan refleksi agar semangat berpuasa dan semangat berbagi di bulan Ramadhan tidak lagi mengarah pada perilaku boros dan mubazir. Maka kita harus menggantinya dengan semangat berfilantropi yang seimbang. Di mana berderma harus disertai managemen (tata kelola) yang baik agar tepat sasaran.
Dalam penyalurannya tepat dan terjadi pemerataan seimbang kepada yang benar-benar berhak menerima. Tidak menumpuk di suatu tempat, ataupun tidak kekurangan di tempat yang lain. Gagasan ini dapat disebut sebagai filantropi ramadan.
Sebenarnya, kita sudah sangat akrab dengan istilah filantropi ini. Istilah ini sering diartikan sebagai tindakan berderma atau memberi atas dasar sukarela dan kedermawanan. Adapun tujuan dari aktivitas ini adalah untuk kepentingan sosial atau publik dan kemanusiaan secara umum.
Mengutip dari Chusnan Jusuf, peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kesos), dalam karya ilmiah berjudul, Filantropi Modern untuk Pembangunan Sosial (2007). Ia menyebutkan terdapat dua bentuk gerakan filantropi berdasarkan sifatnya. Pertama adalah filantropi tradisional, dan kedua adalah filantropi modern.
Filantropi tradisional merupakan filantropi yang berbasis pada rasa belas kasih atau kemanusiaan yang umumnya berbentuk pemberian dari individu untuk kepentingan layanan sosial. Atau bisa dikatakan donasi personal. Oleh karena itu jika ditinjau dari orientasinya, filantropi jenis ini bersifat individual atau perseorangan (personal).
Sementara filantropi modern atau kerap kali disebut sebagai filantropi pembangunan dan keadilan sosial, meminjam istilah Jusuf, merupakan bentuk kedermawanan dari kelompok sosial yang dimaksudkan untuk menjembatani jurang antara kelompok kaya dengan kelompok miskin ataupun antara kelompok penguasa dan tuna kuasa.
Filantropi adalah salah satu modal sosial dan kultural yang penting karena telah menyatu di dalam kultur komunal atau tradisi masyarakat. Di samping juga telah mengakar kuat semenjak lama. Khususnya di dalam masyarakat pedesaan.
Pada masyarakat pedesaan terdapat rasa kepedulian tinggi yang diterapkan dengan sangat baik. Di Jawa misalnya, di sana tumbuh budaya seperti sambatan, gotong-royong, “kenduren” sebagai wujud kepedulian (filantropi) yang paling sederhana dan tidak bisa lepas dari nilai kultural.
Ketika bulan Ramadhan datang harapannya bisa berjalan demikian. Di saat kelompok-kelompok kaya berlebihan dengan segala sumber bahan makanan. Mereka membutuhkan kelompok-kelompok penyalur yang tepat agar ragam kelebihan yang dimiliki kelompok kuat itu dapat dirasakan oleh kelompok lemah. Sehingga mereka terhindar dari kemubaziran dan pemborosan.
Dan Ramadhan sebagai bulan untuk merasakan penderitaan orang lain dapat mengerakkan kita agar lebih perduli melalui berderma kepada kelompok fakir dan miskin. Sedangkan pada saat yang sama kelompok lemah ini dapat merasakan kecukupan. Bahkan mereka bisa mendapatkan modal usaha untuk mengubah status lemah mereka.