Banten, Jawara dan Muhammadiyah

Publish

1 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
739
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Banten, Jawara dan Muhammadiyah

Oleh: Saidun Derani

Diskusi “Dakwah Kultural” dikaitkan dengan strategi supaya rakyat Banten khususnya rakyat akar rumputnya, mau ikut terlibat dalam kegiatan dan aktivitas Muhammadiyah di “Bumi Jawara” di Group Info PWM Banten Rabu, 24 April 2024, mendapat respons yang positif dan melibatkan Dr. H. Desri Arwen, Wakil Akademis Rektor UMT dan Ketua Pimpinan PWM Banten, disebut Team elite Banten yang 15 periode 2022-2027, Dr. Farid Hamzen, seorang dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, ahli tentang Lingkungan Hidup Kesehatan Masyarakat, Saidun Derani, seorang Kyai Kampung, dan Kyai Mabrur, Ketua PDM Kab. Serang.

 Dikatakan menarik yang penulis sebut dengan istilah “mendapat respons yang positif” dari internal elite PWM Banten mengindikasikan bahwa masalah ini begitu penting dilihat dari perjalanan Muhammadiyah di Provinsi Banten yang sudah mengalami umur yang cukup panjang pra dan pasaca kemerdekaan NKRI dan berdiri wilayah Banten sebagai sebuah Provinsi yang berdaulat. Hanya saja sayang anggota Majelis Tabligh PWM Banten tidak melibatkan diri dalam diskusi itu. 

Hasil studi selama satu tahun meneliti dan menulis “Sejarah Muhammadiyah Provinsi Banten” terbitan tahun 2023 oleh Saidun Derani, dkk., sejak diperkenalkan pertama kali cara berpikir  agama berkemajuan dibawa KH. Abdul Haq tahun 1920 dan resmi berdiri Cabang Muhammadiyah di Banten secara administrative tahun 1929 tepatnya di Desa Kubangkondang, Cisata, Menes, Pandeglang. 

Artinya dilihat dari perspketif kurun ini kehadiran Muhammadiyah di Bumi Jawara sudah berumur 104 tahun atau 98 tahun. Sangat dewasa dan karena dewasa bahkan cendrung berumur “lansia” maka jelas sudah banyak makan asam garam dalam lika liku menjalankannya, pahit getir, mana onak dan duri sangat  dipahami dengan baik.

Yang dimaksud dengan “sangat dipahami dengan baik” adalah bahwa para elite Muhammadiyah wabil khusus pengurus PWM Banten yang sudah mendapat amanah Muscab, Musda, dan Muswil, dengan memakai kaca mata SWOT (Kekepan: Kekuatan, Kelemahan, dan peluang) what, where, when, who, why dan how-nya tentang karakter rakyat Banten “hatam” menelaahnya ke mana trend perubahan sekarang dan ke arah mana perubahan itu tahun-tahun mendatang.

Demikianlah, dalam konteks ini meminjam istilah Dr. Farid Hamzen, kudu ada mapping, kudu ada kluster model dakwah yang berbeda antara satu lingkungan masyarakat dengan tingkat budaya yang dimilikinya dengan lingkungan masyarakat yang lain. Penulis mengambil contoh lingkungan masyarakat Kodya Tangerang Selatan dengan lingkungan masyarakat Lebak dan Pandeglang. 

Tangsel dengan budaya mobilnya, terbuka, prakmatis dan cendrung capitalism, cepat menerima perubahan, dan menjadi pusat perubahan sosial ekonomi, tentu tidak lah sama strategi dakwah dengan lingkungan masyarakat kedua yang terakhir  di atas masih bersifat guyub, bersahaja, lambat, patron client, serta budaya petani (tertutup) karena sangat lambat menerim atau merespons perubahan sosial (social movement).

Tentulah hal-hal perbedaan ini menjadi perhatian ketika ingin mengadakan sebuah penetrasi keyakinan dan mensosialisasikan paham dan pemikiran kepada sebuah masyarakat yang memang sudah memiliki akar budaya dan tradisi yng mengakar kuat. Pengawetan budaya dan tradisi dapat disaksikan misalnya tabur bunga, ziarah makam, tujuh bulanan, empat bulanan, dan seterusnya yang semua itu konteksnya untuk integrasi masyarakat.

Penulis ingin memberi contoh sebuah pengawetan tradisi di masyarakat muslim Indonesia dan umumnya muslim di Banten adalah tradisi tahlilan. Mengutip pendapat Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Syahid Jakarta dua kali dan sekarang Rektor Universitas Islam International Indonesia (UIII) menyebutkan bahwa mengapa masyarakat ikut dan mengadakan tahlilan menurutnya bukan karena takut kepada Tuhan akan tetapi lebih takut kepada sanksi sosial.

Dalam konteks ini ada kasus yang langsung penulis temukan bahwa seorang mahasiswa penulis mengadukan masalah ini. Orang tuanya meninggal dunia yang pertama bapaknya dan kemudian menyusul dua bulan kemudian ibunya. Untuk acara tahlillan pertamna saja sudah membutuhkan fasilitas lumayan sehingga ketika acara tahlilan kedua mengalami masalah dalam hal fasilitas ini. 

Ketika hal itu ditanyakan kepada penulis bahwa tidak ada kewajiban untuk mengadakan sebuah acara tahlilan pasca orang tua meninggal dunia. Dan tidak diharamkan pula untuk mengadakan acara semacam itu sejauh tidak melanggar ketentuan syara’ yaitu memakan harta anak yatim dalam kegiatan tersebut. 

Dalam hubungan inilah pentingnya memahami hal-hal semacam itu ketika seorang pendakwah dan pekerja sosial ingin mengajak sebuah masyarakat apalagi masyarakat akar rumput dan itu berlaku di mana saja. Tidak terkecuali di masyakarakat perkotaan yang umumnya strukturnya terdiri dari kelas bawah, menengah dan atas.

Banten

Banten adalah kota tua dan memiliki sejarah yang panjang dengan berbagai budaya masyarakatnya terutama di ibu kota provinsi, Serang. Multi etnis dan keyakinan salah satunya adalah penganut Nasrani sebagai peninggalan penjajah Belanda. 

Sejauh studi yang dilakukan berbagai para ahli bahwa Banten memiliki beragam budaya yang tidak sama karena faktor campuran Sunda dan Jawa-agak mirip kota Cirebon- selain masalah infrastruktur dan latar belakang sejarah yang membentuknya.

Penulis ingin memberi contoh dari 5 Kabupaten dan  3 kodya memiliki Tingkat kemajuan yang berbeda baik dari aspek pendidikan, ekonomi,  serta struktur masyarakatnya. Tangerang Raya dan Cilegon dikenal masyarakat industrinya. Sedangkan Serang, Kota dan Kabupaten, Lebak serta Pandeglang, masih kuat budaya agraris dan bersahaja. Dalam konteks budaya agraris ini peranan tokoh informal cukup signfikan dan terkadang menentukan. 

Dengan kata lain, sangat salah dan tak pas jika mengadakan dakwah menyamakan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain wabil khusus tentang strategi dan metodenya. Barangkali inilah pentingnya penerapan sains dalam melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat bukan hanya “sekadar keinginan” dan formalitas berdakwah akan tetapi ada proses ilmu yang diterapkan.

Para sejarawan menyebutkan bahwa Banten adalah sebuah  wilayah unik  dan dibentuk dengan darah para ulama dan pejuang Islam. Selain itu kerap terjadi pemberontakan ingin melepaskan diri dari keterjajahan. Dan sikap mandiri dan ingin berdaulat ini sampai sekarang masih terlihat dalam pergaulan sehari-hari masyarakatnya. Sebab itu lahir fiqh ulama Banten awalnya mengharamkan perempuan menjadi pemimpin publik  sepeti Camat, Bupati, Kades, Lurah, Bupati dan Gubernur.

Sebagai sebuah kerajaan tentu Banten memiliki kepemimpinan formal seperti raja yang menjadi rujukan masyarakatnya. Dan Islam menjadi perekat dan orientasi kehidupan pada raja dan masyarakatnya. Bahkan ada raja Banten sebagai pemimpin politik dan sekaligus pemimpin agama seperti Sultan Ageng Tirtayasa (w. 1692).

Sejak Belanda masuk ke Banten Islam yang menjadi spirit perlawanan rakyat terhadap penjajah. Dari berbagai perlawanan yang dilakukan rakyat, pemberontakan Banten tahun 1888 adalah perlawanan rakyat paling fenomenal dan sangat ditakuti Belanda sehingga para tokoh Islam (Ulama) yang menjadi pelopornya dibuang ke berbagai wilayah Nusantara (lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani banten 1888, terbitan tahun 1984). Jadilah Islam sebagai perekat budaya dan tradisi masyarakat sampai Kerajaan Banten dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda  (1808-1811) Herman Willem Daendels. 

Dengan dibubarkan Banten sebagai sebuah entitas kesultanan maka rakyat Banten kehilangan tokoh politik formalnya sehingga terjadi cheos di tengah masyarakat. Satu-satunya tempat masyarakat berlindung dan mengadu keluhan dan kesusahanya adalah kepada para tokoh agama. Berawal dari kondisi semacam inilah sebenarnya mengapa Islam dan kepeminpinan tokoh agama menempatkan posisi sentral di tengah masyarakat Banten sampai sekarang. 

Jawara 

Ada sebuah studi dilakukan mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syahid Jakarta  Fahmi Irfani dengan judul “Jawara Banten: Kajian Sosial Politik dan Budaya”, terbitan tahun 2011, yang menelaah bagaimana proses lahirnya kelompok Jawara yang sampai sekarang masih tetap eksis sebagai tokoh informal masyarakat di Banten.

Dikisahkan bahwa sejak awal kedudukan ulama memang sangat kuat dan memiliki hirarki sosial yang cukup signifikan dalam struktur masyarakat Banten. Hal ini disebabkan posisi ulama adalah perpanjangan tangan dari sultan atau raja dalam proses islamisasi di wilayah pedesaan yang mendorong lahirnya lembaga pendidikan Islam berupan pondok pesantren.

Di pondok inilah ulama yang di masyarakat bergelar Kyai selain tokoh agama akan tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang kharismatik sehingga wibawanya terkadang melebihi pemimpin elit formal pemerintahan. Wibawa dan kedudukan ini terus berlangsung sungguhpun kesultanan sudah dihapus Daendels tahun 1808. Para Kyai inilah pelopor perlawanan rakyat Banten terhadap penjajahan Hindia Belanda seperti sudah penulis sebutkan di atas.

Studi MA. Tihami di Uiversitas Indonesia tahun 1992 menyebutkan bahwa Banten sebagai daerah kyai dikenal juga sebagai tempatnya para jawara, di mana santri dan jawara adalah muridnya kyai. Perbedaan kedua murid kyai ini adalah terletak pada menekuni bidang ilmu garapannya. Kalau Jawara kepada olah fisik  dan batin, sedangkan santri menekuni ngaji kitab.

Akibat proses ini ada anggapan umum masyarakat Indonesia bahwa sebagian rakyat Banten memiliki watak keras dan tutur bahasa yang kasar. Bahkan ada pendapat yang menyebutkan kalau orang Banten selalu dikaitkan dengan sifat keberanian, kekuatan fisik, menguasai ilmu magis ataupun mistik, patuh kepada kyai dan hal-hal lainnya yang mengindikasikan kepribadian jawara (Tihami, Kyai dan Jawara di Banten Studi tentang Agama, Magis, dan Kepemimpinan di Pasangrahan Serang, Banten, 1992).

Munculnya jawara sebagai sebuah komunitas dan menjadi salah satu kepemimpinan informal masyarakat Banten ada banyak pendapat menyebutkannya. Akan tetapi jika ditelusuri berbagai pendapat itu mengacu kepada satu tujua awalnya adalah menjaga gurunya baik ketika melakukan proses islamisasi (mendakwahkan Islam) di berbagai wilayah pedesaan dan ikut melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Berawal dari kondisi semacam inilah peran jawara semakin menonjol dengan ketrampilan fisik dan kemampuan bela diri yang mumpuni dengan dibekali olah batin semakin melahirkan pengakuan masyarakat lokal terutama di pedesaan akan eksisitas jawar ini. Dan sampai sekarang pengakuan itu masih hidup di tengah-tengah masyarakat Banten.

Hanya saja kata Fahmi sekarang ini bahwa ada istilah jawara hitam dan jawara putih. Yang dimaksud dengan jawara putih adalah kehidupannya tetap masih memegang ajaran dan petuah para gurunya (kyai) untuk selalu berbuat kebajikan dan membela masyarakat tertindas. Sedangkan jawara hitam ada kecendrungan kehidupan lebih berorientasi dunia dan sangat tergantung kepada siapa yang “membayarnya”.

Dari penuturan di atas penulis ingin mengatakan bahwa senang atau tidak ternyata kelompok kyai dan jawara ini bagi rakyat Banten masih eksis dan menjadi tokoh informal yang disegani rakyat. Dalam konteks inilah penting memperhatikan masalah-masalah ini dan tidak bisa diabaikan ketika kelompok lain ingin menyampaikan pesan agama apalagi dalam kontestasi Pilkada dan Pilpres. Tokoh informal semacam ini, kyai dan jawara, memainkan peran penting di tengah masyarakat Banten.

Muhammadiyah

Bukankah Persyarikatan Muhammadiyah yang resmi berdiri tahun 1912 sebagai sebuah organisasi masyarakat Islam yang mendefisikan dirinya bergerak dalam bidang  sosial keagamaan dan Tajdid di Indonesia sejak awal kehadirannya menurut Ahmad Syafii Ma’arif (w. 2022), mantan Ketum PP 1998-2005 bergelar Bapak Bangsa, untuk melayani dan mencerdaskan rakyat dalam konteks supremasi sivil yang berkeadilan. 

Hal ini terkait dengan Islam yang diturunkan di bumi ini untuk membebaskan kaum tertindas (mustadh’afin), mengangkat derajat orang-orang yang kalah (miskin iman dan ilmu serta miskin asset), melepaskan umat manusia dari hegemoni tradisi dan sistem yang membelenggu (liberation theology). 

Dalam konteks mengangkat harkat dan martabat ummat  inilah dalam tubuh organisasi Muhammadiyah dibentuk berbagai majelis dan lembaga yang bersifat terstruktur untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, seperti Majelis Tarjih dan Tajdid, Dikdasmmen,  Pendidikan Kader, Tabligh, Pelayanan Kesehatan Umum, Pelayanan Sosial, Ekonomi dan Kewirausahaan, Pemberdayaan Wakaf, Pemberdayaan Masyarakat, Hukum dan HAM, Lingkungan Hidup serta Majelis Pustaka dan Informasi.

Sebagai gerakan sosial keagamaan, Persyarikatan Muhammadiyah begitu penting melayani rakyat, baik dalam arti kebutuhan anggotanya dan lebih jauh mengajak rakyat Indonesia untuk menjadi manusia yang baik dan benar dalam konteks berbangsa dan bernegara. Titah Tuhan dalam surat Ali Imran, ayat 104, dimaknai sebuah kewajiban kolektif terorganisir mengajak orang ke jalan kebaikan Tuhan dengan cara santun, berdiskusi, dan hikmah merupakan ikon persyarikatan ini. 

Demikianlah, Muhammadiyah telah memberi kontribusi yang sangat besar bagi  kemajuan Indonesia sejak  lahir sampai sekarang yang terlihat pada amal usaha terus ada peningkatan dan para tokohnya berkiprah di tengah rakyat Indonesia, baik pada rakyat akar rumput maupun nasional. Dan tidak terkecuali dalam hal ini kontribusi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Banten sudah ikut berpartisipasi melayani dan mengangkat derajat rakyat dalam batas-batas kemampuanannya terutama dalam bidang pendidikan (baca Sejarah Muhammadiyah Provinsi Banten terbitan tahun 2023). 

Hanya saja masalahnya dengan usia yang sudah demikian “lansia” gerak langkah Muhammadiyah di mayarakat akar rumput di Banten belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Hal ini dapat diketahui dari pembicaraan dengan pengurus cabang Muhammadiyah (PCM) yang ada ada dan terkesan Muhammadiyah itu “musuh” yang harus dijauhkan atau bahkan diharamkan.

Selain itu indikasikan ini terlihat begitu berat masyarakat Banten menyekolahkan anak-anak mereka di lembnaga-lembaga pendidikan yang bermerek nama Muhammadiyah  sehingga kuat asumsi bahwa Muhammadiyah belum mengakar kuat di masyarakat Banten secara fisik dan kebatinan.

Informasi ini juga perlu dikemukakan di sni bahwa ketika bersilaturrahim ke rumah mantan Ketua Muhammadiyah PWM Banten periode 2000-2015, KH. Hassan Alaydrus sebelum Ramadhan 1445 H, beliau sangat menyayangkan kepemimpinan Muhammadiyah sekarang tidak dekat-bahasa beliau tidak merangkul- terhadap  kedua kelompok kepemimpinan informal masyarakat Banten di atas. Malahan ada salah seorang Pimpinan PWM Banten tak mengenal dengan baik ketika penulis tanya siapa Abuya Muhtadi Cidahu, tokoh agama kharismatik Pandeglang.

Infromasi lain penulis terima langsung dalam bermasyarakat ini di Mesir misalnya berdasarkan penuturan Prof. Dr. Nabilah Lubis menyebutkan bahwa elite formal masyarakat setempat biasanya selalu mengikutsertakan tokoh informal ini dalam membicarakan tentang tertib dan kemajuan wilayahnya. Begitu juga setiap Nagari di Sumatera Barat (Sumbar) selalu mengundang kelompok informal di wilayahnya ketika membicarakan masalah-masalah kenagariannya. 

Hal-hal yang penulis sampaikan di atas adalah persoalan-persoalan strategi dan metode ketika ingin mensosialisasikan Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat Banten dengan budaya dan tradisi yang sudah mengakar kuat di masyarakatnya. 

Tentulah harapan penulis dengan merangkul dan berteman terhadap kedua kelompok kepemimpinan informal masyarakat Banten tersebut diharapkan sekurang-kurangnya dapat menghilangkan dan menghapus kesan  “musuh” terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi sesama Islam. Harapan lebih jauh dapat mengajak masyarakat Banten akar rumput aktif di persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam konteks inilah seringkali dalam obrolan ringan penulis dengan para aktivis Muhammadiyah harus membedakan mana yang substantif (nilai-nilai fundademental Islam) dan mana pula nilai-nilai instrument. Semua ini membutuhkan duduk bersama ketika membumikan Muhammadiyah di “Bumi Jawara”. 

Allah a’lam bi-Shawab

Penulis adalah aktivis PWM Banten dan dosen pascasarjana UM-Surby dan UM-Tangerang.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ramadhan dan Normalisasi Polarisasi Politik Akhmad Khairudin, M.B.A., Majelis Ekonomi PCM Turi Pem....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Wawasan

Melangkah dengan Sabar Oleh: Fathan Faris Saputro Keberhasilan dan kesuksesan dalam hidup tidak se....

Suara Muhammadiyah

24 January 2024

Wawasan

Pelajari Bahasa Arab untuk Memahami Al-Qur`an  Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya....

Suara Muhammadiyah

7 June 2024

Wawasan

Memaknai Sumpah Pemuda dan Refleksi Milad 58 Kokam Oleh: Badru Rohman Pemuda dalam lintas sejarah ....

Suara Muhammadiyah

4 October 2023

Wawasan

Menilai Kualitas Ketakwaan Selepas Ramadhan Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang ....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah