Jangan Tertipu oleh Perasaan Sendiri

Publish

11 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
136
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Jangan Tertipu oleh Perasaan Sendiri

Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta 

Sering kali manusia tidak menyadari bahwa musuh terbesar bukanlah orang lain, melainkan dirinya sendiri. Musuh itu bersemayam dalam hati, dalam bentuk perasaan yang memperdaya, yang membuat seseorang merasa paling benar, paling hebat, paling unggul dari yang lain. Padahal, bisa jadi semua itu hanya bayangan semu yang tak berakar pada kenyataan. Dalam bahasa agama, keadaan seperti ini disebut ghurur yaitu tertipu oleh perasaan dalam diri sendiri.

Ghurur bukan sekadar ilusi psikologis, tapi juga penyakit hati yang halus dan sulit disadari. Orang yang terkena ghurur merasa bahwa dirinya memiliki banyak kelebihan: kepintaran, kekayaan, kedudukan, bahkan kebaikan. Tapi alih-alih menjadikannya bersyukur dan rendah hati, perasaan ini justru menumbuhkan ujub yaitu kekaguman pada diri sendiri yang perlahan-lahan akan melahirkan sikap meremehkan orang lain.

Ia (Iblis) berkata, "Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah." (Al-A’raf [7]: 12)

Ayat ini menggambarkan dengan jelas bagaimana ghurur bekerja: Iblis merasa dirinya lebih unggul karena asal penciptaannya, lalu ia terjerumus dalam kekaguman terhadap dirinya sendiri dan merendahkan Adam. Ini bukan hanya bentuk kesombongan, tetapi juga penolakan terhadap kebenaran karena tertipu oleh persepsi keunggulan diri.

Rasulullah SaW telah memperingatkan kita akan bahaya penyakit hati ini. Dalam sebuah hadits, beliau bersabda:

"Tiga perkara yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri."

(HR. Thabrani)

Perasaan kagum terhadap diri sendiri adalah pangkal dari keangkuhan. Dan keangkuhan adalah pintu masuk bagi kebinasaan moral dan spiritual.

Salah satu ciri orang yang tertipu oleh dirinya sendiri adalah tidak mampu membedakan antara kenyataan dan perasaannya. Ia merasa lebih tahu dari yang lain, padahal tidak pernah belajar lebih dalam. Ia merasa paling dermawan, padahal sekedar memberi sisa, bukan dari yang terbaik. Ia merasa paling taat beribadah, padahal niatnya bukan karena Allah SwT, melainkan karena ingin dipuji manusia.

Kita hidup di zaman yang menekankan pencitraan. Segalanya tampak luar biasa di media sosial, namun rapuh di dunia nyata. Orang bisa merasa dirinya penting hanya karena mendapatkan banyak "like" atau pujian, padahal itu tak selalu mencerminkan nilai sejati dalam dirinya.

Maka penting bagi setiap insan untuk senantiasa melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Apakah yang kita rasakan benar-benar berdasarkan realita, atau hanya perasaan yang membesar-besarkan diri?

Ghurur menjadikan seseorang kehilangan objektivitas. Ia menilai orang lain dengan ukuran sempit, tapi membesarkan dirinya dengan standar yang longgar. Ia tak lagi peka terhadap kesalahan sendiri, tapi cepat menghakimi kekurangan orang lain. Ia merasa bahwa dirinya telah melakukan banyak kebaikan, dan merasa pantas mendapatkan tempat istimewa di hadapan Tuhan maupun manusia.

Padahal, dalam pandangan Allah SwT, kemuliaan tidak diukur dari status, harta, atau seberapa banyak pujian yang diterima. Kemuliaan hanya ada pada ketakwaan yang tersembunyi di dalam hati. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13:

"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."

Betapa banyak orang tertipu oleh amalnya sendiri. Ia merasa cukup dengan ibadah yang ia lakukan, lalu lupa bahwa yang menjadikannya mampu beribadah adalah karunia Allah, bukan karena kekuatan pribadinya.

Ghurur sejatinya merupakan bentuk kepalsuan dalam hidup dan perilaku. Ia membungkus kenyataan dengan ilusi, memperlihatkan seolah-olah seseorang berada di puncak keunggulan, padahal hanya berdiri di atas bayang-bayang. Orang yang tertipu oleh perasaannya akan menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan kenyataan batinnya menampakkan kesalehan padahal hatinya jauh dari keikhlasan, menonjolkan prestasi yang dibesar-besarkan, atau berbicara tentang kebaikan namun hatinya dipenuhi kesombongan. Ghurur mengajarkan manusia untuk hidup dalam kepalsuan, menjauhkan mereka dari kejujuran diri dan merusak relasi sosial karena membangun citra yang palsu dan tidak autentik. Inilah mengapa ghurur sangat berbahaya: ia menciptakan jarak antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama, bahkan dengan Tuhannya.

Fenomena ghurur juga kerap muncul dalam dunia pendidikan dan dakwah. Seorang pelajar yang merasa dirinya paling cerdas bisa kehilangan semangat belajar karena merasa sudah tahu segalanya. Seorang dai yang merasa ceramahnya paling menyentuh bisa kehilangan keikhlasan karena ingin dielu-elukan. 

Ibnu Qudamah menjelaskan bagaimana ghurur ini menimpa orang-orang yang berilmu. Di antara mereka ada orang-orang yang menekuni ilmu syar’i akan tetapi mereka melalaikan pengawasan terhadap amal anggota badan mereka dan penjagaan dari perbuatan-perbuatan maksiat, serta lalai untuk menekan diri mereka agar senantiasa taat. Mereka tertipu dengan ilmu yang ada pada mereka sehingga mereka menyangka bahwa mereka punya tempat di sisi Allah.

Padahal, ilmu yang sejati justru melahirkan kerendahan hati. Semakin seseorang memahami ilmunya, semakin ia sadar bahwa masih banyak yang tidak ia ketahui. Semakin dalam keimanannya, semakin besar rasa takutnya kepada Allah SwT. Karena ia tahu, betapa kecil dirinya di hadapan kebesaran Tuhan.

Ghurur dalam dakwah bisa sangat berbahaya. Ketika seorang pendakwah merasa bahwa hanya pendapatnya yang benar dan menolak untuk mendengarkan kritik atau saran, maka dakwahnya menjadi kering dan jauh dari hikmah. Padahal Allah SwT memerintahkan dakwah dengan cara yang bijaksana:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…" (An-Nahl [16]: 125)

Lawan dari ghurur adalah tawadhu’ atau rendah hati. Seseorang yang tawadhu’ menyadari bahwa semua yang dimilikinya adalah amanah, bukan untuk dibanggakan, apalagi dijadikan alat untuk merendahkan orang lain. Ia senantiasa mawas diri dan berprasangka baik terhadap sesama.

"Dan rendahkan dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu." (Asy-Syu'ara [26]: 215)

Ayat ini mengajarkan tentang sikap rendah hati dan tidak menyombongkan diri di hadapan orang lain, terutama orang-orang yang beriman. Allah SwT memerintahkan agar kita merendahkan hati, tidak merasa lebih tinggi atau lebih mulia dari orang lain, serta tidak membanggakan diri atas apa yang telah dimiliki. Tawadhu' adalah pengakuan bahwa segala kelebihan yang dimiliki adalah amanah dari Allah SwT yang harus disyukuri dan digunakan untuk kebaikan, bukan untuk merendahkan orang lain.

Orang yang tidak tertipu oleh perasaannya akan lebih bijaksana dalam bersikap, lebih lapang dalam menerima nasihat, dan lebih bersyukur atas apapun yang ia miliki. Ia tidak membandingkan dirinya dengan orang lain dalam urusan dunia, tetapi dalam urusan akhirat.

Hidup ini singkat, dan setiap manusia pasti akan kembali kepada-Nya. Maka tidak ada gunanya membanggakan apa yang sebenarnya hanya titipan. Ilmu bisa hilang, harta bisa lenyap, kedudukan bisa tergantikan. Yang abadi hanyalah amal shaleh yang ikhlas karena Allah SwT.

Mari kita jaga hati kita dari ghurur yang menipu. Jangan sampai kita merasa telah cukup, padahal masih sangat kurang. Jangan merasa tinggi, padahal hakikatnya hanya diberi sedikit kelebihan oleh-Nya.

Dan jangan pernah lelah untuk memperbaiki diri. Karena Allah tidak melihat rupa dan jabatan kita, tapi Allah SwT melihat hati dan amal kita.

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian."

(HR. Muslim)

Semoga kita semua senantiasa diberi keikhlasan dan dijauhkan dari perasaan yang menipu diri. Menjadi insan yang sadar akan kelemahan diri, namun tetap semangat memperbaiki dan melayani sesama dengan rendah hati.

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Gerakan IMM dalam Lintasan Peradaban (1) Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Dosen Perbankan Syariah, Unive....

Suara Muhammadiyah

8 May 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Bagaimana seharusnya kita mensy....

Suara Muhammadiyah

11 September 2024

Wawasan

Oleh: Firmansyah, Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah/Aktivis Aliansi Serikat Pekerj....

Suara Muhammadiyah

17 April 2025

Wawasan

Wanita sebagai Saksi: Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universi....

Suara Muhammadiyah

14 August 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Kapan kemenangan dari Allah akan datang? Banyak orang yang mengajukan pertanyaa....

Suara Muhammadiyah

13 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah