Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko
LPCRPM PPM Bidang Pemberdayaan Ekonomi
Menyimak acara seminar via zoom pada hari Kamis 22 Februari 2024 pkl 09.00 wib dengan topik : “Pertemuan Focus Group Discussion Penyusunan Fakta Beban dan Cost Benefit Analysis Pengendalian Resistensi Antimikroba Untuk Pengembangan Kebijakan”, memberikan fakta bahwa yang menarik bagi saya sebagai bahan tulisan.
Narasumber pertama memiliki cara pandang segmented, sektoral, dan sempit seringkasnya demikian; Banyak pasien penderita infeksi bakterial yang gagal disembuhkan, meskipun sudah ditangani dengan cara terbaik tapi gagal disembuhkan. Singkat cerita karena terjadi AMR (Anti Mrikrobial Resisten), sampai disitu saya manggut manggut tanda bersepakat. Tetapi ketika melacak faktor penyebab munculnya masalah, seperti dipaksakan dengan membuat narasi negatif yang menyudutkan sektor perunggasan.
Saya sebagai Poultry Consultant terpancing dan langsung mendebatnya. Kesalahan mindset dari seorang publick figure berpotensi menyesatkan opini masyarakat, harus dicegah, karena selain menyebabkan pencegahan AMR gagal, juga berdampak menyebabkan produk telur dan daging tidak laku, merugikan peternak, menyebabkan pedagang UMKM bangkrut, mengakibatkan kerugian besar serta menimbulkan gejolak sosial ekonomi berantai yang semakin meluas dan dalam.
Belum selesai menangkis tuduhan pada sektor perunggasan, muncul pendapat dari salah satu peserta rapat yang menyampaikan dugaan mungkin disebabkan karena belum ada aturan penggunaan obat hewan. Padahal faktanya aturan penggunaan obat hewan oleh kementrian pertanian khususnya pada Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan sudah ada dan komplit.
Dengan peristiwa tersebut membuat saya berpikir apa yang bisa dihasilkan dari pertemuan tersebut, jika bahan yang terkumpul untuk menyusun program dan pengembangan kebijakan itu berdasarkan dugaan dan kira kira. Kenapa terkesan ingin menyudutkan sektor perunggasan, saya menjadi curiga, apakah sedang mencari kambing hitam penyebab terjadinya AMR pada manusia, atau ada kepentingan lain dari pihak tertentu dan bukan untuk kepentingan kesejahteraan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Paparan selanjutnya mirip promosi kecanggihan tehnologi kandang tipe closed house pada breeding farm milik perusahaan integrator. Lumayan buat refreshing pameran teknologi, sanitasi dan hygiene. Tetapi bukankah Breeding Farm itu memproduksi telur Hatching Egg untuk kebutuhan hatchery ditetaskan menjadi DOC layer atau DOC broiler, dan bukan produk yang dikonsumsi oleh manusia, sehingga menurut saya presentasi materinya kurang nyambung dengan topik pembahasan.
Apabila dipaksakan, bisa menggiring opini dari pemegang regulasi pada persepsi yang keliru bahwa “untuk produksi telur dan daging ayam yang Aman Sehat Utuh dan Halal dan bebas residu antibiotic harus menggunakan kandang mahal seperti yang di pamerkan”. Dengan demikian maka kebijakan ekonomi berpihak pada kepentingan pabrik closed house, atau pemodal besar lainnya, bukankah pemerintah seharusnya juga menyusun program untuk kesejahteraan peternakan rakyat dan peternak mandiri?
Belum selesai merenungkan terkait kandang closed house tersebut, muncul paparan narasumber dari perusahaan obat hewan terkenal (narasumber bukan dokter hewan), dengan antusias seperti wiraniaga pada pameran mobil, bedanya narasumber pada seminar tersebut melakukan pameran penggunaan berbagai macam jenis antibiotik pada peternakan unggas.
Hari itu menjadi catatan penting, bahwa cara berfikir para ahli, keinginan integrator dan perusahaan obat belum tentu sesuai kepentingan peternak rakyat mandiri. Maka dengan semangat QS Al-Maun, saya tetap konsisten bekerja “Untuk Kesehatan Unggas, Kepentingan Peternak Dan Kesejahteraan Masyarakat”, memenuhi janji sumpah profesi sebagai wujud tanggung jawabku pada Mu.. Illahi Rabbi.