Bukan Perang Tanpa Batas

Publish

1 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
50
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Bukan Perang Tanpa Batas

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Dalam samudra luas teks-teks suci, beberapa ayat kerap kali menjadi badai kontroversi, memicu perdebatan sengit dan kesalahpahaman yang mendalam. Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, tak luput dari fenomena ini. Seringkali, ayat-ayatnya disalahartikan—entah oleh mereka yang berniat menyerang Islam dengan dalih kritik, atau bahkan oleh sebagian umat Muslim sendiri yang mungkin kurang memahami konteks historis dan linguistiknya. Di antara ayat-ayat yang paling sering terperangkap dalam pusaran interpretasi keliru, Surah At-Taubah ayat 5 menonjol sebagai titik fokus perdebatan.

Ayat tersebut berbunyi: "Apabila bulan-bulan haram telah berlalu, bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu dapati mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka di setiap tempat pengintaian. Tetapi jika mereka bertobat dan mendirikan salat serta menunaikan zakat, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Sekilas, bagi sebagian orang, frasa "bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu dapati mereka" terdengar seperti dekret brutal yang menyerukan pertumpahan darah tanpa pandang bulu. Tak heran jika banyak yang buru-buru menyimpulkan bahwa ayat ini adalah semacam deklarasi perang terbuka, sebuah perintah absolut yang konon membatalkan dan menihilkan seluruh ajaran Islam yang mengadvokasi perdamaian, toleransi, dan keadilan. 

Namun, apakah pemahaman secepat kilat ini benar-benar mencerminkan esensi dari wahyu ilahi ini? Untuk menggali kebenaran yang terkandung di baliknya, kita harus melampaui permukaan literal dan menyelami lebih dalam ke dalam jalinan konteks, sejarah, dan nuansa linguistiknya. Hanya dengan demikian kita bisa mengungkap makna sebenarnya dan menempatkan ayat ini dalam bingkai pemahaman yang lebih adil dan komprehensif.

Mari kita mulai dengan menyingkap lapisan pertama kesalahpahaman yang sering terjadi. Penting untuk diingat bahwa banyak terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia—termasuk frasa tambahan seperti "orang-orang yang memerangimu"—seringkali disisipkan dalam tanda kurung. 

Penambahan ini, meski bertujuan baik untuk memberikan konteks awal, justru bisa mengaburkan pemahaman akan teks Arab aslinya yang tidak secara eksplisit memuat frasa tersebut. Meskipun demikian, interpretasi bahwa ayat ini ditujukan kepada pihak yang memerangi memang memiliki dasar kuat dan selaras dengan narasi historis yang melatarinya. Namun, ketiadaan frasa eksplisit itu telah membuka celah bagi berbagai penafsiran yang menyimpang.

Kesalahpahaman, ironisnya, muncul dari dua kutub yang berlawanan namun sama-sama keliru. Di satu sisi, banyak non-Muslim yang, dengan cepatnya, menganggap ayat ini sebagai lisensi bagi umat Islam untuk melancarkan serangan dan pembunuhan massal terhadap siapa pun yang bukan bagian dari mereka. Kecemasan ini, meskipun dapat dimengerti dari sudut pandang pembacaan literal yang terpisah dari konteks, seringkali dimanfaatkan untuk menjustifikasi narasi negatif tentang Islam. 

Di sisi lain, bahkan di kalangan komentator Muslim klasik sendiri, terdapat interpretasi yang problematis. Sebagian dari mereka meyakini bahwa ayat ini adalah semacam "deklarasi perang terbuka" yang dahsyat, yang secara ajaib "membatalkan" atau mengabrogasi seluruh untaian ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menganjurkan perdamaian, harmoni, dan keadilan dalam berinteraksi dengan non-Muslim, terutama kaum musyrik.

Gagasan tentang abrogasi (penghapusan hukum), di mana satu ayat kemudian menggantikan dan membatalkan aturan yang ditetapkan oleh ayat sebelumnya, memang ada dalam ilmu Al-Qur'an. Namun, menerapkan doktrin ini secara membabi buta, hingga menyatakan bahwa satu ayat yang bernada keras mampu menaklukkan dan meniadakan esensi ribuan ayat lain yang menyuarakan perdamaian, adalah sebuah lompatan logis yang berlebihan. Hal ini jelas tidak sejalan dengan semangat umum dan tujuan makro Al-Qur'an yang menekankan keadilan, rahmat, dan hidup berdampingan.

Saat kita menempatkan ayat ini kembali ke dalam konteks historis dan naratifnya, seperti menempatkan sepotong puzzle pada tempatnya, barulah gambar yang jelas muncul. Ayat ini sama sekali tidak menghapuskan prinsip-prinsip hidup damai. Sebaliknya, ia secara spesifik membahas situasi perang dan konflik yang sedang berlangsung pada masa itu. 

Ayat ini berbicara tentang respons terhadap kaum musyrik yang telah terang-terangan menyerang Muslim, melanggar perjanjian damai yang telah disepakati, dan secara konsisten menunjukkan permusuhan yang tidak berhenti. Mereka bukan sekadar "musyrik" pasif, melainkan agresor yang aktif: mereka bersembunyi untuk menyerang Muslim, menawan mereka, dan bahkan membunuh tanpa belas kasihan. Jadi, ayat ini adalah instruksi dalam skenario perang defensif, bukan proklamasi genosida.

Dengan pemahaman bahwa ayat ini muncul dalam situasi genting, Al-Qur'an kemudian menguraikan izin dan batasan bagi umat Muslim dalam merespons agresi yang terus-menerus. Ini bukanlah lampu hijau untuk kekerasan tanpa batas, melainkan sebuah strategi militer yang berlandaskan prinsip pertahanan diri dan keadilan dalam medan perang.

Penting untuk dipahami bahwa izin bagi Muslim untuk membalas dendam ini disertai dengan panduan yang jelas dan bertahap:

·         Jeda Empat Bulan yang Kudus (Bulan Haram): Sebelum tindakan apa pun diambil, ayat ini menetapkan adanya masa tenggang empat bulan. Ini adalah periode krusial, sebuah "gencatan senjata" yang dipaksakan, di mana kaum musyrik diberi kesempatan emas untuk merefleksikan kembali permusuhan mereka. Selama bulan-bulan haram ini, mereka bisa memilih untuk menghentikan seluruh tindakan agresif, mengakhiri permusuhan, dan bahkan mengosongkan wilayah jika merasa terancam. Jeda ini menunjukkan bahwa Islam selalu mengedepankan peluang untuk rekonsiliasi dan perdamaian, bahkan di tengah konflik. Ini bukan perintah untuk menyerang secara tiba-tiba, melainkan ultimatum terakhir sebelum tindakan defensif diambil.

·         Respons yang Setara dan Terukur: Jika, dan hanya jika, kaum musyrik memilih untuk mengabaikan peringatan tersebut dan terus melancarkan serangan setelah bulan-bulan haram berlalu, barulah Muslim diizinkan untuk mengambil tindakan balasan. Tindakan ini harus bersifat retaliasi yang setara dengan agresi yang mereka terima: menyergap, menangkap, dan jika situasi memang mengharuskan untuk membela diri secara fatal, barulah membunuh. Ini menekankan prinsip keadilan dalam perang, di mana tindakan militer hanya dibenarkan sebagai respons terhadap agresi yang nyata dan berkelanjutan.

·         Prioritas Penangkapan dan Pilihan Humanis: Susunan kalimat dalam ayat tersebut, "bunuh, lalu intai, tangkap," jika diartikan secara harfiah, mungkin terdengar tidak logis. Namun, dalam konteks strategi militer yang rasional dan etika perang Islam, urutan yang lebih tepat adalah mengintai musuh, menyergap mereka, dan kemudian menangkap mereka. Tindakan pembunuhan hanyalah pilihan terakhir, ketika tidak ada opsi lain untuk menetralkan ancaman. Lebih jauh lagi, semangat Al-Qur'an sangat menekankan pilihan yang lebih humanis. Ada instruksi jelas, seperti dalam Surah Al-Ma'idah (5) ayat 4, yang mengizinkan pembebasan tawanan baik dengan tebusan maupun sebagai tindakan kebaikan (pembebasan tanpa syarat). Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi perang, pintu kasih sayang dan kemurahan hati tetap terbuka lebar.

Sebagai penutup dari pembahasan yang sering disalahpahami ini, ada satu poin krusial yang tidak boleh diabaikan: ayat ini sama sekali tidak berlaku bagi Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Kristen. Al-Qur'an membuat perbedaan yang tegas antara kaum musyrik Mekah—yang dalam konteks ini adalah kelompok tertentu yang telah berulang kali melanggar perjanjian dan memusuhi umat Muslim—dan kelompok lain seperti Ahli Kitab. Hubungan dan aturan interaksi dengan Yahudi dan Kristen dibahas secara terpisah dan lebih rinci dalam Surah At-Taubah (9) ayat 29, yang tentunya memerlukan penjelasan yang lebih mendalam di kesempatan lain.

Dengan demikian, kesimpulannya sangatlah jelas: Surah At-Taubah ayat 5 bukanlah seruan terbuka bagi Muslim untuk membunuh semua kaum musyrik, apalagi seluruh non-Muslim. Sebaliknya, ini adalah sebuah instruksi yang sangat spesifik dan kontekstual, membahas respons defensif terhadap kelompok musuh tertentu yang telah secara konsisten melanggar perjanjian dan melancarkan agresi militer. 

Pemahaman yang autentik dan menyeluruh terhadap ayat ini menuntut lebih dari sekadar pembacaan literal; ia memerlukan penelaahan yang cermat terhadap konteks historisnya, nuansa linguistiknya, dan hubungannya yang integral dengan ayat-ayat Al-Qur'an lainnya yang secara konsisten mengedepankan nilai-nilai universal tentang perdamaian, keadilan, dan belas kasih. Hanya dengan demikian kita dapat membongkar misinterpretasi dan melihat pesan sebenarnya dari wahyu ilahi ini.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Sebagai Muslim, kita tentu meng....

Suara Muhammadiyah

9 February 2024

Wawasan

Garam Cap Muhammadiyah Oleh: Aan Ardianto, Kader Muhammadiyah Judul yang aku pilih bukan bermaksud....

Suara Muhammadiyah

25 March 2024

Wawasan

Kajian Implikatur untuk Kenali Makna Tersirat dalam Ujaran Bahasa Oleh: Abdul Latif, Dosen Pendidik....

Suara Muhammadiyah

31 July 2025

Wawasan

Berkah Literasi: Ramadhan dan Buku Oleh: Fathan Faris Saputro Ramadhan, bulan penuh berkah bagi um....

Suara Muhammadiyah

12 March 2024

Wawasan

Bencana Makanan dan Minuman Halal di Sekitar Kita  Oleh: Mochamad Novi Rifa'i .MA .ME, Dosen P....

Suara Muhammadiyah

25 July 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah