Akhlak Sebagai Buah Ibadah

Publish

11 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
30
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Akhlak Sebagai Buah Ibadah

Ibadah mahdhah atau ibadah yang tata caranya (syarat dan rukun) telah ditetapkan di dalam Islam semisal thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji, sebagai ibadah vertikal kepada Allah Swt, sejatinya juga bermuara untuk kepentingan hamba itu sendiri, baik sebagai individu maupun makhluk sosial yang membangun peradaban di muka bumi dengan akhlak mulia.

Keterhubungan antara ibadah vertikal dengan kepentingan manusia secara horizontal yang muwujud pada akhlak mulia ini bisa kita baca di dalam al-Qur’an dan Hadis. Thaharah (al-Baqarah: 222) tentang kesucian diri, shalat (al-Ankabut: 45) tentang pencegahan dari perbutan keji dan munkar, puasa (HR. Ibnu Khuzaimah) tentang menahan diri, zakat (at-Taubah: 103) tentang membersihkan dan mensucikan harta, haji (al-Baqarah: 197) tentang larangan berbuat buruk.

Kelima unsur tersebut adalah domain akhlak mulia sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah Swt. Maka nilai ibadah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis sesungguhnya adalah yang hubungan antara ibadah dan akhlaknya tidak pecah kongsi.

Suatu ketika pada tahun 1922, KH Ahmad Dahlan mengisi sebuah pengajian di daerah Pekalongan, Jawa Tengah. Dakwah Kiai Dahlan yang mudah dipahami, rasional, dan berdasarkan dalil agama yang kokoh, tampaknya berhasil masuk ke hati para jamaah. Salah seorang yang terpukau saat itu adalah seorang pemuda dari Maninjau, Sumatra Barat, Ahmad Rasyid (AR) Sutan Mansur, yang kelak menjadi ulama besar dan juga salah seorang ketua umum PP Muhammadiyah.

AR Sutan Mansur yang terpukau dengan isi pengajian Kiai Dahlan ketika itu merasa perlu membuktikan keulamaan pendiri Muhammadiyah ini. Apakah pengajian yang disampaikannya tersebut sesuai dengan kepribadiannya ataukah tidak. Ia bermaksud untuk tabayun secara diam-diam dengan mengikuti Kiai Dahlan dari belakang saat pulang ke Yogyakarta. Dari stasiun ke stasiun, kakak ipar Buya Hamka ini terus saja mengamati Kiai Dahlan.

AR Sutan Mansur yang haus ilmu ini merasa perlu membuktikan keulamaan Kiai Dahlan. Sebab di luar sana, banyak orang yang fasih di atas mimbar namun tidak sesui dengan perilakunya di kehidupan sehari-hari. Dua hal paling pokok yang ingin dilihat oleh AR Sutan Mansur dari keseharian Kiai Dahlan adalah shalat Subuhnya dan kedermawanannya.

Saat AR Sutan Mansur bergegas untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, ia mendapati Kiai Dahlan telah terlebih dahulu berada di dalam masjid. Hal ini semakin membuatnya yakin tentang keulamaan Kiai Dahlan. Shalat subuh berjamaah di masjid menjadi ukuran pertamanya dalam bertabayun terhadap kepribadian Kiai Dahlan. Selanjutnya tinggal membuktikan kemurahan hati Kiai Dahlan terhadap kaum duafa. Sebab, banyak orang yang shalat tapi tidak menunjukkan kepedulian terhadap kaum duafa dan masalah sosial lainnya di sekitar lingkungannya.

AR Sutan Mansur mencoba untuk memulai berdialog dengan Kiai Dahlan. “Kiai, perkenalkan nama saya AR Sutan Mansur, mau pinjam sarung Pak Kiai untuk dipakai pulang ke Pekalongan.” Kata-kata yang digunakan oleh AR Sutan Mansur ini adalah bahasa halus dari meminta sarung. Karena meminta, ia ingin melihat apakah akan diberi sarung yang jelek atau sarung yang bagus. Jika Kiai Dahlan pelit, pasti akan memberikan sarung yang jelek atau malah tidak memberikan sama sekali alias tidak peduli. Nyatanya, Kiai Dahlan justru memberikan sarung yang baru untuk AR Sutan Mansur.

AR Sutan Mansur merasa tabayunnya terhadap akhlak Kiai Dahlan memuaskan hatinya. Ia menjadi semakin yakin bahwa Kiai Dahlan adalah ulama dengan ilmu yang mendalam dan sesuai dengan perilakunya sehari-hari. Usahanya dalam membuktikan keulamaan Kiai Dahlan membuahkan hasil. Sejak saat itu ia berguru kepada Kiai Dahlan dan bergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah di tahun yang sama, 1922. (SM/2/2017)

Banyak keteladanan dari akhlak orang-orang saleh dan seutama-utama teladan adalah Nabi Muhammad Saw. Revolusi akhlak jangan hanya manis di kata-kata atau digaungkan di atas mimbar saja, tapi harus dibuktikan dalam kenyataan dengan memulai dari diri sendiri. (Erik Tauvani Somae)

Sumber: Majalah SM No 1 Tahun 2021


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Cerpen Ashari REJEKI sering diidentikkan dengan harta. Boleh saja. Silahkan. Sah-sah saja. Namun da....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Humaniora

Cerita Pendek Setelah Pemilu Usai Oleh: Ahsan Jamet Hamidi Dalam group Whatapps, Tn Ulfi dikenal s....

Suara Muhammadiyah

6 March 2024

Humaniora

Berbagi dan Kehangatan di Ujung Menteng Raya Oleh: Mahli Zainuddin Tago Jalan Menteng Raya Jakarta....

Suara Muhammadiyah

6 June 2024

Humaniora

Melihat dari Dekat Negeri Tiongkok Melalui Provinsi Xinjiang dan Guangdong (2) Oleh: Ahmad Dahlan, ....

Suara Muhammadiyah

29 August 2024

Humaniora

Tak Lekang oleh Zaman dan Waktu Oleh: Deni al Asyari Kemarin siang, saya dikirimi oleh Buya Syafii....

Suara Muhammadiyah

30 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah