Pak Penghulu
Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon
Dalam sebuah upacara perkawinan, terdapat peristiwa sakral yang tidak bisa dilupakan, yaitu pengantin, saksi, mahar, serta penghulu.
Tiba-tiba, Android milik Mbah Nini berbunyi, menandakan notifikasi pesan WhatsApp masuk dari Bu Mangku. Dalam pesan itu, Bu Mangku menanyakan apakah Mbah Nini ada di rumah atau tidak. Kala itu, Mbah Nini sedang berada di tempat kerja. Selang beberapa hari, Pak Mangku mengirim pesan yang sama, menanyakan apakah Mbah Nini ada di rumah. Setelah dijawab "ada," tidak lama kemudian Mbah Nini kedatangan tamu, yaitu Pak Mangku dan Pak Met.
Tepat pukul 21.00, kedua tamu tiba di rumah Mbah Nini. Mbah Nini mempersilakan mereka duduk di kursi teras rumah sambil menikmati kopi hangat dan makanan ringan. Dalam obrolan itu, Pak Mangku mengutarakan maksudnya untuk bersilaturahmi dan menanyakan perihal pernikahan.
Pak Mangku: "Begini, Pak. Kami ingin berbagi pemahaman terkait rukun sah dan wajib dalam pernikahan."
Mbah Nini: "Oh begitu, Pak Mangku! Siapa yang akan menikah?"
Pak Met: "Saya, Pak."
Mbah Nini: "Sepanjang yang saya ketahui, dalam pernikahan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: adanya kedua mempelai pengantin, adanya saksi dari kedua belah pihak, adanya mahar, serta pihak yang menikahkan. Apabila orang tua kandung mampu menikahkan, maka mereka berhak melakukannya. Jika tidak, mereka bisa meminta bantuan petugas dari KUA (Naib) sebagai penghulu. Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah kedua pihak benar-benar tidak memiliki permasalahan yang dapat menggugurkan pernikahan tersebut."
Beberapa hari setelah perbincangan itu, Pak Met datang ke rumah Mbah Nini bersama seorang wanita. Dalam obrolan santai, Mbah Nini menanyakan identitas wanita tersebut.
Mbah Nini: "Asmone sinten, Mbak? Pi dalem pundi?" (Namanya siapa dan rumahnya di mana?)
Mbak Wati: "Kulo asmane Wati, Pak. Griya kulo Trazan." (Nama saya Wati, rumah saya di Trazan.)
Mbah Nini: "Oh, njih, Mbak. Leluhur saya asli Tarsan. Yang punya warung angkringan Pak Cipluk itu masih saudara saya, begitu juga Pakdhe Carik Tarzan."
Mbak Wati: "Oh, njih, Pak. Daerah saya Crabak, Pak!"
Gayung bersambut, beberapa hari kemudian, Pak Met dan Mbak Wati kembali ke rumah Mbah Nini dengan maksud meminta bantuan agar bisa menikah secara agama (nikah siri). Mbah Nini bersedia membantu dengan syarat setelah menikah secara agama, Mbak Wati harus menyelesaikan masa idahnya, yaitu tiga kali haid plus sepuluh hari masa sucinya. Setelah itu, pernikahan harus dicatatkan di KUA agar sah secara hukum negara.
Ketika Seorang Bapak Meminta Mbah Nini Menjadi Penghulu
Sesuai rencana dan setelah masa idah selesai, pada malam 21 Ramadan, bertepatan dengan 20 Maret, kami berlima (Mbah Nini, Mas Is, Mbah Mangku RW, Pak Mangku RT, serta Pak Met) berangkat menuju rumah calon mempelai perempuan untuk melangsungkan pernikahan secara agama.
Sesampainya di sana, kami disambut tuan rumah. Seorang pria mendekati kami dan bertanya,
Pak Sholi: "Pak, ini Pak Penghulu/Pak Modin/Pak Kyai yang mana?"
Kami agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Mbah Nini kemudian menjawab,
Mbah Nini: "Kami datang ke sini untuk silaturahmi dan mengantar Pak Met yang akan menikah dengan putri Bapak."
Pak Sholi: "Oh, panjenengan, Pak? Baik, saya ingin menyampaikan sesuatu."
Pak Sholi kemudian meminta Mbah Nini menikahkan anaknya, Wati binti Sholi, dengan Pak Met. Mbah Nini menerima amanah tersebut dengan mengucap, "Bismillah."
Setelah itu, Mbah Nini menjalankan tugasnya. Mahar berupa seperangkat alat salat dan uang tunai Rp100.000 diserahkan kepada mempelai perempuan. Mbah Nini lalu bertanya kepada kedua mempelai apakah mereka siap menikah, dan dijawab dengan tegas, "Siap, Pak!"
Mbah Nini menggenggam tangan kanan Pak Met dan mengucapkan,
"Saya, setelah mendapat amanah dari Bapak Sholi, menikahkan dan menjodohkan engkau, Saudara Met, dengan Mbak Wati binti Pak Sholi, dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat dan uang tunai Rp100.000, dibayar tunai."
Pak Met: "Saya terima nikahnya dan jodohnya Mbak Wati binti Bapak Sholi untuk diri saya sendiri dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Mbah Nini: "Bagaimana, saksi?"
Para saksi: "Sah."
Setelah itu, Mbah Nini membaca doa:
Barakallahu laka (بارك الله لك): Semoga Allah memberkahimu (ditujukan untuk pengantin pria).
Wa baaraka alaika (و بارك الله عليك): Dan semoga Allah memberkahimu (ditujukan untuk pengantin wanita).
Wa jamaa bainakumaa fii khoir (و جمع بينكما في خير): Semoga Allah mengumpulkan kalian dalam kebaikan.
Tiga Pesan untuk Kedua Mempelai
Setelah doa selesai, Mbah Nini memberikan tiga pesan kepada kedua mempelai:
Jadikan pernikahan sebagai bentuk ibadah kepada Allah dengan mengharap berkah dan rida-Nya.
Setelah mengucap janji suci, wajib menjaga marwah keluarga dan keharmonisan rumah tangga.
Pandai-pandailah mengelola permasalahan dalam keluarga.
Semoga keluarga kecil Pak Met dan Mbak Wati mendapatkan keberkahan di bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Setelah rangkaian ijab kabul selesai, kami bercengkerama sambil menikmati makanan ringan dan makan malam sederhana. Setelah dirasa cukup, kami berpamitan.
Semoga kedua mempelai menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Aamiin.