Zaman Asumsi dan Kaburnya Kebenaran

Publish

7 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
78
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Zaman Asumsi dan Kaburnya Kebenaran

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta

Kita hidup di zaman yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, teknologi informasi berkembang begitu cepat, membuka akses terhadap berbagai sumber pengetahuan. Namun di sisi lain, justru di era yang serba terbuka ini, kebenaran menjadi sesuatu yang kabur dan sulit dipastikan. Kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta yang terverifikasi secara ilmiah atau melalui proses pengujian yang objektif. Ia kini lebih sering ditentukan oleh asumsi, oleh opini personal, bahkan oleh narasi yang direproduksi secara masif di ruang publik tanpa landasan epistemologis yang kuat.

Asumsi pada dasarnya adalah dugaan awal yang dibangun berdasarkan pengalaman, persepsi, atau bahkan kepentingan tertentu. Ia tidak serta merta salah, tetapi juga belum tentu benar. Dalam dunia ilmu, asumsi adalah titik tolak sebelum hipotesis diuji, bukan kesimpulan. Namun ketika asumsi diperlakukan sebagai kebenaran itu sendiri, lalu disebarluaskan tanpa verifikasi, di situlah letak persoalannya. Sebab asumsi yang tidak dikawal oleh akal sehat, etika, dan tanggung jawab sosial akan berubah menjadi alat pembentukan opini yang manipulatif, yang tidak lagi mencerdaskan publik tetapi justru membingungkannya.

Dalam ranah politik, gejala ini semakin kentara. Politik hari ini tak jarang bersandar pada ilusi dan persepsi yang sengaja dibangun oleh para aktor yang memiliki kekuasaan atas media. Yang benar bukan lagi siapa yang memiliki bukti paling sahih, melainkan siapa yang paling pandai mengolah citra dan menguasai algoritma. Politik pencitraan menjelma menjadi panggung sandiwara di mana yang tampil bukanlah realitas, melainkan representasi yang telah disusun sedemikian rupa. Di sinilah asumsi-asumsi liar tentang tokoh, kebijakan, dan arah masa depan bangsa mendapatkan tempatnya.

Lalu masyarakat, sebagai entitas yang menyerap segala wacana tersebut, berada dalam posisi yang tidak mudah. Mereka dibanjiri oleh informasi yang nyaris tanpa sekat. Media sosial menjadi arena yang bising, penuh dengan hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi. Dalam keramaian yang gaduh ini, suara kebenaran yang sesungguhnya tenggelam. Fakta menjadi relatif, data bisa dimanipulasi, dan opini personal bisa lebih dipercaya daripada hasil riset akademik. Inilah kondisi post-truth, sebuah era di mana emosi lebih dominan ketimbang akal, di mana persepsi lebih diutamakan daripada kenyataan.

Dari perspektif ilmu komunikasi, kondisi ini menunjukkan bahwa komunikasi massa tidak lagi sekadar menyampaikan pesan, tetapi menciptakan realitas. Realitas yang dikonstruksi media bukan lagi sekadar cermin dari apa yang terjadi, tetapi bisa menjadi “kenyataan alternatif” yang sangat meyakinkan. Fenomena framing, agenda setting, hingga spiral of silence bekerja secara simultan untuk membentuk opini publik. Dan ketika publik sudah terbiasa hidup dalam konstruksi wacana yang direproduksi oleh media, maka batas antara fakta dan fiksi menjadi semakin tipis. Mereka tidak lagi bertanya: “Apakah ini benar?” tetapi hanya bertanya: “Apakah ini viral?”, “Apakah ini sejalan dengan perasaanku?”, “Apakah ini membuatku nyaman?”

Keadaan seperti ini menuntut kehadiran intelektual yang berani dan jujur. Mereka yang bukan hanya menguasai ilmu, tetapi juga memiliki integritas untuk menyuarakan kebenaran. Para pendidik, pemuka agama, budayawan, dan jurnalis harus mengambil peran aktif dalam meluruskan arah wacana. Tugas mereka bukan menambah kebisingan, tetapi menjadi pelita dalam kegelapan. Mereka harus menjadi saksi atas kebenaran, meskipun itu berarti melawan arus opini publik yang sudah dibentuk oleh mesin algoritma.

Dalam konteks keislaman, kita diajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sakral, yang tidak boleh dikaburkan. Al-Qur’an memerintahkan agar kita berkata benar walaupun itu pahit, walaupun itu merugikan diri sendiri. Kebenaran bukan sekadar milik nalar, tetapi juga milik nurani. Maka tugas kita sebagai umat beriman adalah menjaga kebenaran itu tetap hidup dalam ucapan, tindakan, dan tulisan. Kita harus berani melawan budaya asumsi yang menyesatkan, dengan cara membumikan nilai-nilai ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra: 36). Ayat ini bukan hanya peringatan terhadap informasi yang kita konsumsi, tetapi juga terhadap apa yang kita sebarkan. Kita tidak boleh gegabah dalam menerima atau menyampaikan sesuatu, apalagi jika hal itu belum jelas dasar kebenarannya. Sebab setiap kata yang kita ucapkan, setiap tulisan yang kita sebar, akan kembali kepada kita dalam bentuk tanggung jawab moral dan spiritual.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keberanian untuk berdiri di atas kebenaran adalah fondasi utama dari demokrasi yang sehat. Demokrasi yang lahir dari kebebasan berekspresi tidak akan tumbuh dengan baik jika kebenaran dikaburkan oleh kebohongan yang masif. Maka perlu ada budaya literasi yang kuat di tengah masyarakat, agar mereka tidak mudah diperdaya oleh narasi-narasi palsu. Literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis, mengkritisi, dan memverifikasi.

Masyarakat yang melek literasi akan menjadi masyarakat yang tidak mudah dipengaruhi oleh isu-isu yang tidak jelas. Mereka tidak akan menelan mentah-mentah setiap informasi yang beredar, tetapi akan menimbangnya dengan akal sehat dan hati nurani. Di sinilah pentingnya pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter, bukan sekadar penguasaan pengetahuan teknis. Pendidikan harus mampu menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk membela kebenaran.

Penting juga untuk menyadari bahwa dalam menjaga kebenaran, kita akan berhadapan dengan berbagai tantangan. Kebenaran sering kali tidak populer. Ia tidak menjanjikan kenyamanan, tidak memberi keuntungan sesaat. Tetapi dalam jangka panjang, hanya kebenaranlah yang akan membawa kita pada kemajuan yang hakiki, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Sebaliknya, membiarkan asumsi dan kebohongan merajalela hanya akan melahirkan masyarakat yang lemah, mudah diadu domba, dan kehilangan arah.

Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini, kita tidak boleh pasrah. Kita harus terus bersuara, terus menulis, terus mengingatkan, bahwa di atas segala kebisingan zaman, kebenaran tetap ada. Ia mungkin tersembunyi, tetapi tidak mati. Ia mungkin terpinggirkan, tetapi tidak hilang. Tugas kita adalah mencarinya, menjaganya, dan menyampaikannya, meskipun itu berarti berjalan sendiri di tengah kerumunan yang tersesat.

Akhirnya, marilah kita renungkan bersama: apakah kita ingin menjadi bagian dari orang-orang yang menyebarkan cahaya kebenaran, atau justru menjadi penyumbang kabut yang menyesatkan? Apakah kita berani melawan arus asumsi yang menipu, demi berdiri di atas landasan yang benar? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan nasib kita sebagai individu dan sebagai bangsa. Sebab sebuah masyarakat tidak akan runtuh karena musuh dari luar, tetapi karena kebenaran telah disia-siakan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Dakwah Komunitas: Menyentuh Kehidupan Perkotaan dengan Pendekatan Kontekstual Oleh: Achmad Fauzi/An....

Suara Muhammadiyah

10 April 2025

Wawasan

Jiwa Tak Terbelenggu  Oleh: Fathan Faris Saputro (MPID PDM Lamongan) Okky Madasari, seorang s....

Suara Muhammadiyah

19 July 2024

Wawasan

Amankah Menitipkan Anak di Daycare?  Belajar Dari Kasus Penganiayaan Yang Mengguncang Publik ....

Suara Muhammadiyah

18 August 2024

Wawasan

Mensyukuri 61 Tahun IMM: Merawat IMM, Memajukan Indonesia Oleh: Muhammad Dwi Cahyo, Ketua Umum DPD ....

Suara Muhammadiyah

14 March 2025

Wawasan

Membangun Ekosistem Wirausaha Berkeadilan Oleh: Wahyudi Nasution, Ketua LP-UMKM PDM Klaten Ekosist....

Suara Muhammadiyah

12 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah