Ujian Idul Fitri: Mencari Makna dalam Perayaan
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Alhamdulillah, kita telah menyempurnakan bulan yang penuh berkah, sebuah kesempatan yang diberikan Allah untuk memulai dan mengakhiri waktu terpenting dalam setahun, sebuah peluang untuk mendapatkan ampunan dan memulai hidup yang baru. Dalam perbincangan ini, saya ingin berfokus pada dua hal mendasar. Pertama, konflik yang kita rasakan di bulan Ramadan dan khususnya saat Idul Fitri. Seharusnya ini adalah momen perayaan, tetapi penderitaan di Gaza, penindasan yang tak terbayangkan terhadap Muslim Uighur di China, dan tragedi di Yaman membuat kita kesulitan untuk merasa bahagia. Bagaimana kita bisa merayakan sementara penderitaan merajalela di sekitar kita?
Namun, bukan hanya itu. Bahkan tanpa adanya tragedi global, kita sering kali menghadapi kesulitan pribadi yang meredam semangat perayaan. Sejatinya, kehidupan tidak pernah lepas dari cobaan. Untuk memulai, mari kita menelusuri sejarah, untuk menggali hikmah di balik perayaan yang kita lakukan. Ramadan, perintahnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ketika beliau hijrah ke Madinah. Bisa dikatakan bahwa wahyu tentang bulan puasa ini diterima sesaat sebelum Badr, dan petunjuknya tertuang dalam Surah Al-Baqarah.
Mari kita coba menempatkan diri pada posisi mereka yang mendengarkan perintah-perintah ini: kaum Muhajirin dan Ansar. Ada dua kelompok Sahabat: mereka yang meninggalkan rumah mereka bersama Nabi Muhammad SAW, para migran yang kita sebut Muhajirin, dan mereka yang dengan tulus menyambut, memberi tempat tinggal, dan merawat mereka, yaitu kaum Ansar. Bayangkanlah sejenak penderitaan yang dialami kaum Muhajirin. Banyak dari mereka meninggalkan keluarga, mengalami penyiksaan dan penghinaan, dan kehilangan harta benda serta mata pencaharian mereka ketika hijrah ke Madinah.
Rasa sakit akibat pengalaman traumatis ini tidaklah mudah untuk diatasi. Banyak dari mereka juga kehilangan anggota keluarga di Mekah yang disiksa hingga meninggal. Luka-luka ini tetap membekas. Tentu saja, Rasulullah SAW, yang sangat mencintai umatnya, khususnya keluarganya, juga merasakan kepedihan yang mendalam. Di antara keluarganya, ada Abu Jahal dan Abu Lahab, orang-orang yang paling menyakitinya. Beliau juga harus menanggung beban emosional ini. Tragedi demi tragedi menimpa mereka, bukan hanya satu. Ini adalah sebagian dari kisah kaum Muhajirin.
Di sisi lain, kaum Ansar menyambut dengan penuh sukacita kedatangan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Mereka bersyukur dan merasa terhormat bisa menjadi tuan rumah Rasulullah SAW. Banyak dari mereka telah memeluk Islam dan siap berkorban untuk menyambut kaum Muhajirin. Namun, mereka bukanlah orang kaya. Mereka hidup sederhana dan bahkan harus berbagi dengan sumber daya yang terbatas. Al-Qur'an menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang "mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri dalam kekurangan" (QS Al Hasyr: 9). Kini, mereka dihadapkan pada tantangan baru. Selain kesulitan ekonomi dan tanggung jawab menampung kaum Muhajirin, mereka juga harus menghadapi musuh baru.
Kaum Quraisy menjadi musuh mereka, karena dari sudut pandang Quraisy, mereka dianggap memberi dukungan dan perlindungan kepada musuh. Akibatnya, kaum Ansar, yang bukan kekuatan militer, kini memiliki musuh yang paling kuat di wilayah tersebut, hanya karena membantu kaum Muhajirin. Inilah situasi yang terjadi, dan tidak lama lagi, perang akan menghampiri mereka. Mereka tidak hanya menerima para Sahabat, tetapi juga mengundang perang. Dan tidak lama lagi, Perang Badr akan meletus, diikuti dengan Uhud, dan berbagai pertempuran lainnya. Padahal, sebelumnya mereka tidak perlu mengkhawatirkan perang. Bahkan, jika kita meninjau catatan para syuhada, jumlah korban dari pihak Muslim sebenarnya lebih banyak dari kalangan Ansar, yaitu penduduk Madinah. Jadi, mereka juga turut merasakan kepedihan kehilangan.
Jika kita benar-benar memahami jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita akan mengerti esensi dari "apa" dan "mengapa" perayaan ini. Pertama, Allah menurunkan pesan terakhir-Nya kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur'an. Wahyu ini diturunkan ribuan tahun setelah Nabi Ibrahim AS berdoa ketika membangun Ka'bah, "Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" (QS Al Baqarah: 129).
Ribuan tahun kemudian, Allah mengabulkan doa itu, dan Nabi Muhammad SAW datang. Ketika beliau hijrah ke Madinah, Allah memberitahu kita bahwa inilah saatnya untuk menyadari pengabulan doa Ibrahim AS. Inilah saatnya untuk merayakan kedatangan hidayah. Kini, kita mengetahui cara menjalani hidup yang benar, membedakan yang hak dari yang batil, dan mengenali Tuhan yang sebenarnya. Agama-agama lain di dunia juga mengenal Tuhan, tetapi konsep ketuhanan mereka sering kali terdistorsi. Jika kita mempelajari agama-agama tersebut, kita akan menemukan penyimpangan dalam pemahaman tentang Tuhan, baik dalam ritual, praktik keagamaan, maupun konsep ketuhanan itu sendiri.
Beberapa agama memiliki dewa-dewa yang hanya bisa dipuaskan dengan pengorbanan manusia atau hewan. Beberapa dewa hanya menerima satu ras dan menolak ras lainnya. Beberapa dewa bahkan tidak bisa diajak berkomunikasi secara langsung, melainkan harus melalui perantara. Inilah sistem yang ada. Namun, Allah membersihkan semua itu dan menghubungkan kita langsung dengan-Nya. Inilah esensi dari tauhid, yaitu membersihkan segala bentuk kotoran dari pemahaman kita tentang siapa Allah. Kita merayakan kembalinya ke agama Ibrahim AS, seperti ketika beliau menghancurkan berhala-berhala.
Kita merayakan bahwa Allah memulihkan ajaran asli Ibrahim AS dan menjadikannya abadi hingga hari kiamat. Inilah yang kita rayakan. Kita merayakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan ketentuan-Nya. Orang-orang di masa lalu tidak tahu bagaimana menyenangkan Tuhan mereka. Mereka menciptakan berbagai cara, seperti mengorbankan bayi atau menari telanjang. Mereka berusaha mencari tahu apa yang diinginkan Tuhan mereka. Ada yang berdoa untuk hujan dan melakukan ritual khusus. Ada yang bersiap untuk berperang dan melakukan ritual khusus untuk meraih kemenangan. Allah menjelaskan dengan sangat jelas dalam kitab-Nya apa yang Dia inginkan dari kita. Bahkan, Dia menegaskan bahwa hubungan-Nya dengan kita bukanlah transaksi.
Kita tidak melakukan sesuatu untuk Allah, lalu Allah melakukan sesuatu untuk kita. Bukan seperti itu cara kerjanya. Allah selalu memberi. Oleh karena itu, kita tidak perlu pergi ke kuil, membuat pengorbanan, dan menaruhnya di depan berhala untuk mendapatkan sesuatu yang baik. Kita tidak perlu melakukan itu. Kita bisa berdoa langsung kepada Allah, yang telah memberi kita sebelum kita bisa membuka mulut. Dia telah menyediakan kebutuhan kita bahkan sebelum kita bisa meminta. Dia memberi bahkan kepada orang yang tidak beriman. Inilah sifat Allah.
Jadi, hubungan kita dengan Allah bukanlah hubungan transaksional, tetapi Allah memperkenalkan kita pada apa yang Dia sukai. Bagaimana kita bisa menjadi seseorang yang puas dengan Rabb kita, dan Rabb kita puas dengan hamba-Nya? Beberapa hal baik yang Dia ingin kita lakukan, dan beberapa hal buruk yang Dia ingin kita hindari, "…dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka..." (QS Al A`raf: 157). Inilah yang Allah berikan. Dia membuat hidup menjadi mudah. Allah berfirman, “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah.” (QS. An-Nisa': 28)
Kita sering kali menciptakan masalah yang lebih besar untuk diri kita sendiri, dan Allah telah membantu kita menghilangkan masalah-masalah itu hanya dengan menaati-Nya. Dan apa yang kita rayakan di akhir? Lihatlah ayat itu. Ayat Ramadan itu luar biasa. Ia memberitahu kita banyak hal. Di akhir ayat, ketika kita menyelesaikan hitungan puasa, yang telah kita lakukan, Alhamdulillah, Allah berfirman, “agar kamu dapat menyempurnakan hitungan, agar kamu dapat menyempurnakan hitungan, agar kamu dapat mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu” (QS Al Baqarah: 185).
Dalam perjalanan ke sini, banyak dari Anda mengetahui Sunnah Nabi Muhammad SAW. Jadi, bahkan dalam perjalanan menuju shalat ini, Anda mengucapkan, kita mengagungkan Allah. Tetapi mengagungkan Allah bukan hanya kata-kata, bukan? Ketika kita tidak makan sepanjang bulan, meskipun tubuh kita menyuruh kita makan, ketika kita tidak minum sepanjang bulan, meskipun tubuh kita menyuruh kita minum, kita mengagungkan Allah karena Allah lebih besar dari dahaga kita, Allah lebih besar dari lapar kita, bukan?
Allah mengajarkan kita bagaimana, Dia melatih kita sepanjang bulan untuk memahami apa artinya Allah lebih besar. Apa arti Allahu Akbar? Allah lebih besar dari dahaga saya, Allah lebih besar dari lapar saya, Allah lebih besar dari keinginan saya, Allah lebih besar dari keserakahan saya. Dia lebih besar. Usai 30 hari pelatihan ini, sekarang kita harus merayakan, "Ya Allah, Engkau telah membuat kami lebih kuat." Karena latihan apa pun yang Anda lakukan secara konsisten membuat Anda lebih kuat, bukan? Ini adalah latihan untuk mengakui kebesaran Allah. Anda sekarang lebih kuat, dan Anda lebih mampu mengenali kebesaran Allah dan untuk hidup sesuai dengan kebesaran Allah daripada sebelumnya.