Oleh: Aziz Akbar Mukasyaf
Tanah merupakan lapisan tipis namun vital di permukaan bumi, tempat tumbuhnya kehidupan. Ia bukan sekadar tempat berpijak, tetapi medium tempat berlangsungnya miliaran proses biologis, kimiawi, dan fisik yang menopang ekosistem daratan. Dalam satu genggam tanah hidup, terdapat lebih banyak mikroorganisme daripada jumlah manusia di bumi. Maka, saat tanah rusak, bukan hanya hasil panen yang terganggu, tetapi juga seluruh jaring kehidupan ikut terancam. Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 17 Juni, menjadi momentum penting untuk menyadari betapa pentingnya menjaga keberlanjutan tanah sebagai dasar kehidupan.
Tanah berkelanjutan atau sustainable soil adalah tanah yang mampu mempertahankan dan memulihkan fungsinya dalam jangka panjang. Fungsinya meliputi mendukung pertumbuhan tanaman, menjaga cadangan air tanah, menyimpan karbon organik, menyaring polutan, dan menopang keanekaragaman hayati mikro maupun makro. Indikator tanah sehat mencakup kandungan bahan organik yang tinggi, struktur tanah yang gembur, kemampuan menahan air dan udara yang seimbang, serta aktivitas mikroorganisme yang stabil. Tanah semacam ini bukan hanya menjamin produktivitas lahan pertanian, tetapi juga berperan besar dalam mitigasi perubahan iklim. Bahkan, menurut Lal (2019), tanah yang sehat dapat menyimpan karbon hingga tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan atmosfer bumi.
Namun sayangnya, lebih dari sepertiga tanah di dunia saat ini telah mengalami degradasi. Di Indonesia, tantangan ini sangat nyata. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023) mencatat bahwa lebih dari 14 juta hektare lahan tergolong kritis atau sangat kritis. Ini mencakup lahan gambut yang dikeringkan untuk perkebunan sawit dan pertanian, lahan kering di kawasan timur Indonesia yang terus terpapar erosi, hingga lahan bekas tambang yang ditinggalkan tanpa reklamasi. Bahkan di beberapa wilayah Kalimantan dan Sumatera, konversi lahan untuk proyek-proyek besar seperti food estate, bioetanol, dan tambang nikel kian mempercepat laju degradasi. Salah satu kasus yang mencolok adalah proyek food estate di Papua dan Kalimantan. Dalam proyek ini, jutaan hektare hutan primer dikonversi untuk budidaya jagung dan tebu bioetanol. Menurut laporan Associated Press (2025), setidaknya 4,3 juta hektare lahan dibuka, termasuk sekitar 3 juta hektare di Merauke, yang sebelumnya merupakan wilayah hutan adat dan lahan basah alami. Akibatnya, tidak hanya terjadi kerusakan tanah dan kehilangan habitat, tetapi juga timbul konflik sosial dengan komunitas adat, serta ancaman pelepasan emisi karbon besar-besaran ke atmosfer, yang diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta ton CO₂.
Masalah degradasi tanah di Indonesia juga terkait erat dengan lemahnya pengelolaan dan minimnya adopsi praktik berkelanjutan di tingkat tapak. Banyak petani masih mengandalkan olah tanah konvensional yang menyebabkan hilangnya struktur tanah, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, dan minimnya rotasi tanaman. Selain itu, lemahnya perlindungan lahan produktif dan tata guna lahan yang tidak berwawasan lingkungan menyebabkan konversi sawah dan hutan menjadi kawasan industri atau permukiman terus terjadi. Padahal tanah subur, terutama di Pulau Jawa, sangat terbatas dan berperan penting dalam ketahanan pangan nasional. Untuk mengatasi masalah ini, sejumlah praktik pengelolaan tanah berkelanjutan perlu terus didorong dan diperluas. Pertama, pendekatan pertanian konservasi seperti no-tillage, cover cropping, dan pengelolaan residu tanaman terbukti mampu mengurangi erosi dan meningkatkan kesuburan tanah. Kedua, agroforestri—yakni integrasi pohon dan pertanian—tidak hanya membantu mempertahankan kesuburan dan kelembaban tanah, tetapi juga meningkatkan keanekaragaman hayati dan pendapatan petani. Ketiga, pendekatan Nature-based Solutions (NbS), misalnya restorasi padang rumput dengan vegetasi lokal atau rehabilitasi lahan gambut dengan teknik rewetting, dapat memulihkan fungsi ekosistem secara holistik dengan biaya yang relatif rendah dan keberlanjutan yang tinggi (UNCCD, 2021).
Sebetulnya, di Indonesia sendiri memiliki beberapa contoh baik yang bisa direplikasi. Salah satunya yaitu Proyek Restorasi Ekosistem Riau (RER), dimana berhasil mengembalikan fungsi hidrologis lahan gambut melalui pendekatan kolaboratif antara sektor swasta dan masyarakat. Sementara itu, Eden Reforestation Projects di Papua dan Sulawesi telah menanam puluhan juta pohon mangrove yang mengembalikan kualitas tanah pesisir dan meningkatkan ekonomi lokal. Sayangnya, skala proyek semacam ini masih kalah besar dibandingkan skala kerusakan lahan yang terus berjalan. Dibutuhkan kemauan politik, kolaborasi lintas sektor, dan komitmen masyarakat sipil untuk menjadikan pendekatan ini sebagai arus utama pembangunan.
Selain aspek teknis, pelestarian tanah juga sebetulnya menyentuh ranah sosial dan budaya, terutama masyarakat setempat. Dalam banyak masyarakat adat di Indonesia, tanah tidak semata sumber daya ekonomi, tetapi bagian dari identitas dan spiritualitas. Konsep “ibu bumi” atau “lewu” dalam masyarakat Dayak, misalnya, menunjukkan hubungan sakral antara manusia dan tanah. Jika kita kehilangan tanah yang sehat, maka kita juga kehilangan warisan budaya dan kearifan lokal yang melekat padanya. Maka, pelibatan masyarakat adat, petani kecil, dan perempuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program konservasi tanah menjadi mutlak diperlukan.
Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia ini harusnya menjadi lebih dari sekadar peringatan tahunan. Ini adalah ajakan untuk bertindak—melestarikan tanah dari kerusakan, melindungi lahan produktif, dan memulihkan area yang terdegradasi. Kita bisa mulai dari langkah kecil: tidak membuang limbah ke tanah, mengomposkan sampah organik, menanam tanaman penutup di kebun, dan mendukung produk pertanian berkelanjutan. Tanah adalah akar dari kehidupan. Menjaganya adalah menjaga masa depan seluruh generasi.
Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta