Syukur, Kode Rahasia Neurologis untuk Kebahagiaan

Publish

21 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
385
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Syukur, Kode Rahasia Neurologis untuk Kebahagiaan 

Oleh: Ratna Arunika, Anggota PWA Jatim

Hidup merasa terus berlari. Di era serba ngebut, ditengah gempuran pencapaian, standar sosial, dan keinginan yang tak ada habisnya, manusia modern justru makin jauh dari satu hal sederhana yang bisa menenangkan jiwa. Syukur bukan sekedar diucapkan, tapi syukur yang terasa mengubah cara kita melihat diri, dunia, dan masa depan.

Menariknya, konsep sederhana ini tidak hanya dikupas agama, filsafat, tetapi juga didukung ilmu saraf dan psikologi modern. Penelitan menunjukan, syukur adalah salah satu kode rahasia otak yang paling efektif untuk menciptakan kebahagiaan jangka panjang. Dan yang mengejutkan ? orang yang hidup dalam keterbatasan justru lebih cepat merasakannya.

Dalam irama kehidupan yang terasa sempit manusia justru menemukan kedalaman makna yang tidak terduga. Makna,  itu bukan sekadar hiasan kata, melainkan fondasi yang memberi arti pada setiap langkah. Semakin luas cara kita memandang hidup, semakin dalam pula rasa syukur yang bersemayam di dalam diri. Syukur hadir seperti cahaya lembut yang membantu kita menilai pengalaman dengan perspektif positif, menghubungkan peristiwa-peristiwa kecil dengan tujuan hidup yang lebih besar. Di tengah keterbatasan, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati bukan tentang memiliki lebih banyak, melainkan menyadari nilai dari apa yang telah ada.

Secara psikologis, mereka yang hidup dengan sumber daya terbatas sering kali lebih mudah merasakan syukur. Mereka peka terhadap hubungan antara usaha dan hasil, sehingga momen sederhana lebih bermakna, dan tidak dibebani ekspektasi berlebihan. Sementara itu, mereka yang hidup dalam kelimpahan kerap terjebak dalam hedonic adaptation, kecenderungan otak untuk cepat terbiasa pada kesenangan sehingga apa yang dulu membahagiakan perlahan menjadi biasa saja. Otak berkata “Aku mau lagi. Yang itu kurang. Yang ini nggak cukup.” Pertanyaan pun muncul, apakah syukur tercipta oleh banyaknya kepemilikan, atau oleh kemampuan kita melihat makna di balik setiap anugerah? Inilah paradoks zaman modern, makin banyak yang dimiliki, makin mudah kita merasa kurang.

Para filsuf Stoik seperti Epictetus telah lama mengingatkan bahwa kesenangan bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan sejati lahir ketika manusia merendahkan ego dan menerima apa yang hadir hari ini. Nasihat itu bukan sekadar warisan kuno, tetapi undangan untuk bertanya kepada diri sendiri, bagaimana jika keterbatasan bukan musuh, melainkan guru?

Keterbatasan sering dianggap sebagai kutukan, padahal ia menyimpan pelajaran paling luhur tentang syukur. Dalam ruang hidup yang sempitmseperti kemiskinan, sakit, atau kehilangan, manusia dipaksa menatap kembali hal-hal mendasar. Dari sudut pandang evolusi, otak kita dirancang untuk bertahan, bukan untuk berlimpah. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, sistem saraf memberi sinyal lega. Dopamin dan serotonin mengalir bukan karena kemewahan, melainkan karena terpenuhinya harapan sederhana. Karena itu, dalam keterbatasan, hal kecil dapat terasa sebagai berkah besar.

Dalam psikologi sosial, hal ini dikenal sebagai downward social comparison, perasaan beruntung ketika menyadari bahwa ada orang lain yang menghadapi kondisi lebih sulit. Mekanisme ini secara paradoks menumbuhkan syukur dan ketangguhan. Otak kita fokus pada apa yang masih ada, bukan semata pada yang hilang. Itulah sebabnya mereka yang hidup dalam kesederhanaan sering memiliki ketajaman batin untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.

Hamka pernah menulis, “Manusia tidak akan pernah puas karena nafsu selalu merindukan yang belum dimiliki. Apresiasi menciptakan kebahagiaan. Namun bahagia sejati lahir dari mensyukuri apa yang ada.” Kalimat itu mengandung kebijaksanaan yang melampaui psikologi modern,  syukur bukan kepasrahan, tetapi kekuatan batin untuk menikmati nikmat kecil seolah ia anugerah besar.

Kalimat bijak lain berkata, “Kita tidak akan menghargai sesuatu sebelum kehilangannya.” Ketika kehilangan, hati kita tiba-tiba mampu memetakan kenangan baik yang dulu kita abaikan. Ironisnya, kesedihan karena kehilangan sering kali lebih kuat daripada kebahagiaan saat memilikinya. Pertanyaannya: apakah kita perlu menunggu kehilangan untuk mulai bersyukur?

Di sisi lain, otak manusia memiliki kecenderungan untuk kebal terhadap kesenangan. Mobil baru, rumah megah, atau gawai terbaru lambat laun terasa biasa. Fokus bergeser pada kekurangan berikutnya. Inilah paradoks hedonisme, semakin keras seseorang mengejar kebahagiaan melalui kesenangan, semakin jauh kebahagiaan itu pergi.

Dopamin, molekul yang dilepaskan saat kita mengharapkan sesuatu lebih mendorong pencarian daripada ketenangan. Karena itu, mereka yang hidup dalam kelimpahan sering merasa selalu ada yang kurang, meski tampak berkecukupan dari luar.

Epictetus mengingatkan, “Bukan hal di luar dirimu yang membuatmu gelisah, melainkan pandanganmu tentang itu.” Ketika nilai diukur dari apa yang dimiliki, syukur pun memudar. Kita mulai hidup dalam mode perbandingan sosial, siapa yang lebih sukses, siapa yang lebih kaya, atau siapa yang lebih bahagia.  Akibatnya, manusia tidak lagi menikmati apa yang dimiliki, tetapi sibuk mengejar hal berikutnya.

Syukur sebagai Fenomena Neurologis

Syukur bukan sekadar ucapan “terima kasih”. Ia adalah pengalaman biologis yang bekerja di dalam sistem saraf. Penelitian neuropsikologi menunjukkan bahwa rasa syukur mengaktifkan medial prefrontal cortex (MPFC), bagian otak yang berperan dalam refleksi diri dan empati. MPFC bekerja bersama amigdala, yang memproses makna emosi. Aktivasi ini membuat seseorang lebih sadar akan hubungan batin antara dirinya dan dunia.

Menariknya, pada mereka yang hidup dalam keterbatasan, aktivitas ini justru lebih kuat. Setiap hal kecil tercatat oleh otak sebagai pengalaman penuh makna. Sebaliknya, kelimpahan membuat sistem saraf mengalami desensitization, semacam kebas emosional. Nucleus accumbens (NAcc), pusat antisipasi kesenangan, cepat merasa bosan, menciptakan lingkaran tanpa ujung. Mendapatkan, bosan, menginginkan lagi.

Epictetus seolah memahami ini jauh sebelum ilmu modern lahir, “Jika engkau ingin bahagia, kurangi keinginanmu, bukan tambahi kepemilikanmu.”

Psikologi modern menunjukkan bahwa praktik syukur misalnya gratitude journaling meningkatkan aktivitas MPFC dan menurunkan stres. Hubungan antara pusat emosi dan pusat refleksi diri menguat, membuat individu lebih tenang dan tahan tekanan.

Menurut Alex Wood, syukur mampu menurunkan frekuensi dan intensitas episode depresi. Dalam bahasa sederhana, fokus menentukan rasa bahagia. Dengan berfokus pada rasa terima kasih, kita memutus jaringan saraf yang mengaktifkan kemarahan atau keluhan. Pikiran hanya dapat fokus pada satu hal dalam satu waktu. Ketika fokus pada syukur, kemarahan dan ketidakpuasan tidak menemukan tempat.

Sebaliknya, mereka yang kurang bersyukur hidup dalam lingkaran harapan yang tak terpenuhi dan kekecewaan yang berulang. Pertanyaannya, apakah kita siap keluar dari lingkaran itu?

Rasa syukur memperkaya hubungan antarmanusia hablum minannas sekaligus memperdalam hubungan spiritual hablum minallah. Dalam psikologi positif, syukur meningkatkan empati, menurunkan agresivitas, dan membantu regulasi emosi. Dalam Islam, syukur adalah ibadah: pengakuan hati, ucapan lisan, dan perbuatan.

Allah berfirman dalam QS. Ibrahim:7:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu.”

Ayat ini sejalan dengan temuan neuroscientific, otak yang bersyukur lebih terbuka menerima kebahagiaan baru. Syukur dalam keterbatasan akan memperkuat iman. Syukur dalam kecukupan, ia menjadi penahan kesombongan. Di sinilah Islam bertemu Stoisisme, kebahagiaan sejati datang dari meruntuhkan ego.

Orang Jawa punya konsep , nrimo ing pandum mengajarkan menerima bagian hidup dengan tulus, bukan pasrah, tetapi berhenti bertengkar dengan takdir. Sikap ini menenangkan sistem saraf dan menurunkan kortisol. Dalam Stoisisme, konsep serupa disebut Amor Fati, mencintai takdir, termasuk bagian yang tidak menyenangkan. Dalam Islam, ini selaras dengan tawakal dan qana’ah. Ajaran-ajaran lintas budaya Jawa dan Barat ini bertemu pada satu titik penerimaan tertinggi berwujud syukur.

Hedonisme modern membuat manusia terus mengejar kesenangan yang bergerak menjauh. Syukur mengajak kita berhenti dan kembali pada yang hadir saat ini. Ketika seseorang mengucapkan “Alhamdulillah” dengan kesadaran penuh, ia sedang menata ulang sistem sarafnya, amigdala mereda, prefrontal cortex menstabilkan emosi, dan dopamin mengalir lembut menciptakan sakinah.

Syukur adalah jalan, bukan tujuan. Ia menyatukan nalar, tubuh, dan iman. Ia meredam kegelisahan yang lahir dari perbandingan sosial dan menyalakan cahaya batin dalam keterbatasan. Syukur menahan keinginan agar tetap dalam batas sehat. Ia tidak mematikan ambisi. Tapi mencegah ambisi berubah menjadi kecemasan, iri, lelah mental dan perasaan kurang terus menerus.

Dalam bahasa Epictetus, syukur adalah kemenangan atas ego. Dalam bahasa Hamka, kemenangan atas nafsu. Dalam bahasa Jawa, nrimo ing pandum, menerima dengan cinta. Banyak orang mengejar sesuatu bukan karena membutuhkannya, tetapi karena takut kalah, takut dianggap kurang, atau ingin menghilangkankan ketidak amanan internal. Syukur mebuat kita mengejar hal yang benar, dengan cara yang benar, dari tempat batin yang benar.

Tidak perlu sempurna untuk bahagia. Ia telah lama bersemayam di dalam diri, menunggu kita berhenti mengejar dan mulai menyadari. Seperti air bening yang paling indah di dasar yang tenang, demikian pula jiwa memantulkan cahaya syukur sejati ketika ia rela menerima ketidaksempurnaan hidup. Di sinilah, pada persilangan antara ilmu saraf modern dan kearifan spiritual, kita menemukan bahwa syukur bukan hanya emosi, melainkan transformasi holistik yang membuka pintu menuju kedamaian yang abadi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Gunawan Trihantoro, Angkatan Muda Muhammaadiyah dan Anggota Satupena Jawa Tengah, tinggal di B....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Refleksi 112 Tahun Muhammadiyah Oleh: Rumini Zul Fikar, PRM Troketon, Klaten "Dalam rentang waktu ....

Suara Muhammadiyah

16 November 2024

Wawasan

Drh. H. Baskoro Tri Caroko, LPCRPM PP Muhammadiyah. bidang Pemberdayaan Ekonomi Seni dan Budaya Mem....

Suara Muhammadiyah

10 October 2024

Wawasan

Pengakuan Negara Terhadap Pengabdian Muhammadiyah: Bintang Mahaputra Utama untuk Haedar Nashir dan A....

Suara Muhammadiyah

28 August 2025

Wawasan

Halal Bihalal: Silaturahmi yang Menyehatkan Jiwa Oleh: Ahsan Jamet Hamidi/Ketua Ranting Muhammadiya....

Suara Muhammadiyah

14 April 2025