Salafisme Versus Muhammadiyah, Puritanisme Historis Versus Moderat Berkemajuan

Publish

18 May 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
627
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Salafisme Versus Muhammadiyah, Puritanisme Historis Versus Moderat Berkemajuan

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Universitas Al Azhar Indonesia

Salafisme dan Ideologi Puritanisme

Istilah salaf bukanlah hal yang asing dalam diskursus Umat Islam sejak lama. Salaf dimaknai sejak lama sebagai sebuah pemikiran ulama di abad pertengahan (Robbani, 2017). Pemikiran tentang makna salaf ini kemudian memperoleh pemaknaan baru di era teknologi abad-20 yaitu pembentukan sebuah kelompok sosial yang hendak mengajak manusia untuk memurnikan ajaran Islam dengan metode kembali kepada praktik Kenabian masa lalu. Pada keadaan ini ia berubah menjadi sebuah faham (isme) dari makna awalnya. 

Salafisme merupakan sebuah faham yang mengajak umat untuk kembali pada praktik kenabian masa lalu. Salafisme mengacu pada gagasan historis untuk kembali melakukan praktik perilaku dan peribadatan di era Nabi dan sahabat masa lalu. Gagasan romantisme sejarah ini sendiri hakikatnya lahir dari pemikiran bahwa problem keumatan masa kini telah jauh menyimpang dari apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan juga para sahabat masa lalu. Pemilihan model keislaman masa lalu dan membangun sebuah relasi sosial berbentuk kelompok eksklusif ini telah berubah dari gagasan makna salafusshalih pada awalnya (Syaukani, 2022).

Salah satu gagasan pemikiran yang dikembangkan oleh Salafisme adalah ide puritanisme. Sebuah pemikiran yang berfokus pada ide pemurnian Islam secara ketat. Islam harus dijauhkan dari segala hal yang menurutnya tidak bersumber dari Islam dan tidak pernah diajarkan sama sekali oleh Nabi dan para Sahabat, seperti: filsafat, tasawuf, juga penerapan seni dan budaya. Kesemua hal tersebut dianggap sebagai sebuah bid’ah dan kesesatan. Islam harus dimurnikan dengan cara kembali kepada praktik Kenabian dan para Sahabat.

Ide pemikiran ini menjadikan para pemeluk Islam harus terpaku pada teks skriptual dan penerapan doktrin-doktrin hukum secara ketat. Pemahaman atas penggunaan akal menjadi sangat terbatas, dan ia tidak dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan utama dalam menentukan benar dan salah. Dibandingkan penggunaan rasio akal yang luas dalam menginterpretasikan narasi teks keagamaan, kelompok salafi cenderung mengkerdilkan peran akal dalam meninterpretasikan segenap teks keagamaan. Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan melahirkan pemikiran yang otoriter  dibandingkan gagasan yang otoritatif.

Penerapan manhaj sebagai keutamaan milik kaum Salafi, sedangkan diluar kelompoknya tidak bermanhaj menjadi sebuah problematika sosial tersendiri. Manhaj adalah metode untuk menelusuri untuk memahami ajaran Islam yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad Saw. Semua umat Islam yang mengikuti segala hal yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw hakikatnya ia telah bermanhaj, tidak kemudian menjadikan makna manhaj menjadi sangat ekslusif secara sosial dan religi.

Gerakan sosial Salafisme telah memunculkan sebuah kelompok eksklusif tersendiri. Gerakan eksklusif ini tampaknya juga yang membedakan dirinya dengan gerakan salafiyah yang dikumandangkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha (Din Wahid, 2020). Salafisme menjadi sebuah problematika dalam relasi sosial ketika ia menjadi sebuah kelompok eksklusif yang dengan mudah menyalahkan pihak lain yang berbeda dengannya. Menjadikan makna salaf semata kepada kelompok tertentu adalah tidak tepat. 

Muhammadiyah dan Gagasan Moderat Berkemajuan

Muhamamdiyah adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang acapkali mendapat tudingan sebagai organisasi yang berfaham salafisme. Muhammadiyah yang telah berdiri sejak 1912 M., sejatinya telah dikonstruksikan sebagai sebuah organisasi dakwah dengan titik beratnya pada gerakan sosial kemasyarakatan. Walaupun Muhammadiyah memulai gerakannya dulu dengan konsep pemberantasan atas bid’ah, churafat, dan tahayul (TBC) tetapi Muhammadiyah tidak pernah memerangi perilaku budaya manusia. Muhammadiyah tidak pernah mengharamkan musik seperti yang dinyatakan oleh kelompok salafi.

Muhammadiyah memiliki karakter utama yang membedakannya dengan kelompok yang menyatakan dirinya sebagai salafi, yaitu karakter berkemajuan. Dibandingkan dengan kelompok salafi yang terjebak pada romantisme historis dengan ideologi puritanisme. Jebakan ini umum terjadi ketika manusia terperangkap dalam kenangan kejayaan dan kehebatan masa lalu semata. Gagasan puritanisme umumnya akan disandingkan oleh orang yang terjebak di dalamnya untuk memurnikan segalanya karena apa yang tengah dijalani dan dihadapinya saat ini adalah bentuk dari sebuah kerusakan perilaku. Segala yang dilakukan dan dijalankan oleh manusia menjadi salah dan harus dikembalikan ke era masa lalu yang masih murni, dimana menurutnya keadaan masih sejalan dengan garis jalan Tuhan. Gagasan ini mendapat momentum di tangan kaum Salafi, tanpa tersadar bahwa mereka telah membangun sebuah konsep puritanisme-historis yang resisten terhadap moderasi dan modernisasi. 

Dalam konteks ini, maka Muhammadiyah tidak mengusung ide gagasan puritanisme, karena ia tidak ingin terjebak pada romantisme historis masa lalu. Muhamamdiyah lebih cenderung mengusung ide-ide modernitas dan moderat dalam beragama. K.H. Achmad Dachlan sebagai pendiri Muhammadiyah menyatakan tegas: “awit miturut paugeraning agomo kito, serta cocok kaliyan pikajenangipun jaman kemajengan” (mengikuti kaidah-kaidah-kaidah agama Islam, serta sesuai dengan harapan kemajuan zaman). Muhamamdiyah sejak awal berdirinya sudah mengadopsi modernitas peradaban manusia tanpa kehilangan identitasnya keislamannya. 

Sebagai organisasi moderen, ia membangun manusia menuju pada peradaban yang moderen juga moderat. Sebagai organisasi moderat Muhamamdiyah tidak berkonflik dengan ide pengembangan kebudayaan manusia. Tidak pernah sekalipun Muhammadiyah menyatakan bahwa kegiatan grebeg maulid di Keraton Jogjakarta sebagai kegatan bid’ah dan sesat.

Jika kaum Salafi lebih memilih ideologi puritanisme yang cenderung rigid dan kaku terhadap perubahan sosio kulutral dalam kemajuan peradaban manusia, maka Muhammadiyah cenderung jauh lebih adaptif dengan perubahan sosio kultural manusia. Muhammadiyah berdakwah tidak hanya secara lisan, melainkan jauh dari itu ia berdakwah dengan perbuatan melalui gerakan dakwah sosial amalnya. 

Dibandingkan membidahkan, Muhammadiyah lebih cenderung berdakwah dengan berbuat melalui kesehatan, hingga pemerataan pendidikan berkualitas yang dimilikinya. Bahkan Muhammadiyah membangun sebuah relasi kemanusiaan yang sangat humanis dengan pemeluk agama lainnya. Muhammadiyah dengan mudah diterima pada komunitas agama apapun melalui pemerataan pendidikan yang berkualitas hingga ujung timur Indonesia.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag, M.Pd Sebagai anak muda, mengikuti perhelatan besar Musyawarah Nas....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Wawasan

JSM, SUMU DAN PUPUKMU Khafid Sirotudin Ada pertanyaan menarik dari seorang peserta Rakorwil UMKM M....

Suara Muhammadiyah

4 February 2024

Wawasan

Menyeimbangkan Akal dan Wahyu Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ....

Suara Muhammadiyah

24 May 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Haruskah kita mengatakan Allah ....

Suara Muhammadiyah

24 June 2024

Wawasan

Simpul Kader Muhammadiyah: Mendayung di Antara Tiga Pasangan Calon Oleh: Ahmad Ashim Muttaqin, Kade....

Suara Muhammadiyah

8 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah