Religius dan (Tidak) Abai Lingkungan: Membaca Temuan Survei REACT PPIM UIN Jakarta
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah
Menghadiri diskusi yang dihelat oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) pada 6 Agustus 2025 lalu, saya menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengendap. Sebagai alumni IAIN yang kemudian berkecimpung di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), saya selalu merasa cemburu: mengapa isu lingkungan jarang sekali diperbincangkan di ruang publik komunitas Muslim di Indonesia—mulai dari forum-forum pengajian, kajian subuh, hingga menjadi topik dalam materi khotbah Jumat atau kultum Ramadan?
Dari sekian banyak perguruan tinggi berbasis agama di Indonesia, belum banyak yang memiliki lembaga studi lingkungan yang aktif. Dalam percakapan keseharian di lingkungan kehidupan keagamaan pun, tema lingkungan masih kalah jauh dibandingkan tema-tema seperti aurat perempuan, poligami, minuman keras, dan perilaku maksiat lain dalam perbincangan kaum agamawan di ruang publiknya.
PPIM merilis hasil survei nasional REACT (Religious Environmentalism Actions) yang memuat temuan tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku Muslim Indonesia terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Bagi saya, lembaga ini kredibel dan berintegritas dalam melakukan survei. Dalam prosesnya, mereka telah mewawancarai 3.397 responden berusia 15 tahun ke atas dari seluruh provinsi di Indonesia. Saya memuji hasil risetnya—kali ini riset PPIM benar-benar menapak bumi dan mampu menjawab banyak sekali tanda tanya yang selama ini mengendap.
Dalam diskusi itu, ada peserta yang menyatakan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh rusaknya lingkungan, bisa jauh lebih besar dan langsung menyentuh banyak sisi kehidupan sehari-hari umat beragama, dibandingkan dengan dampak langsung dari persoalan manajemen aurat. Tentu saja, kesimpulan itu subjektif dan tidak bisa digeneralisasi karena perbedaan sudut pandang masing-masing orang.
Dari riset PPIM ini, saya bisa menemukan jawaban. Berikut adalah ringkasannya:
Saya setuju bahwa Indonesia tengah menghadapi persoalan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang cukup serius. Berdasarkan Indeks Kinerja Lingkungan tahun 2022 (Environmental Performance Index / EPI) (Wolf et al., 2022), Indonesia berada di peringkat ke-164 dari 180 negara, dengan skor 28,20. Hal itu jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Filipina, Kamboja, dan Laos. Indeks tersebut mengindikasikan betapa rendahnya usaha Indonesia dalam mengatasi tantangan persoalan lingkungan hidup, ditinjau dari aspek kesehatan lingkungan, perlindungan ketahanan ekosistem, dan mitigasi perubahan iklim.
Realitas penting lainnya adalah bahwa masyarakat Indonesia itu bercorak sangat religius. Mereka berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai religius ke dalam kehidupan keseharian, sehingga agama menjadi salah satu elemen fundamental yang membentuk pandangan dunia, sikap, dan perilaku dalam berbagai aspek kehidupan. Prof. Ismatur Ropi dari PPIM juga menjelaskan bahwa agama berperan dalam pengaturan tingkah laku manusia dan berfungsi sebagai pengatur relasional antara individu dengan individu lain dalam dunia fisik, maupun terkait relasi individu dalam pencarian batiniah yang tidak tampak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, lumrahnya agama mengajarkan pemeluknya untuk terikat pada keselarasan dengan lingkungan fisik yang mengitarinya. Meski demikian, survei ini menemukan adanya dualitas peran agama dalam membentuk pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan. Di satu sisi, nilai-nilai ajaran agama yang konservatif membentuk pandangan bahwa manusia adalah penguasa yang dapat melakukan apa saja terhadap alam demi kepentingan mereka. Nilai-nilai ini juga membentuk perilaku individu yang cenderung kurang ramah terhadap lingkungan, baik dalam gaya hidup pribadi maupun aktivisme di ruang publik.
Survei ini juga mengungkapkan dilema pandangan masyarakat Muslim di Indonesia dalam mengedepankan persoalan lingkungan atau kepentingan ekonomi. Meskipun banyak Muslim tahu dan yakin akan terjadinya perubahan iklim serta dampak negatif dari aktivitas ekonomi seperti pertambangan, sebagian besar orang Islam ternyata masih melihat usaha tambang sebagai peluang ekonomi yang penting.
“Temuan ini menunjukkan sikap umat yang mendua. Di satu sisi, banyak yang setuju bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh aktivitas ekonomi seperti tambang. Namun di sisi lain, masyarakat Muslim di Indonesia cenderung setuju jika pesantren atau ormas memiliki bisnis tambang untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi,” jelas Prof. Iim Halimatusa’diyah, Koordinator Survei Nasional REACT – PPIM UIN Jakarta.
Perilaku Ramah Lingkungan Masih Elitis?
Hasil survei menunjukkan, 69,91% Muslim yang berafiliasi dengan Muhammadiyah setuju bahwa perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas ekonomi seperti pertambangan dan perkebunan sawit. Namun hanya 29,88% Muslim yang berafiliasi dengan NU mendukung pesantren atau ormas memiliki usaha serupa untuk meningkatkan ekonomi.
PPIM berpihak pada data empiris—bukan mendorong ormas keagamaan untuk pro-tambang—karena mereka sudah memiliki pandangan masing-masing. Survei ini juga menunjukkan bahwa 70,43% Muslim Indonesia mengetahui tentang perubahan iklim, dengan 76,82% yakin dan 19,38% sangat yakin bahwa fenomena ini sedang terjadi. Namun, hanya 49,65% responden sangat khawatir terhadap kerusakan lingkungan, dibandingkan dengan 58,35% yang lebih khawatir terhadap kriminalitas. Sebanyak 46,07% percaya bahwa manusia adalah penyebab utama kerusakan lingkungan, sementara 37,72% menyebut faktor alami, dan 6,21% menganggap keduanya berperan.
Temuan lain menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat Muslim terkait gerakan dan isu lingkungan yang berlandaskan nilai-nilai Islam—atau yang dikenal sebagai Green Islam—masih sangat minim. Secara umum, masyarakat Muslim di Indonesia masih banyak yang tidak tahu, tidak setuju, dan tidak mempraktikkan nilai-nilai yang mencerminkan semangat Green Islam.
Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat pemahaman terhadap istilah-istilah seperti eco-pesantren, fiqih penanggulangan sampah, Fiqih Air, atau fatwa MUI terkait isu lingkungan. Perilaku ramah lingkungan masih terkonsentrasi di kalangan elite, terutama mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi. Praktik yang lebih umum di masyarakat biasanya dilakukan karena ada insentif ekonomi langsung, seperti penghematan air dan listrik.
Inovasi Akar Rumput
Meskipun demikian, saya sependapat dengan pandangan Testriono, Ph.D., Koordinator Riset Inovasi Lingkungan Muslim Indonesia dari PPIM, bahwa inovasi sederhana di tingkat akar rumput sangat efektif dan tetap harus terus digerakkan. Misalnya, mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos, memanfaatkan wakaf untuk penghijauan, hingga mengelola ekowisata berbasis masjid. Keberhasilan inovasi hijau ini dipengaruhi oleh partisipasi aktif warga, keterlibatan institusi agama, dan peran inisiator lokal yang mendorong perubahan sosial. Praktik-praktik tersebut tidak hanya memberikan manfaat ekologis, tetapi juga memperkuat kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ajaran Islam.
Sebagai pegiat EcoBhinneka Muhammadiyah yang selama ini berusaha memperjuangkan isu kerukunan dan kelestarian lingkungan, saya semakin percaya diri dan yakin bahwa kawan-kawan EcoBhinneka Muhammadiyah sudah berada di jalan yang benar. Kini saatnya memperluas praktik-praktik kecil yang selama ini sudah dijalankan dan bermanfaat bagi masa depan kerukunan dan kelestarian alam serta kemaslahatan hidup bersama dalam rumah besar Indonesia yang beragam.