Ramadhan, Lebaran dan Sikap Egaliter
Oleh: Royyan Mahmuda AlArisyi Daulay, S.H.,M.H., Bidang Advokasi PCPM Bumiayu & Aktivis JIMM
Ramadhan sudah hampir berakhir. Tamu yang sangat agung dan istimewa itu akan pergi meninggalkan kita. Selayaknya tamu, pasti akan selesai berkunjung dan pergi. Tinggal menyisakan kesan. Mendalam atau tidak itu urusan si penerima tamunya.
Tentu muncul berbagai perasaan tatkala Ramadhan akan berakhir. Ada yang berbahagia karena telah usai kewajiban menjaga diri dari godaan lapar dan dahaga selama satu bulan penuh. Ada yang bersedih karena atmosfer Ramadhan akan berakhir. Sahur diingatkan oleh setiap masjid atau mushola, buka bersama, tarawih serta berbagai kegiatan baik yang dilakukan dalam bulan Ramadhan tidak terlepas dari suasana yang diciptakan oleh masyarakat untuk mendukung segala peribadatan itu. Sehingga wajar saja jika khawatir apakah di bulan-bulan lain bisa mendapatkan rasa yang serupa saat Ramadhan atau tidak.
Lalu ada juga yang merasa gamang. Bahagia dan sedih bercampur menjadi satu. Bahagia karena telah usai kewajiban berpuasa, namun sedih juga karena akan berpisah dengan bulan yang sangat mendukung jiwa dan raga untuk melakukan banyak amal solih. Pasalnya, hati benar-benar terasa dilembutkan saat bulan Ramadhan. Mudah terenyuh dan berempati dengan banyak fenomena. Rasa kemanusian semakin sensitif, sehingga tidak tega melihat orang lain menderita.
Perasaan yang bercampur aduk ketika Ramadhan berakhir adalah hal yang manusiawi. Wajar. Karena begitulah Ramadhan. Namun, apakah hikmah Ramadhan kita hanya sebatas perasaan seperti itu? Tentu seharusnya tidak. Ada banyak hal yang dapat berdampak bagi pribadi setiap muslimin dan muslimat ketika telah berpuasa Ramadhan. Sehingga pada akhirnya ketika Ramadhan berakhir dan berjumpa dengan momen Hari Raya Idul Fitri, kita mampu melanjutkan apa yang sudah diamalkan selama Ramadhan dalam bulan-bulan setelahnya termasuk saat Lebaran.
Sikap Egaliter
Salah satu sikap yang harus diamalkan saat Lebaran adalah Sikap egaliter. Egaliter ini adalah pandangan atau sikap yang menekankan pada kesetaraan hak dan perlakuan terhadap setiap individu, tanpa membedakan latar belakang, status sosial, agama, jenis kelamin, atau ras. Dalam masyarakat yang mengusung sikap egaliter, setiap orang dianggap memiliki nilai yang sama dan berhak mendapatkan kesempatan yang adil dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, dan hak politik.
Sikap ini bertujuan untuk mengurangi ketidakadilan dan diskriminasi, serta menciptakan lingkungan yang inklusif di mana setiap individu dapat berkembang tanpa adanya hambatan berdasarkan perbedaan sosial. Prinsip egaliter sering kali tercermin dalam berbagai kebijakan sosial, seperti pemberian akses yang setara terhadap layanan publik, penerimaan terhadap keberagaman, dan pembelaan terhadap hak asasi manusia.
Secara praktis, sikap egaliter juga mengharuskan adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan dan memperlakukan orang lain dengan rasa hormat dan empati. Ini juga mendorong penerimaan terhadap ide bahwa tidak ada satu kelompok pun yang lebih unggul daripada yang lain, dan setiap orang berhak untuk hidup dengan martabat yang sama.
Bentuk sikap egaliter dalam perayaan Hari Raya Idul Fitri dapat terlihat dalam beberapa aspek yang menunjukkan kesetaraan, saling menghormati, dan kepedulian terhadap sesama.
Salah satu bentuk nyata sikap egaliter dalam Idul Fitri adalah kewajiban membayar zakat fitrah. Zakat fitrah diberikan kepada mereka yang membutuhkan, memastikan bahwa orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk mereka yang kurang mampu, juga dapat merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan penuh kebahagiaan. Ini mencerminkan prinsip kesetaraan dengan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk merayakan hari besar tersebut, terlepas dari kondisi ekonomi mereka.
Saat merayakan Idul Fitri, tradisi bersalaman dan saling mengucapkan selamat sering dilakukan di banyak tempat. Sikap egaliter pun seharusnya tercermin dalam perbuatan ini, di mana orang dari berbagai latar belakang, status sosial, maupun jabatan saling berinteraksi dan mengucapkan selamat tanpa ada rasa perbedaan. Ini menunjukkan bahwa dalam momen kebahagiaan tersebut, semua orang dihargai sama, tanpa memandang status atau kedudukan mereka.
Selain itu Idul Fitri sering kali melibatkan pertemuan dengan keluarga, teman, dan tetangga, yang mungkin memiliki perbedaan agama, suku, atau latar belakang budaya. Namun, dalam semangat hari raya, perbedaan tersebut dihargai dan diterima dengan lapang dada. Sikap egaliter pun dapat tercermin dalam bagaimana kita menghargai dan menerima orang lain tanpa membedakan perbedaan tersebut.
Dengan demikian seharusnya perayaan Idul Fitri dapat menjadi momen yang memperkuat nilai-nilai kesetaraan dan persatuan, di mana semua orang, baik kaya maupun miskin, muda maupun tua, merasa dihargai dan dapat merasakan kebahagiaan yang sama.
Tidak perlu memerkan apa yang sudah kita miliki kepada orang lain saat silaturahmi Lebaran dengan dalih fastabiqul khoirot. Karena, sejatinya berlomba-lomba dalam kebaikan bukanlah untuk saling memerkan kekayaan ataupun hal-hal baik yang sudah kita lakukan dengan perasaan riya kepada orang lain. Melainkan menjadi spirit bagi diri sendiri untuk selalu berlaku baik setiap saat.
Pun tidak perlulah menanyakan banyak hal yang dapat menyakiti perasaan orang lain. "Sudah menikah belum? Sudah punyak anak belum? Sudah bekerja belum? Sudah lulus belum? Serta pertanyaan-pertanyaan serupa yang dapat menghilangkan mood lawan bicara, sebaiknya dihindari. Karena Lebaran seharusnya mampu menghadirkan sikap saling menghargai dan menghormati, yang mana itu adalah prinsip utama sikap egaliter. Mari berlebaran dengan tanpa merendahkan. Salam.