PTMA dan Catur Dharma: Menenun Ilmu, Iman, dan Amal

Publish

30 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
193
Kampus UAD

Kampus UAD

Oleh: Sucipto, M.Pd. B.I., Ph.D.

Bekerja di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) adalah anugerah, sekaligus amanah yang besar. Ada harapan dari Persyarikatan, dari umat, bahkan dari sejarah itu sendiri, bahwa kampus ini bukan hanya tempat belajar dan mengajar, tetapi juga bagian dari medan dakwah. Namun dalam kenyataannya, tidak selalu mudah menjaga kesadaran itu.

Sering kali, rutinitas membuat saya terjebak dalam aktivitas administratif yang mekanis. Seakan semuanya hanya soal menyelesaikan kewajiban, mengisi laporan, dan menjalankan tugas formal. Dalam diam, saya bertanya pada diri sendiri: apakah yang saya lakukan selama ini sungguh bagian dari misi dakwah? Apakah aktivitas mengajar, meneliti, dan menulis sudah benar-benar berangkat dari nilai iman, dan diniatkan sebagai jalan ibadah?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bukan karena ragu atas pilihan, melainkan sebagai pengingat. Sebab, saya sadar, menjadi dosen di PTMA tidak cukup hanya kompeten secara akademik, tetapi juga harus menyatu dengan semangat Persyarikatan. Saya pun mencoba kembali menyelami, mengapa Muhammadiyah mendirikan perguruan tinggi. Bukan sekadar sebagai sarana pembelajaran mencetak sarjana, namun juga sebagai media dakwah. Artinya, seluruh amal usaha pendidikan Muhammadiyah tidak bisa lepas dari fungsinya sebagai syi’ar Islam. Di situlah saya merasakan pentingnya kembali menyambung benang antara ilmu, iman, dan amal.

Membaca Cermin: Etos Muhammadiyah dan Tanggung Jawab Diri

Saya teringat pada pesan Prof. Haedar Nashir tentang lima etos Muhammadiyah yang diwariskan dari KH. Ahmad Dahlan. Ketika membaca uraian itu, saya merasa seperti sedang diajak bercermin. Lima etos itu seakan mengajukan pertanyaan yang sulit saya jawab secara jujur.

Etos Pergerakan – Apakah saya terus bergerak menyebarkan kebaikan, atau sudah mulai letih dan hanya menjalani rutinitas?
Etos Ilmu – Apakah semangat mencari dan menyebarkan ilmu masih tumbuh karena Allah, bukan hanya demi gelar atau pengakuan?
Etos Amaliyah – Apakah amal saya hanya sekadar pengulangan aktivitas, atau sungguh bernilai dan berdampak?
Etos Perubahan – Apakah saya cukup rendah hati untuk terus memperbaiki diri dan lingkungan, tanpa kehilangan prinsip?
Etos Kemajuan – Apakah saya mampu bergerak ke depan tanpa tercerabut dari akar spiritual?
Kelima etos ini, saya sadari, bukan hanya tuntunan moral personal. Ia menjadi kerangka ruhani dari semua aktivitas akademik kita, yang terangkum dalam Catur Dharma PTMA: pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan). Empat bidang ini, jika dilihat lebih dalam, bukanlah daftar pekerjaan semata, melainkan ladang dakwah yang Allah titipkan melalui profesi ini.

Catur Dharma: Jalan Sunyi Menuju Ridha

Mengajar, meneliti, mengabdi, dan menanamkan nilai-nilai AIK kerap terasa sebagai kewajiban administratif. Namun, ketika direnungi lebih jauh, semua itu justru bisa menjadi jalan sunyi yang mengantar pada kedekatan dengan Allah, asal niatnya dijaga dan ruhnya dirawat.

Saya kembali diingatkan bahwa dosen di PTMA sejatinya sedang berdakwah, meski bukan dari atas mimbar. Dakwah bisa lahir dari tulisan, dari diskusi kelas, dari cara kita merespons mahasiswa, dari komunikasi dengan kolega, etika dalam rapat, bahkan dari kesabaran menghadapi situasi sulit. AIK bukan hanya bagian dari struktur kurikulum, tapi cara memandang hidup. Barangkali tidak setiap hari kita bisa semangat, namun setiap hari adalah kesempatan untuk kembali menyambung makna profesi ini dengan dakwah.

Dalam proses ini, saya merasa tertuntun untuk membaca kembali Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), khususnya bagian tentang pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Terdapat pesan yang menggugah:

"Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu media dakwah Persyarikatan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, semua kegiatan dalam AUM harus mengarah pada misi utama Muhammadiyah, dan seluruh pengelolanya berkewajiban menjalankan misi ini sebagai amanah dakwah."

Saya terdiam membaca kalimat itu. Bahwa bekerja di PTMA bukan sekadar aktivitas profesi, melainkan bentuk pengabdian kepada Allah, sarana berbuat kebajikan, dan medan taat yang tak terlihat kemegahannya, tetapi dicatat oleh-Nya.

Dalam PHIWM juga ditegaskan bahwa karyawan AUM diharapkan menjaga rasa memiliki, menumbuhkan kesyukuran, dan menghindari keluh kesah berlebihan yang melemahkan ruh pengabdian. Ditekankan pula pentingnya menunjukkan keteladanan, menjaga sikap ihsan, bermuamalah secara ikhlas dan penuh adab, serta membiasakan diri dengan aktivitas ruhiyah seperti pengajian, tadarus, dan ibadah sosial sebagai penopang nilai spiritual dalam amal sehari-hari.

Semua ini bukan hal baru, tetapi bisa terlupakan. Dan ketika lupa, kita mulai merasa hampa, meski sibuk. Maka PHIWM seolah menjadi alarm jiwa, agar kita kembali menata niat dan memperbaharui semangat.

Pesan Kiai Dahlan dan Doa yang Tak Pernah Usang

Di akhir perenungan ini, saya kembali disentuh oleh pesan Kiai Dahlan yang selama ini sering terdengar, namun kini terasa menghujam lebih dalam:

"Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah."

Kalimat ini terasa seperti menundukkan kepala saya sendiri. Ia bukan hanya peringatan, tetapi juga ajakan untuk bertumbuh. Bahwa Persyarikatan ini bukan tempat mencari penghidupan semata, melainkan ladang untuk menghidupkan nilai-nilai kebenaran, keikhlasan, dan perjuangan. Maka, siapa pun yang berada dalam amal usaha Muhammadiyah, termasuk di PTMA, sedang ditantang untuk menjadi bagian dari ruh itu.

Saya sadar, perjalanan ini belum selesai. Bahkan mungkin masih jauh dari sempurna. Tapi saya percaya, sebagaimana pesan dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11, “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.” Dan bahwa tiada amal kecil yang disia-siakan jika dilakukan dalam iman dan niat yang bersih.

Akhirnya, saya ingin melihat PTMA bukan hanya sebagai tempat saya mengajar, tetapi juga tempat saya belajar: tentang dakwah, tentang pengabdian, dan tentang menenun kembali benang-benang ilmu, iman, dan amal, meski kadang kusut, meski warnanya belum sempurna.

Semoga Allah membimbing setiap langkah kecil kita, dan menjadikan aktivitas yang belum sempurna ini sebagai bagian dari fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan, menuju ridha dan derajat tinggi di sisi-Nya. []

Penulis adalah Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris UAD

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Persoalan pelik sampah masih membayangi wajah Yogyakarta. Mer....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Berita

KETAPANG, Suara Muhammadiyah – Sebanyak 40 guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) se-Kabupaten Ketapang....

Suara Muhammadiyah

14 July 2025

Berita

SIDOARJO, Suara Muhammadiyah – Suara Muhammadiyah bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah ....

Suara Muhammadiyah

27 June 2024

Berita

MEDAN, Suata Muhammadiyah -  Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) menjadi tuan rumah ....

Suara Muhammadiyah

21 December 2024

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah – Majelis Pendidikan Dasar dan Menengan dan Pendidikan Non Formal (D....

Suara Muhammadiyah

7 September 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah