Politik Islam Sejatinya Sarat dengan Ijtihad

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
687
Haedar Nashir Rakernas LHKP PP Muhammadiyah

Haedar Nashir Rakernas LHKP PP Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dalam Muktamar ke-48 di Surakarta, setidaknya ada 24 aitem program per bidang dan 6 program umum yang telah dibagi habis kepada seluruh majelis, lembaga, dan biro di tingkat pusat. Namun yang menjadi tugas rumah adalah bagaimana setiap majelis, lembaga hingga biro melaksanakan dan menyelesaikan program tersebut tanpa menambah program lain di luar yang telah ditetapkan. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat membuka Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (29/9).

“Tentu yang bisa kita lakukan adalah mengelaborasi dan menjabarkan setiap program menjadi kegiatan. Artinya RAKERNAS ini jangan sampai berubah menjadi Muktamar atau Tanwir, termasuk juga jangan melakukan deklarasi, apalagi yang melampaui otoritas Pimpinan Pusat Muhammadiyah,” tegas Haedar yang disambut tepuk tangan para peserta.

Dalam hal ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah selalu berusaha melihat setiap persoalan dari berbagai sudut pandang. Tak terkecuali saat memasuki tahun politik 2024, Muhammadiyah dihadapkan pada dua hal krusial, yaitu kualitas dan signifikansi pengaruh dalam kehidupan berbangsa dan benegara. Dimana hal tersebut tidak dapat dibeli dengan kuantitas.

Haedar menegaskan bahwa pengaruh dalam kekuasaan tidak muncul hanya dari satu sumber (kuantitas), tapi juga datang dari banyak hal. Di antaranya dari otoritas ruhani, trust atau kepercayaan, hingga aspek kualitas juga dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam memberikan daya tawar di kekuasaan. Cara pandang Muhammadiyah semacam ini tentu sangat berbeda dengan cara pandang lembaga survei yang hanya melihat sesuatu hanya dari sisi kuantitas.

Dalam perjalanan panjang pengabdiannya untuk negeri dan kemanusiaan, tak dapat dipungkiri bahwa penekanan yang kuat pada sisi kualitas menjadikan Muhammadiyah memiliki berbagai amal usaha, dan tak jarang membuat banyak orang takjub.

Dalam referensi Muhammadiyah, istilah politik sejatinya sudah berada pada tempatnya. Di Tanwir 1956 ada perbincangan terkait bagaimana sikap politik Muhammadiyah dengan Partai Masyumi. Keputusan yang diambil pada waktu itu adalah dengan tetap menjadi anggota Masyumi namun tidak berada di dalam. Akibat dari intensitas yang tinggi di dalam partai membuat banyak amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan menjadi terbengkalai. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah memilih berada di luar area politik praktis hingga sekarang.

“Oleh karena itu politik harus dibaca dalam konteks yang holistik,” ujarnya.

Berkaca dari konteks politik secara umum, Muhammadiyah menempatkan politik sebagai nilai dari seluruh alam pikiran dan tindakan. Dengan kata lain Muhammadiyah tidak membeda-bedakan antara urusan politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan lain sebagainya. Semuanya merupakan satu kesatuan. Namun dalam hal pilihan gerakan, Muhammadiyah sudah sejak awal memilih untuk tidak berpolitik praktis melalui sistem kepartaian. Muhammadiyah mengambil jalan politik kemasyarakatan, politik kebangsaan, dan politik kenegaraan yang menurutnya  lebih sesuai dengan nilai Islam rahmatan lil alamin.

“Sebenarnya ini bisa kita lihat sebagai sebuah ijtihad politik, dimana jika dipandang dari sudut pandang moderat, Islam tidak mengulas secara detail, tunggal, dan konkrit mengenai politik, khususnya terkait dengan sistem kekuasaan,” ujarnya.

Dalam sejarah, tidak ada sistem politik tunggal dalam Islam. Nabi pun tak pernah memberikan tawaran yang tunggal dan verbal soal siapa yang akan menjadi pemimpin. Realitas ini sejatinya dapat menjadi sinyal yang kuat bagi Muhammadiyah untuk selalu menempatkan politik sebagai urusan keduniaan yang perlu dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Kesimpulannya, politik Islam itu sejatinya sarat dengan ijtihad. Namun belakangan di tangan kaum Islamis, corak politik Islam yang sebenarnya luwes berubah menjadi politik yang berorientasi tunggal, politik dimaknai sebatas hanya soal sistem pemerintahan. Akhirnya politik Islam menjadi absolut, tunggal, dan serba prinsip.

Maka tidak heran jika politik Islam modern saat ini kehilangan tiga kemampuan pentingnya. Pertama, kemampuan negosiasi. Kedua, kemampuan beradaptasi. Karena sistem politik tunggal yang mereka anut dan segalanya serba prinsip, akan sangat sulit bagi mereka beradaptasi dengan situasi politik yang lebih cair. Ketiga, kemampuan berkompromi.

 

“Akibat dari ketidakmampuan mengelola tiga kemampuan ini, terjadilah kegagalan politik Islam. Hal ini akhirnya menjadi akumulasi dari politik Islam semakin reaktif yang melahirkan neo-fundamentalisme Islam. Kecenderungan inilah yang kemudian membawa sikap beragama semakin keras,” ungkap Haedar. (diko)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

Bagian Peluncuran Penerimaan Mahasiswa Baru UNISA 2024/2025 YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Univer....

Suara Muhammadiyah

30 October 2023

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Kelompok Bimbingan Haji (KBIHU) ‘Aisyiyah Kota Yogyakart....

Suara Muhammadiyah

7 March 2024

Berita

BANTUL, Suara Muhammadiyah - Lembaga Dakwah Komunitas PWM DIY selenggarakan dakwah berbasis komunita....

Suara Muhammadiyah

14 October 2024

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Kehadiran artificial intelligence (AI) di tengah aktivitas berbagai pr....

Suara Muhammadiyah

20 February 2024

Berita

BANTUL, Suara Muhammadiyah - Pegiat Pendidikan Indonesia (Pundi), sebuah Yayasan berfokus pada pendi....

Suara Muhammadiyah

2 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah