Pesan Keagamaan Muhammadiyah untuk Aksi Iklim
Pergilah kemanapun di negeri ini. Di kota maupun desa dan pinggiran keduanya. Di sungai-sungai, irigasi, dan got-got setiap kampung dan kota. Apalagi sekitar pasar. Sampah menumpuk, memadati, dan berserakan tidak karuan. Bau sampah menyengat, menebar cemar yang merusak kesehatan.
Sungai besar maupun kecil tidak indah lagi, lebih-lebih di musim kemarau. Sungai berubah dari aliran air ke aliran sampah. Sungai identik dengan tempat pembuangan sampah. Sangat memprihatinkan dan mengerikan (Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi)
Udara pagi Bumi Parahyangan sungguh menyegarkan pernafasan. Matahari yang mulai menyinari menjadikan pemandangan tampak indah desa di Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kampung halaman Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi. Saban ada kesempatan pulang kampung, KH Haedar Nashir menyempatkan untuk berkeliling sembari bernostalgia dan bercengkrama terkait berbagai hal dengan warga.
Seperti dalam unggahan di media sosial KH Haedar Nashir menjelang akhir 2023 di atas, dirinya prihatin dengan permasalahan sampah yang menjadi permasalahan masyarakat. “Sungguh, sampah jadi ancaman kehidupan yang merusak ekosistem. Bulan-bulan terakhir sejumlah kota bahkan dilanda inflasi dan banjir sampah. Tempat Pembuangan Sampah bermasalah di mana-mana. Tapi sebagus tempat pembuangan sampah, manakala penduduknya jorok dan sembarangan membuang sampah, urusan akan tetap bermasalah,” urainya menambahkan.
Lebih lanjut lagi permasalahan ini berakar pada pola perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kebiasaan masyarakat dalam mengelola sampah. Banyak orang masih membuang sampah sembarangan, meskipun telah tersedia tempat pembuangan yang diklasifikasikan berdasarkan jenisnya. Upaya teknis seperti itu pun belum diterapkan secara merata di semua lingkungan. Gerakan shadaqah sampah yang digagas Muhammadiyah di Yogyakarta juga belum tersebar luas. Akibatnya, kebiasaan membuang sampah tanpa aturan tetap berlanjut, terutama sampah plastik yang terus mencemari lingkungan, meskipun beberapa kota mulai menerapkan kebijakan bebas plastik.
Seyogyanya Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, memiliki potensi besar dalam menggerakkan kesadaran dan tindakan kolektif untuk menjaga kelestarian lingkungan. Agama Islam, dengan sejarah panjangnya dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, memiliki nilai-nilai yang relevan dalam konteks pelestarian alam. Maka tak heran lagi jika tokoh Islam di Indonesia memiliki pengaruh besar termasuk dalam isu iklim dan lingkungan
Sejurus dengan riset Purpose, tokoh atau pemimpin agama di Indonesia, khususnya di kalangan Muslim, memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi sebagai pembawa pesan terkait isu iklim. Dengan posisi yang sangat strategis untuk menggerakkan perubahan, namun keterlibatan tokoh atau pemimpin Muslim dalam wacana iklim masih minim. Kajian kualitatif juga menegaskan adanya konsensus di antara pemimpin Islam bahwa ajaran Islam secara jelas mendukung perlindungan lingkungan. Diantaranya tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi untuk menjaga kelestarian alam, tidak hanya untuk kebaikan diri sendiri tetapi juga untuk masyarakat luas.
Riset Purpose dilakukan Agustus-September 2024 melalui survei kuantitatif nasional terhadap 3.000 Muslim dan studi kualitatif terhadap hampir 100 pemuka agama Islam melalui FGD dan wawancara mendalam. Riset ini bertujuan untuk lebih memahami perspektif Muslim terhadap aksi iklim dan meningkatkan strategi keterlibatan, serta memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan di sektor iklim melalui berbagai wawasan strategis yang dapat mempercepat tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Para pemimpin agama ini menyadari bahwa perubahan iklim dan kerusakan lingkungan adalah akibat dari perilaku manusia. Mereka percaya bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan ini. Kesadaran dan pemahaman yang kuat tentang tantangan iklim di kalangan pemimpin agama ini merupakan modal penting. Melibatkan mereka sebagai penggerak perubahan iklim dapat memperluas dukungan untuk aksi iklim dan mencapai masa kritis yang diperlukan untuk mendorong kebijakan berdampak dan perubahan sistemik.
Sebanyak 22% responden sepakat bahwa para pemimpin agama adalah pembawa pesan iklim yang paling dipercaya di kalangan Muslim Indonesia. Dok Purpose
KH Haedar Nashir menyoroti peran penting Islam dan khususnya Muhammadiyah dalam merespons tantangan lingkungan global. Islam mengajarkan prinsip dasar tentang pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari ajaran agama. Konsepnya berbeda dengan pandangan yang mengarah pada "nol pertumbuhan" atau konservasi mutlak tanpa pemanfaatan. Islam mendorong manusia untuk memanfaatkan alam dan sumber dayanya, namun dengan batasan yang jelas: tidak boleh merusak. Prinsip "membangun tanpa merusak" menjadi landasan penting dalam pandangan Islam terhadap pengelolaan lingkungan.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah mengambil peran aktif dalam isu lingkungan. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai inisiatif dan program yang dicanangkan. Pada perayaan Milad ke-111, Muhammadiyah bahkan secara khusus mencanangkan pusat studi perubahan iklim, yang diawali dengan seminar internasional. Langkah ini menunjukkan komitmen organisasi untuk merespons isu krusial perubahan iklim dan mendorong gerakan nyata dalam pelestarian lingkungan.
Gerakan nyata ini tidak hanya berhenti pada tataran seminar, tetapi juga diwujudkan dalam berbagai aksi konkret di lapangan. Muhammadiyah terlibat dalam upaya konservasi, reklamasi lahan, penanaman pohon, dan penciptaan ruang hijau. KH Haedar Nashir sendiri memberikan contoh nyata dengan keterlibatannya dalam kegiatan penanaman pohon di Kulon Progo dan inisiatif pribadi dalam menjaga kebersihan lingkungan di sekitar kediamannya.
Lebih lanjut, inisiatif Muhammadiyah dalam isu lingkungan telah dimulai sejak lama. Pada tahun 2001, atas inisiasi KH Haedar Nashir yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, gagasan pembentukan lembaga lingkungan hidup di Muhammadiyah mulai muncul. Ketertarikannya terhadap isu lingkungan bahkan mengantarkannya untuk melakukan studi banding ke Jerman, bertemu dengan para aktivis lingkungan dan melihat praktik pengelolaan sampah modern. Pengalaman tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya lembaga pengembangan lingkungan hidup yang kemudian berkembang menjadi Majelis Lingkungan Hidup di lingkungan Muhammadiyah.
Tantangan dalam upaya pelestarian lingkungan di Indonesia tidaklah sederhana. Perbedaan konteks pembangunan antara negara-negara maju dan negara berkembang menjadi salah satu faktor utama. Negara-negara maju telah melalui proses pembangunan yang panjang, termasuk dengan dampak kerusakan lingkungan yang signifikan, dan kini mulai berfokus pada pemulihan dan transisi energi. Sementara itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia masih dalam tahap pembangunan yang memerlukan pemanfaatan sumber daya alam, yang tak jarang menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Bahkan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) dan buku Teologi Lingkungan yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid serta Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, memiliki landasan kuat dalam memberikan arahan dan inspirasi bagi masyarakat dalam menjaga lingkungan. Berbagai keputusan resmi yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah dapat menjadi pedoman bagi gerakan kolektif dalam upaya pelestarian alam.
Terdapat bab khusus dalam PHIWM tentang Kehidupan dalam Melestarikan Lingkungan. Lingkungan hidup sebagai alam sekitar dengan segala isi yang terkandung di dalamnya merupakan ciptaan dan anugerah Allah yang harus diolah/dimakmurkan, dipelihara, dan tidak boleh dirusak. Kemudian, setiap Muslim khususnya warga Muhammadiyah berkewajiban untuk melakukan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, sehingga terpelihara proses ekologis yang menjadi penyangga kelangsungan hidup, terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan berbagai tipe ekosistemnya dan terkendalinya cara-cara pengelolaan sumber daya alam. Sehingga terpelihara kelangsungan dan kelestariannya demi keselamatan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup manusia dan keseimbangan sistem kehidupan di alam raya ini (QS Al-Maidah [5] : 33; QS Asy-Syu’ara [26] : 152).
Di sisi lain, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan telah menjadi tantangan global yang mendesak, mengancam keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof KH Syafiq Mughni, MA, menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan prinsip pelestarian lingkungan sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.
“Muhammadiyah telah mengeksplorasi dengan baik ajaran Islam yang mengajarkan penyelamatan lingkungan ini. Tetapi tidak cukup hanya dengan eksplorasi ajaran, melainkan ini harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata yang harus dilakukan oleh seluruh warga Islam Muhammadiyah dari pusat sampai tingkat yang paling bawah,” tegasnya.
Muhammadiyah meyakini bahwa nilai-nilai Islam secara mendalam mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Al-Qur’an dan Sunnah secara implisit menekankan konsep pelestarian lingkungan, seperti larangan berbuat kerusakan (QS. Al-A’raf [7]: 56), anjuran hidup sederhana, dan penghargaan terhadap sumber daya alam. KH Syafiq Mughni menjelaskan bahwa ajaran tentang pengelolaan air (ḥifẓ al-mā’), penghijauan (ghirāsah), serta larangan mubazir menjadi landasan etis bagi umat Islam dalam mengelola sumber daya alam.
Sayangnya, meski kerusakan lingkungan semakin nyata, prioritas masyarakat Indonesia khususnya umat muslim belum begitu tinggi terkait isu lingkungan ini. Data penelitian dari Purpose menunjukkan bahwa isu lingkungan hanya menempati urutan keenam, berada di bawah ketenagakerjaan, pendidikan, dan kesehatan. KH Syafiq Mughni mengidentifikasi dua faktor utama di balik fenomena ini. Pertama, kerusakan lingkungan sering kali bersifat lokal dan sporadis. Masyarakat di daerah yang belum terdampak banjir, longsor, atau kekeringan cenderung menganggap isu ini sebagai masalah “orang lain”. Kedua, mayoritas masyarakat kesulitan membayangkan dampak kumulatif kerusakan lingkungan dalam 10-20 tahun ke depan.
Survey tentang isu prioritas umat muslim Indonesia. Dok Purpose
“Masyarakat kebanyakan masih melihat apa yang ada di hari ini. Padahal hari ini itu akan berproses menuju kerusakan kalau kita tidak merubah perilaku kita,” ungkap Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban di Era Presiden Jokowi itu. Mereka cenderung fokus pada kebutuhan sehari-hari tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang, seperti kenaikan permukaan laut atau hilangnya keanekaragaman hayati. Kondisi ini mempertegas perlunya gerakan penyadaran yang masif dan berkelanjutan, karena tanpa perubahan paradigma, upaya pelestarian lingkungan hanya akan stagnan pada level wacana.
Tokoh agama, menurut KH Syafiq, memiliki akses langsung ke masyarakat melalui khutbah, pengajian, dan ceramah. Muhammadiyah mendorong para dai dan ulama untuk memasukkan pesan lingkungan dalam narasi keislaman, seperti mengaitkan pelestarian alam dengan konsep syukur, amanah, dan tanggung jawab manusia sebagai pemelihara bumi. Pendekatan ini dinilai efektif karena menyentuh sisi spiritual dan emosional masyarakat.
Di sisi lain, Muhammadiyah juga menyadari pentingnya melibatkan publik figur dan ahli lingkungan dalam kampanye penyadaran. Ahli lingkungan memberikan legitimasi ilmiah yang dibutuhkan. Misalnya, kampanye tentang bahaya mikroplastik akan lebih berdampak jika disampaikan oleh ilmuwan yang menjelaskan data teknis, kemudian didukung oleh publik figur yang menggalakkan challenge pengurangan sampah di media sosial. Sinergi semacam ini, menurut Muhammadiyah, harus diperkuat untuk menciptakan gerakan yang inklusif dan multidimensi.
Tak hanya di dalam negeri, Muhammadiyah juga aktif dalam diplomasi lingkungan global. Sebagai anggota jaringan organisasi Islam internasional seperti Islamic Relief Worldwide dan Global Muslim Climate Network, Muhammadiyah mendorong kolaborasi lintas negara untuk mengatasi masalah seperti deforestasi, polusi laut, dan emisi karbon. KH Syafiq menegaskan bahwa krisis lingkungan adalah masalah universal yang membutuhkan solusi kolektif. Indonesia, dengan posisinya sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga dan negara dengan populasi Muslim terbesar, memiliki peluang untuk menjadi pionir gerakan lingkungan berbasis nilai-nilai keagamaan. Namun, hal ini harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang konsisten. Misalnya, rehabilitasi mangrove di pesisir tidak hanya mencegah abrasi tetapi juga menyerap karbon, sehingga perlu menjadi agenda prioritas nasional.
Di tengah kerentanan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di Ring of Fire (cincin gunung berapi Asia Pasifik), krisis lingkungan harus dilihat sebagai momentum untuk membangun ketahanan ekologis. Muhammadiyah menekankan bahwa bencana alam dan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia adalah dua sisi mata uang yang sama. Karena itu, gerakan lingkungan tidak boleh hanya reaktif, tetapi juga proaktif. Edukasi tentang mitigasi bencana, pelatihan pertanian berkelanjutan, dan penguatan infrastruktur hijau harus menjadi bagian dari agenda pembangunan jangka panjang.
Muhammadiyah meyakini bahwa penyelamatan lingkungan adalah tugas setiap individu. Setiap langkah kecil seperti mengurangi sampah, menghemat energi, atau menanam pohon adalah kontribusi nyata bagi keberlangsungan bumi. KH Syafiq mengingatkan bahwa Islam mengajarkan konsep "amar ma’ruf nahi munkar" (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran), yang dalam konteks ini berarti setiap Muslim wajib menjadi agen perubahan dalam melawan kerusakan lingkungan.
Selain itu, pesan penting yang disampaikan KH Haedar Nashir adalah kesadaran dan peran aktif generasi muda dalam menjaga lingkungan. Dimulai dari hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya dan memanfaatkan sampah menjadi barang yang berguna, hingga kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik. Contoh konkret dari Muktamar Muhammadiyah di Solo yang menyediakan tempat sampah di setiap sepuluh langkah menjadi teladan dalam membangun budaya peduli lingkungan.
Generasi Z dan generasi Alpha, serta generasi milenial, memiliki tanggung jawab besar untuk peduli terhadap lingkungan. “Bumi adalah satu-satunya tempat tinggal bersama yang harus dijaga dan dilestarikan,” pesan KH Haedar. Gerakan ini harus menjadi panggilan moral bagi seluruh umat manusia, melampaui batas agama, suku, dan negara. Muhammadiyah berkomitmen untuk menjadikan Islam sebagai inspirasi bagi gerakan penyelamatan bumi yang inklusif dan berkelanjutan seperti yang telah dicontohkan langsung oleh para pimpinannya. Karena keteladanan adalah kunci utamanya. (Riz)