PENGAJIAN JANGAN KEHILANGAN RUH
Hari-hari ini, pengajian ada di mana-mana. Di lingkup arisan warga, pengajian ibuibu, pengajian umum lingkup masjid kampung, hingga pengajian bagi pegawai di institusi amal usaha. Ada kajian tematik rutinan setelah shalat Magrib atau Subuh, kajian seminggu sekali setiap Ahad pagi atau Jum'at pagi, ada yang dua minggu sekali, rutinan sebulan sekali, hingga pengajian berbasis hari-hari besar keagamaan. Fenomena ini merupakan hal baik yang patut disyukuri.
Pengajian dalam tradisi masyarakat Muslim Indonesia, bukan sekadar forum belajar agama. Ia merupakan ruang perjumpaan sosial, pengikat tali komunitas, sekaligus cermin dinamika keberagamaan umat. Namun di tengah arus perubahan sosial, budaya, dan teknologi yang sangat cepat, pengajian seringkali mengundang jenuh, dan oleh sebab itu, perlu berbenah. Banyak yang mempertanyakan: apakah pengajian masih relevan? Apakah ia mampu menjawab kegelisahan hidup umat hari ini?
Di banyak tempat, pengajian masih menjadi agenda rutin warga yang terus hidup. Tak ada forum yang bisa menggantikan pengajian. Namun, tak sedikit yang menjalani pengajian hanya sebatas memenuhi tuntutan sosial yang hampa makna. Materi yang disampaikan terasa monoton, minim eksplorasi, dan seringkali diulang tanpa inovasi. Fokusnya pun masih banyak yang berkutat pada masalah perdebatan hukum fikih harian, hal-hal ghaib yang bercampur dongeng, ada yang menyempit atau melebar ke urusan politik partisan, tanpa menyentuh dimensi keislaman yang lebih kontekstual dan relevan.
Ada juga masalah pengelolaan forum yang tidak efektif. Pengajian menjadi forum satu arah dari pengurus dan penceramah; jamaah hanya menjadi pendengar pasif, tanpa diberi ruang untuk mengusulkan tema, bertanya atau berpikir kritis. Perlahan, pengajian mengarahkan umat pada polarisasi. Ada pengajian yang tanpa sadar menjadi corong ideologi politik sang tokoh dan menjauh dari semangat rahmatan lil ‘alamin.
Selengkapnya dapat membeli Majalah Suara Muhammadiyah digital di sini Majalah SM Digital Edisi 11/2025