Pendidikan dan "Gelombang Olok-Olok" di Media Sosial

Publish

11 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
790
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Pendidikan dan "Gelombang Olok-Olok" di Media Sosial

Oleh: Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani 

Banyak orang bilang, mendekati Pemilu 5 tahunan seperti sekarang ini, lazim disebut Tahun Politik. Berbagai gerakan politik terus menguat dan mewarnai dinamika kehidupan masyarakat, mulai dari pemasangan baliho dimana-mana, sosialisasi para capres-bacapres, caleg, hingga manuver parpol untuk bisa eksis di 2024. Bersamaan dengan itu, mobilisasi massa menjadi sepaket dengan gerakan-gerakan politik sebagai bentuk dukungan kepada salah satu calon, partai atau capres-bacapres. 

Mobilasi massa tersebut tidak hanya di ranah offline atau dunia nyata, yang tidak kalah serunya adalah di dunia online. Para netizen (sebutan utk para aktifis media sosial), baik secara terorganisir maupun dalam bentuk kerelawanan, hampir setiap hari membanjiri posting di media sosial sesuai dengan preferensi politiknya. Beragam model postingan, ada mengendepankan gagasan, ada yang mengedepankan kritik, olok-olok, dan tidak sedikit yang mengembangkan playing victim. 

Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial memang dipandang sebagai media efektif dalam penyampaian berita, gagasan maupun aspirasi. Berita maupun gagasan yang viral diyakini dapat memberi pengaruh yang luas, baik dalam mempengaruhi persepsi bahkan sampai kebijakan. Dan memang, banyak berita yang terkait dengan kasus hukum lama sekali ditindaklanjuti oleh yang berwenang, dan setelah viral kemudian baru ditindaklanjuti. Banyak contoh, mulai dari kasus pelanggaran lalu lintas, permainan oknum polisi, kasus kekerasan, hingga bocoran dokumen-dokumen penting. Oleh karena itulah, muncul adagium dalam media sosial “no viral, no justice” (Tidak ada keadilan jika tidak diviralkan). 

Menyadari efektivitas media sosial untuk penyampaian informasi itulah, maka bisa dipahami jika dalam politik pun media sosial digunakan oleh para pihak yang berkepentingan untuk “kampanye”. Hampir setiap pelaku politik sekarang ini tidak bisa lepas dari peran media sosial, baik Facebook (Fb), Twitter (Twit), Instagram (IG), Whatsup (WA), dan lain-lain. Dan atas urgensinya itulah, tidak sedikit para politisi (baik yang mau calon maupun yang sudah menempati posisi politik) –bahkan fenomena ini juga terus meluas ke banyak institusi-- kemudian mengerahkan secara khusus “pasukan online” yang lazim disebut Buzzer, yaitu para pegiat media sosial yang "dibayar". Dan buzzer pun kini sudah menjadi pekerjaan atau “profesi” khusus, tentu dengan tingkat "bayaran" dan target kinerja yang sudah ditentukan. 

Ruang media sosial yang awalnya menjadi ajang perbincangan biasa dan saling sapa, kini sudah banyak berubah menjadi perebutan kuasa, kuasa atas pengaruh, kuasa atas gagasan, kuasa atas berita, dan lain-lain. Para buzzer siap menyerbu dengan berbagai “serangan” terhadap mereka yang bertentangan dengan tokoh, partai, atau kelompok yang didukungnya. Buzzer-buzzer tidak jarang terdiri atas akun boot yang secara otomatis bekerja jika ada serangan.  

Ajang perebutan kuasa itulah yang mewarnai percakapan di media sosial sekarang ini. Pola komunikasi yang berkembang tidak jarang seperti free value (bebas nilai). Hal itu nampak dari makin, cacian, dan olok-olok terhadap mereka yang dipandang berseberangan. Jika ada pendapat atau gagasan yang sekiranya mengganggu, maka yang diserang bukan mengkritisi substansi gagasan, namun yang muncul adalah mencaci dan menjelek-jelekkan orang, atau pendeknya olok-olok. Beragam jenis model olok-olok bahkan gambar-gambar bertebaran mewarnai media sosial terhadap orang atau kelompok yang mengkritisi atau berseberangan. 

Fenomena olok-olok dan caci maki tersebut tentu saja mengingatkan kita untuk bertanya tentang: sejauhmana dampak pendidikan? Pertanyaan ini sangat penting, karena di satu sisi, para pegiat di media sosial tentu sedikit banyak adalah mereka dari kalangan terdidik. Mungkin ada yang hanya tingkat dasar atau menengah, namun tentu banyak yang dari mereka yang berpendidikan tinggi. Bisa diduda, sedikit sekali dari mereka dari kalangan yang tidak terdidik.

Di sisi lain, pendidikan selalu mengedepankan akal sehat dan akhlak, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Tidak ada pendidikan yang mendidik peserta didiknya untuk pandai mengolok-olok atau mencaci sesama. Begitu pula, tidak ada pendidikan yang mengajarkan untuk menebar kebencian dan permusuhan. Barangkali masih segar ingatan kita juga, dalam beberapa tahun belakangan ini, lembaga-lembaga pendidikan banyak mengedepankan pendidikan karakter, suatu pendidikan yang menjunjung tinggi akhlak namun tetap perhatian terhadap ilmu pengetahuan. 

Dengan mencermati fenomena perbicangan di media sosial, dimana jejak-jejak pendidikan itu bisa dilihat? Bahkan dengan suatu gagasan pun tidak jarang dicibir sebagai “hanya sebatas teori”? 

Dunia pendidikan, tak pelak, dihadapkan dengan permasalahan yang makin kompleks terkait dengan kualitas generasi yang hendak dihasilkan. Pendidikan tidak hanya dihadapkan dengan perilaku generasi yang ada di dunia riil, namun juga fenomena yang berkembang di dunia digital utamanya di berbagai platform media sosial. Kesalehan yang kadang ditampakkan di dunia riil, belum tentu terjadi di dunia digital; begitu pula sebaliknya, di dunia digital tampak saleh, namun di dunia riil malah sebaliknya. 

Mencermati hal tersebut, dunia pendidikan tampaknya dituntut untuk melakukan autokritik dan bahkan redefinisi tentang output siswa ditengah makin masifnya digitalisasi di berbagai lini. Perbicangan didalam kelas ternyata belum memberi kekuatan bagi para generasi ketika diluar kelas dikepung oleh mozaik informasi dan dunia digital yang justru banyak menjauh dari pesan pendidikan.

Prof. Dr. Abdul Rahman A. Ghani, Sekretaris I Sekolah Pascasarjana UHAMKA


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menundukkan Ego dengan Puasa Oleh: Fathan Fari Saputro Puasa tidak hanya soal menahan lapar dan ha....

Suara Muhammadiyah

14 March 2024

Wawasan

Oleh: Gunawan Trihantoro, Angkatan Muda Muhammaadiyah dan Anggota Satupena Jawa Tengah, tinggal di B....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Wawasan

Pendidikan dan Tantangan: Kunci Pemimpin Pintar dan Bijak Oleh: Agus setiyono Pendidikan merupak....

Suara Muhammadiyah

14 June 2024

Wawasan

Shalat dan Berkurban sebagai Wujud Syukur Oleh: Mohammad Fakhrudin Sebagai muslim mukmin menyadari....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Wawasan

Oleh Mu’arif  Pada mulanya, Muhammadiyah adalah ”organisasi massa” (non gove....

Suara Muhammadiyah

20 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah