Nuh dalam Al-Qur`an dan Alkitab (Serial Para Nabi)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Sekarang, mari kita beralih ke kisah Nabi Nuh, seorang nabi yang kisahnya dihormati baik dalam Al-Qur`an maupun Alkitab. Kita akan menjelajahi persamaan dan perbedaan menarik antara kedua narasi tersebut. Pada intinya, kedua kitab suci menggambarkan Nuh sebagai sosok yang saleh dan taat kepada Tuhan, hidup di masa lampau yang penuh kerusakan moral. Al-Qur`an dan Alkitab sama-sama menceritakan bagaimana Tuhan mengutus Nuh untuk mengajak kaumnya kembali ke jalan yang benar.
Ketika kaumnya menolak seruan Nuh, Tuhan memerintahkannya untuk membangun sebuah bahtera besar. Nuh kemudian membawa orang-orang beriman dan berbagai jenis hewan ke dalam bahtera tersebut. Akhirnya, Tuhan mengirimkan banjir besar yang menghancurkan orang-orang yang ingkar, sementara Nuh dan orang-orang beriman selamat dan memulai kehidupan baru. Inilah garis besar kisah Nabi Nuh yang serupa dalam Al-Qur`an dan Alkitab. Namun, terdapat pula beberapa perbedaan menarik yang akan kita ungkap selanjutnya.
Berapa lama Nuh membangun bahtera raksasa itu? Dan bagaimana tanggapan orang-orang di sekitarnya? Dalam Al-Qur`an, diceritakan bahwa Nuh diejek dan diolok-olok karena membangun bahtera di tengah daratan yang kering. Ia dianggap gila oleh kaumnya. Apakah kisah serupa juga ada dalam Alkitab? Alkitab menggambarkan bahwa manusia pada masa itu telah menjadi sangat rusak, sehingga Tuhan menyesali penciptaan-Nya dan memutuskan untuk menghapuskan mereka melalui banjir besar. Banjir ini digambarkan sebagai bencana global yang memusnahkan seluruh umat manusia, kecuali keluarga Nuh.
Perbedaan menarik muncul di sini. Al-Qur`an menekankan bahwa banjir tersebut adalah ujian iman, di mana Tuhan menyelamatkan mereka yang beriman kepada Nuh. Sementara dalam Alkitab, keselamatan tampaknya lebih berfokus pada ikatan keluarga, di mana seluruh keluarga Nuh diselamatkan tanpa penjelasan eksplisit mengenai keimanan mereka. Setelah banjir berlangsung selama 150 hari, menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya, Nuh dan hewan-hewan yang selamat keluar dari bahtera. Alkitab kemudian menceritakan kisah Nuh yang menanam anggur, membuat minuman anggur, dan akhirnya mabuk. Ini menggambarkan Nuh sebagai pembuat anggur pertama yang tercatat dalam sejarah.
Namun, bagi umat Muslim, kisah ini cukup mengejutkan. Nabi dipandang sebagai sosok yang sangat saleh, dan meminum minuman keras hingga mabuk tentu bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Apalagi, Al-Qur`an secara tegas melarang konsumsi minuman beralkohol. Bagaimana kita bisa memahami narasi ini? Mungkinkah pada masa Nabi Nuh, hukum mengenai minuman beralkohol berbeda? Alkitab sendiri mengutuk kemabukan, tetapi tidak secara eksplisit melarang minum anggur dalam jumlah sedikit. Bahkan, ada ayat dalam tulisan Paulus yang menyebutkan manfaat kesehatan dari minum anggur secukupnya.
Apakah hal ini juga berlaku pada Nabi Nuh? Apakah semua jenis minuman anggur diperbolehkan baginya, atau adakah batasan tertentu? Sayangnya, kita tidak memiliki informasi yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini secara pasti. Namun, keyakinan umat Muslim dan kisah dalam Al-Qur`an tampaknya tidak mendukung tindakan tersebut.
Selain itu, kisah tentang kemabukan Nuh dan akibatnya yang memalukan juga menimbulkan pertanyaan bagi umat Muslim. Bagaimana seorang nabi bisa melakukan tindakan yang tidak pantas seperti itu? Ini tentu bertentangan dengan pandangan Muslim tentang nabi sebagai teladan moral yang tinggi. Namun, penting bagi umat Muslim untuk mengetahui kisah-kisah ini dari sumbernya agar dapat memahami perbedaan perspektif antara agama-agama. Dengan demikian, kita bisa berdialog dengan lebih baik dengan saudara-saudara kita dari agama Kristen dan Yahudi.
Dan, bagaimana dengan Yesus? Apakah ia juga minum anggur seperti yang diceritakan dalam Injil? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak umat Islam. Dalam konteks undang-undang ilahi yang sebelumnya diturunkan, mungkin saja anggur diizinkan dalam jumlah tertentu selama tidak menyebabkan mabuk, karena kita melihat bahwa mabuk dikutuk dalam Alkitab, sementara minum sedikit anggur tidak. Bahkan, dalam salah satu ayat dari tulisan Paulus disebutkan bahwa minum sedikit anggur bermanfaat bagi kesehatan.
Namun, bagaimana dengan kisah Nuh? Apakah semua jenis anggur diperbolehkan, atau sejauh mana mabuk diizinkan? Di sini, kita harus mengakui bahwa kita tidak tahu pasti apa hukum yang berlaku pada masa itu. Akan tetapi, asumsi umat Muslim tampaknya bertentangan dengan hal tersebut, dan kisah dalam Al-Qur`an seolah tidak mendukungnya.
Yang juga mengejutkan dari perspektif Muslim adalah bahwa akibat meminum anggur dan menjadi mabuk, Nuh ditemukan dalam keadaan telanjang. Ketika putra-putranya masuk, mereka harus berjalan mundur sambil membawa selembar kain untuk menutupi tubuhnya tanpa melihat aurat ayah mereka. Dan ketika Nuh menyadari apa yang telah terjadi, dia mengutuk cucunya.
Dari sudut pandang seorang Muslim, ini merupakan masalah yang sangat serius. Persepsi umat Islam tentang seorang nabi adalah sebagai individu yang mulia dan bermoral tinggi, yang memberi teladan bagi kita. Kita diharapkan meniru perilaku mereka dan menjadikan para nabi sebagai panutan. Oleh karena itu, perilaku ini tampaknya tidak sesuai dengan teladan seorang nabi dari sudut pandang Muslim. Namun, penting bagi umat Islam untuk mengetahui cerita ini dari sumbernya, agar ketika berdialog dengan teman-teman Kristen dan Yahudi, kita memahami secara spesifik apa yang dikatakan oleh kitab suci mereka tentang tokoh-tokoh besar ini.
Mari kita kembali membahas kisah banjir. Dalam Al-Qur`an, Nuh hanya membawa orang-orang beriman, sedangkan dalam Alkitab, ia membawa seluruh keluarganya. Menarik, bukan? Perbedaan ini menyoroti bahwa dalam Al-Qur`an, iman adalah yang terpenting, melampaui ikatan darah. Anda tidak serta merta mulia hanya karena berasal dari keluarga terhormat.
Putra Nuh, meskipun berasal dari keluarga paling mulia, tidak beriman dan bernasib sama dengan orang-orang kafir. Sebaliknya, Al-Qur`an juga menceritakan individu dari latar belakang buruk yang berjuang untuk kebenaran dan mendapatkan ridha Tuhan. Jadi, semuanya bergantung pada keyakinan pribadi. Ada juga pelajaran bagi keluarga. Mungkin sulit menerima ketika anggota keluarga tidak sejalan dengan keyakinan mayoritas. Mereka memiliki hak untuk berpikir dan memilih sendiri.
Banyak Muslim yang sedih ketika anak mereka tidak mengikuti keyakinan yang sama. Namun, kisah Nabi Nuh dan putranya menunjukkan bahwa hal ini bisa terjadi pada siapa saja, bahkan para nabi sekalipun. Kita bisa berusaha membimbing, tetapi pada akhirnya, setiap individu memiliki jalannya sendiri.
Bagaimana dengan orang-orang yang selamat? Apakah mereka menjadi nenek moyang kita? Bagaimana ini terjadi? Jika kita berpegang pada pandangan bahwa semua orang selain mereka yang berada di dalam bahtera terbunuh, maka mereka yang selamat harus menjadi nenek moyang seluruh umat manusia. Namun, secara ilmiah, teori ini sulit diterima karena keragaman populasi manusia. Tidak ada teori ilmiah yang mendukung gagasan bahwa seluruh populasi manusia kembali ke satu titik asal hanya beberapa ribu tahun yang lalu, seperti yang dijelaskan dalam narasi alkitabiah.
Beberapa ulama Muslim mendukung pandangan ini, percaya bahwa seluruh populasi dunia dihancurkan dalam banjir, dan hanya mereka yang berada di bahtera Nuh yang menjadi nenek moyang manusia. Namun, Al-Qur`an sendiri tidak secara spesifik menyebutkan hal ini.
Dalam Al-Qur`an, banjir ini tampaknya lebih bersifat lokal, karena kisah-kisah dalam Al-Qur`an sering menunjukkan bahwa ketika seorang nabi datang, dia berdakwah kepada kaumnya untuk melakukan reformasi. Ketika mereka menolak dan mencoba membunuh nabi, merekalah yang dihukum oleh Tuhan. Tidak ada indikasi bahwa hukuman ini berlaku untuk seluruh dunia.
Selain itu, tidak ada alasan untuk percaya bahwa Tuhan akan memusnahkan semua hewan di seluruh bumi. Secara ilmiah, sulit membayangkan bahwa seluruh keanekaragaman dan jumlah spesies yang besar saat ini berasal dari hewan-hewan yang berada di dalam Bahtera Nuh. Jumlah spesies yang begitu banyak dan beragam membuat teori ini sulit diterima oleh para ilmuwan.
Sebelum kita menutup pembahasan tentang kisah Nabi Nuh, mari kita tambahkan perspektif menarik dari dunia arkeologi. Buku "Alkitab sebagai Sejarah" karya Werner Keller mengutip penelitian Sir Leonard Woolley, seorang arkeolog terkemuka. Woolley berusaha keras mencari bukti banjir besar sekitar 4.000 tahun lalu, namun tidak menemukan tanda-tanda banjir berskala global. Temuan ini mendukung gagasan bahwa banjir tersebut bersifat lokal, selaras dengan narasi Al-Qur`an yang menggambarkan Nuh berdakwah kepada kaumnya.
Alkitab menyebut Nuh sebagai nabi, tetapi tidak merinci aktivitas dakwahnya. Sebaliknya, Al-Qur`an, terutama dalam Surah Nuh (ke-71), dengan jelas menggambarkan upaya gigih Nuh dalam mengajak kaumnya bertobat. Ia berdakwah secara terbuka maupun rahasia, mengadakan pertemuan pribadi, menyampaikan ceramah publik, dan berbagai cara lainnya.
Namun, alih-alih mendengarkan, kaumnya justru menolak, mencemooh, dan bahkan berkomplot untuk membunuhnya. Dalam keputusasaan, Nuh berdoa memohon pertolongan Tuhan, dan Tuhan menjawab doanya dengan mengirimkan banjir yang menghancurkan orang-orang yang ingkar.